[10] tiger jk - reset

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



𖠁𐂃𖠁


beberapa saat kemudian,

han jisung terbangun dan menemukan dirinya tenggelam dalam gelapnya malam. tubuhnya seakan-akan melayang akibat pengaruh obat bius yang melumpuhkan sementara. meraba kulitnya dengan lembut, ia merasakan sebuah infus tersambung pada rute intervenanya.

"akhirnya kau bangun juga," sahut seseorang dari sofa di pinggir ruangan. mencari asal suara, mata jisung membelalak saat menemukan seo changbin terjaga beberapa meter darinya.

"k-kau . . ." ia kehilangan kata-kata. "apa yang sedang kau lakukan disini?"

"apa lagi? tentu saja menjagamu."

mengernyitkan dahinya, jisung hanya menatap changbin sinis dan mengisyaratkannya untuk berterus terang.

"lihat," beranjak dari duduknya, kini changbin berjalan menuju pinggir tempat tidur, sesekali mengusap tengkuknya untuk mengurangi rasa canggung. "aku . . . aku ingin meminta maaf."

"untuk?"

"semuanya."

"jawab aku, seo changbin," lanjutnya. "apakah kau ikut tertabrak bersamaku? bicaramu terus melantur."

"aish, anak ini!" changbin mengusap wajahnya kasar. "aku yang membantu felix membawamu kesini. seharusnya kau menemaniku turnamen, tetapi ternyata kau malah kabur. lihat apa yang terjadi denganmu sekarang."

"permintaan maaf macam apa ini—"

"—intinya," potongnya cepat. "aku hanya ingin meminta maaf atas segala perundungan yang telah kulakukan padamu. tidak seharusnya aku menyakiti perasaanmu."

menatap kearah sang lawan, jisung menghela napas pasrah dan menyilangkan tangannya di depan dada. "apa yang tiba-tiba membuatmu berkata seperti itu?"

"entah. sebenarnya, aku tidak pernah benar-benar membencimu. hanya saja aku terlalu gegabah dan memilih untuk mencari perhatian kedua orangtuaku dengan melakukan hal-hal bodoh."

"alasan yang aneh, tapi . . . baiklah."

"oh, ya. selain itu, aku juga sudah mengetahui bahwa kau adalah anak dari bibi eun dan paman han. sejujurnya hal tersebut membuatku merasa semakin bersalah."

seketika, pandangannya berputar. "bagaimana bisa?"

"bibi eun adalah satu-satunya pelayan di rumah yang benar-benar menyayangiku apa adanya, bukan karena ia dibayar untuk melakukan itu," liriknya. "saat ia datang menjengukmu dan menangis di hadapanku, entah mengapa, hatiku terasa sakit."

mendengarnya, jisung terdiam.

"kau sangat beruntung memiliki orangtua yang sangat menyayangimu. hal tersebut tidak akan pernah bisa kubeli dengan uang."

ruangan itu kembali hening, kontradiksi dengan pikirannya sendiri. sejujurnya, jisung malu. malu karena changbin harus mengetahuinya dengan cara seperti ini, tetapi lega karena tidak ada hal yang perlu ia tutupi lagi.

apapun alasannya, laki-laki itu bersyukur bahwa semuanya baik-baik saja.

"kau tahu," jisung menggigit bibirnya. "salah satu alasan mengapa aku memutuskan untuk masuk dalam high society adalah karena aku ingin mempertegas eksistensiku. memberitahu dunia bahwa aku juga bisa sebaik dirimu."

"a-apa?"

"kau tampan, memiliki pakaian yang bagus, berasal dari keluarga yang berpengaruh dan dapat melakukan apapun yang kau mau. tentu saja, aku tidak dapat mengalahkanmu dalam bidang itu. tetapi setidaknya, bila aku belajar dengan giat, aku masih berkesempatan untuk memiliki posisi yang setara denganmu. sedikit ironis, bukan?"

"jisung-ah, aku—"

"—tidak apa-apa. itu semua hanya bagian dari masa lalu," balasnya. "ah, sesungguhnya aku malu karena kau harus mengetahui seluk beluk keluargaku, tetapi aku harus berterimakasih karena kau telah mempekerjakan orangtuaku."

"jadi, apa kau bersedia menerima permintaan maafku?" sebuah senyuman mengembang di wajah changbin.

remaja berusia delapan belas tahun itu hanya mengangguk setuju.











"HAN JISUNG!" teriak seorang remaja bertubuh ramping dari pintu.

tergesa-gesa, ia melempar tas sekolahnya asal dan berhamburan menuju pelukan sang pasien.

"aigoo, minho-hyung," jisung tertawa kecil, sebelum menatap kearah chan yang mengikuti arahan minho untuk menaruh buah-buahan yang mereka bawa di atas meja. "kalian tidak perlu repot-repot membawakanku makanan sebanyak ini."

menghiraukan perilaku minho, chan menatap felix yang sedang bermain games di atas sofa dan tersenyum. "bagaimana keadaanmu?"

"aku baik-baik saja. tetapi tidak dengan jisung."

"ah, hanya beberapa tulang retak dan luka memar. selain itu, aku baik-baik saja. bila tidak ada kendala, aku akan pulang dalam tiga hari."

"kau bilang hanya?" minho menggelengkan kepalanya. "kau tak tahu betapa paniknya aku dan chan saat felix menangis di telfon. maaf karena baru menyempatkan diri untuk datang menjenguk, ada kelas yang harus kuajar lebih dulu."

"jangan khawatir, hyung," jisung tersenyum lembut. "ada felix dan changbin-hyung yang setia menemaniku disini."

chan tersedak. "s-seo changbin?"

"bagaimana bisa?"

"ah, itu adalah cerita yang panjang."

beberapa saat kemudian, empat sekawan itu telah mengelilingi satu sama lain dan mulai bertukar cerita. mulai dari materi pelajaran, kari daging dan telur sebagai menu makan siang, serta berbagai kegaduhan yang terjadi dalam high society.

semuanya berjalan seperti biasa,

hingga, drrrt!

tiba-tiba, ponsel chan menggelinjang hebat di atas nakas. namun, sebelum felix dapat melihat nama panggilan yang tertera, laki-laki itu lebih dulu mengambilnya dan berjalan meninggalkan ruangan.










lima belas menit berlalu dan chan masih belum kembali.

"jisung-ah, aku harus pergi," minho beranjak dari duduknya. "aku ingin menjenguk ibuku sebelum pulang. bila chan mencariku, katakan padanya untuk bahwa aku berada di lantai dua."

sang pasien yang sedang asyik mengupas apel hanya mengangguk pelan.

"akan kuantar," balas felix sebelum mengambil jaketnya.











setelah bercengkrama selama beberapa menit, kedua insan itu berjalan berdampingan menuju lift rumah sakit.

tubuh felix terasa lelah, seakan-akan punggung kecilnya akan segera runtuh bagaikan tertimpuk bata. setelah changbin pamit pulang untuk beristirahat, ia memutuskan untuk menginap meskipun terpaksa tidur di atas sofa yang keras.

"jaga kesehatanmu," minho menepuk pundak felix pelan sebelum masuk ke dalam salah satu lift yang terbuka. "sampai jumpa di sekolah!"

"hmm," ia melambaikan tangannya. "sampaikan salamku pada ibumu."

setelah puas mengucapkan salam perpisahan, felix mengusap wajahnya kasar dan mengambil langkah gontai menuju kamar mandi pria. saat ini, yang ia butuhkan hanyalah air dingin yang menyentuh kulitnya.

hoam, remaja itu terus menguap. apakah besok sebaiknya ia membolos dan tidur seharian?

sesampainya di kamar mandi, felix segera membasuh wajahnya dengan napas yang tersengal-sengal. kedua matanya terpejam, hidungnya memerah, dan bibirnya sesekali menguap kelelahan.

meskipun begitu, pertanyaan terbesarnya hingga kini masih belum dapat terjawab:

siapa pelaku teror yang terus menganggu para anggota high society? dan bila target kecelakaan yang sebenarnya adalah dirinya, apakah pelaku teror dan penabraknya merupakan orang yang sama?

"hentikan omong kosongmu itu," felix menatap kearah kaca wastafel yang sedikit berembun.

tanpa disadari, ia mulai menulis beberapa huruf hangul yang baru saja ia pelajari bersama jisung di lain hari.

사랑. 진심. 희망. 비밀.

"semuanya akan baik-baik saja," ia menggigit bibirnya ragu. "jangan terlalu memikirkan itu. ingat, apa yang terjadi pada jisung tidak lebih dari sekedar kebetulan belaka—"

cklek.

sebuah bilik di ujung ruangan tiba-tiba terbuka, menampilkan sesosok pria yang ia cari dengan lengan kemeja putih yang tergulung hingga siku dan rambut hitam yang sedikit berantakan.

"—oh, felix?"

"chan-hyung," felix menelan ludahnya. tidak sekalipun pandangan mereka terlepas dari satu sama lain. "apa yang sedang kau lakukan disini?"

"buang air kecil."

drrrt, drrrt!

"—oh? panggilan ini lagi," sahut chan sambil mengeringkan tangannya. "felix, maaf bila aku terus merepotkanmu, tetapi, dapatkah kau menyampaikan salamku pada jisung dan minho? sepertinya, aku tidak akan kembali. ada beberapa hal yang harus kuselesaikan terlebih dahulu."

"h-huh, baiklah . . ."

"kalau begitu, aku duluan ya," balas chan sambil berjalan keluar dari kamar mandi. suaranya kian semakin menjauh. "aish, ada-ada saja!"

dug.











aish, ada-ada saja!

sepertinya, felix pernah mendengar suara itu. tetapi dimana?

segalanya terasa janggal. ia yakin, bahwa setiap kejadian yang menghantuinya berkorelasi satu sama lain.

hingga pada akhirnya, mereka semua jatuh pada tempatnya, membentuk sebuah susunan puzzle yang tersambung dengan eloknya.

"aish, ada-ada saja!" bisik laki-laki itu dengan emosi memuncak, sebelum berlari menuju pintu tangga darurat dan hilang dalam kegelapan.

mencengkram keramik wasfatel sekuat tenaga, felix menatap intens kearah kaca dengan kedua mata yang membulat sempurna.

"suara itu," lirihnya. "jangan-jangan . . ."


𖠁𐂃𖠁


terima kasih untuk 2K-nya hehehe 👀
ayo keluarkan teori kalian!!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro