[9] jin - mother

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



𖠁𐂃𖠁


membuang putung rokoknya asal, changbin menatap kearah bangunan di depannya dan menghela napas kasar.

"hyung, apakah kau baik-baik saja?" tanya hyunjin santai, sambil bersandar pada pintu gerbang sekolah.

"han jisung," ia mendecak sebal. "sore ini, aku akan mengikuti turnamen bersama geng motor sekolah haneul. keparat itu sudah berjanji akan menemaniku saat pertandingan, namun sampai sekarang, batang hidungnya belum juga terlihat. atau jangan-jangan, ia mencoba kabur?!"

"kabur? kau yakin?" balas hyunjin sinis.

alih-alih menenangkannya, ia justru menunjuk kearah dua siswa yang sedang asyik mengobrol sembari menunggu waktu menyebrang.

han jisung dan felix lee.

"aish, dasar sialan!" mengacak-acak rambutnya, changbin segera berjalan cepat menuju zebra cross, membiarkan hyunjin yang saat ini tergelak puas melihat temannya terbakar emosi.

awas saja, batin changbin yang semakin mempercepat langkahnya. ia merasa marah, dibodohi, atau mungkin . . . cemburu?

setelah sekian lama menggoda jisung yang — meskipun kesal terhadap perlakuannya — selalu patuh dan memilih untuk diam, entah mengapa, kedatangan seorang murid baru asal australia bernama felix lee merubah segalanya.

setiap changbin mencarinya, ia memilih untuk menghabiskan waktu bersama chan, minho dan felix. padahal sebelumnya, chan dan minho tidak pernah menghalanginya untuk melakukan perpeloncoan terhadap laki-laki yang lebih muda satu tahun darinya itu.

dan bila ingin jujur, sebenarnya, changbin tidak pernah benar-benar membencinya. baginya, jisung adalah siswa yang pintar. ia juga ramah dan mudah bergaul. jika dibandingkan dengan hyunjin, ia tidak ada apa-apanya.

tetapi, changbin merasa tidak pantas untuknya. tempatku adalah disini, bersama orang-orang yang sama buruknya denganku. pada akhirnya, asumsi itulah yang mendasari sikap kasarnya selama ini. changbin yang berandal, nakal dan selalu membuat onar.

namun sesungguhnya, changbin hanya tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan diri dengan benar. dan berkat kesalahannya sendiri, eksistensi jisung dalam hidupnya perlahan mulai memudar, tergantikan oleh sendiri dan sepi.

mengapa semua orang yang ia sayangi selalu berakhir meninggalkannya?











sinar berwarna kehijauan dari lampu lalu lintas membuyarkan lamunannya.

menguci pandangannya pada jisung dan felix yang mulai menyebrang, changbin tersenyum puas dan berkata, "kau tidak bisa lari dariku, han jisung. lihat saja nanti, aku akan—"

brakkk!











sesederhana itu,

semuanya terjadi begitu saja.

"—han jisung!" menelantarkan ponselnya yang terjatuh di jalan, felix segera berlari kearah jisung yang tidak sadarkan diri dan menangis sekencang-kencangnya.

apa yang baru saja terjadi?

"tolong panggil ambulans!" teriak felix panik, menatap pejalan kaki yang mengelilingi mereka dengan napas memburu.

namun, tidak satupun dari mereka yang tergerak hatinya untuk memencet tombol panggilan. yang ia dengar hanyalah suara kamera dan komentar-komentar negatif yang menyalahkan.

"brengsek, kenapa kalian diam saja?!" teriaknya lagi.

merebahkan tubuh jisung di pinggir jalan, felix segera meraba seluruh saku pada seragamnya, mencari keberadaan ponsel yang entah ia letakkan dimana.

"fuck," ia mengusap wajahnya kasar. "dimana aku menaruh ponselku—"

"—biar aku saja."

seluruh pergerakannya terhenti.

suara laki-laki itu terdengar familiar. berat, sedikit arogan namun khas. mencari asal suara, felix mendongakkan kepala dan menaikkan alisnya.

"s-seo changbin?"











wangi khas disinfektan mendominasi panca inderanya. menatap kearah sahabatnya yang masih terbujur kaku akibat pengaruh obat bius, felix mengusap wajahnya dan mengeluarkan lenguhan kasar.

"seo changbin," kini tatapannya beralih pada seorang laki-laki yang sedang berdiri di ujung ruangan. "aku . . . ingin berterimakasih."

"untuk apa?" changbin mengernyitkan dahinya.

"menyelamatkan jisung."

"aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan."

"still."

"kalau begitu, aku pergi. kabari aku jika terjadi sesuatu," mengelus tengkuknya canggung, changbin menepuk pundak felix dan berjalan keluar ruangan. laki-laki itu sama sekali tidak tertarik untuk melanjutkan balap liarnya.

namun, tiba-tiba langkahnya terhenti.

seorang perempuan paruh baya yang terlihat familiar kini berlari menyusuri koridor rumah sakit. raut wajahnya mengekspresikan rasa cemas yang berlebih, seakan-akan separuh jiwanya ikut menyublim bersama dinginnya kota seoul.

ia adalah perempuan yang selalu bertanya apa yang changbin inginkan untuk makan malam.

ia adalah perempuan yang selalu memerhatikan kesehatan dan melarangnya untuk hidup tidak beraturan.

ia adalah perempuan yang selalu mengurus dan menyayanginya sejak kecil, bahkan dalam porsi yang jauh lebih besar ketimbang orang tuanya sendiri.

ia adalah, "bibi eun?"











"han jisung adalah anakku."

menyenderkan tubuhnya pada bangku rumah sakit, changbin menatap nanar sang pelayan yang baru saja berkonsultasi dengan seorang dokter. naas, kedua matanya berbicara tanpa bersuara.

"jisung adalah anugerah terindah yang tuhan berikan pada bibi dan paman han," senyum perempuan itu. "bagaimanapun juga, ia adalah anak kami satu-satunya. dan terkadang, kami merasa malu . . . bersalah karena tidak dapat memberikan jisung kehidupan yang layak dan pendidikan yang baik. ibunya hanyalah seorang pelayan, dan ayahnya hanyalah seorang supir — dua profesi tersebut bukan hal yang harus kami banggakan."

changbin terdiam.

"tidak sekalipun jisung pernah mengeluhkan kondisi keluarganya. ia sangat pintar dan selalu mendapatkan peringkat yang tinggi di sekolah. semuanya baik-baik saja, tidak ada yang perlu kalian khawatirkan. kalimat-kalimat ini terus menghiasi setiap perbincangan kami. pada akhirnya, ia hanya tidak ingin membebani orang tuanya."

menggenggam kedua tangan changbin dan mengelusnya pelan, sang pelayan melanjutkan,

"tuan seo, terima kasih karena telah menolong jisung kami. entah apa yang akan terjadi bila kau tidak membantunya. bibi dan paman han benar-benar berhutang budi padamu—"

"—jangan terlalu dipikirkan, bi," balasnya. "a-aku senang dapat membantu."

menganggukkan kepalanya, sang pelayan tersenyum mendengar jawaban changbin yang terkesan sangat dewasa. "kau adalah anak yang baik, tuan. hatimu sangatlah besar, dan meskipun kau terlihat acuh, kau tidak pernah ragu untuk membaginya dengan orang-orang disekitarmu. kuharap kau tahu bahwa apa yang menjadi biasa untukmu, dapat menjadi luar biasa bagi orang lain."

mendengar kata-kata itu, seketika, ia teringat akan sang ibu yang saat ini tengah melanglang buana berkeliling dunia.

akankah perempuan itu menyempatkan diri untuk menjenguk bila changbin mengalami hal yang serupa?

akankah perempuan itu membuang harga dirinya dan berterimakasih kepada siapapun yang menolongnya?

akankah perempuan itu melakukan segala hal yang bibi eun lakukan?

jawabannya, mungkin tidak.

bahkan, ketika ia terkulai lemas akibat penyakit thypus yang menyerangnya beberapa tahun lalu, satu-satunya bentuk perhatian yang diberikan sang ibu adalah administrasi rumah sakit yang telah terbayar dan sebuah kartu ucapan dengan tulisan 'semoga lekas sembuh!' yang tersemat di antara karangan bunga.

meskipun begitu, changbin tetap bersyukur. sekarang ia tahu bahwa setiap ibu memiliki caranya masing-masing dalam menunjukkan kasih sayangnya.

ada yang memilih untuk menghalalkan segala cara, ada yang memilih menyembunyikan luka, ada yang memilih untuk datang dan pergi, atau justru berterus terang dengan dirinya sendiri.

karena pada akhirnya, mereka semua bermuara menuju satu dasar yang sama:

cinta tanpa syarat.











malam itu,

dibalik kisah mengharukan yang tersimpan di antara koridor rumah sakit, seorang remaja kini terduduk di dalam kamar yang gelap, merutuki dirinya sendiri karena tidak sengaja menyakiti seseorang yang berharga dalam hidupnya.

"ah!" teriaknya sebelum membenturkan kepala pada meja belajar. "untuk apa ia berlagak sok pahlawan dan menyelamatkan keparat itu?!"

dug, lagi.

dug, lagi.

dug, lagi.

amarahnya semakin memuncak. segala bentuk sumpah serapah telah melegos keluar dari bibir delimanya, mencari pembenaran di antara sederet aksara kesalahan.

seandainya, seandainya, seandainya— sungguh, ia benar-benar membenci kata itu.

"maafkan aku . . ." menyenderkan tubuhnya, ia mengepalkan kedua tangan dan menghela napas kasar. "semua ini adalah salah hyung, tidak seharusnya hyung menyakitimu . . ."












sekarang ia mengerti,

bahwa penyesalan merupakan satu hal yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan seseorang.

karena pada akhirnya, hidup adalah serentetan pilihan yang meronta untuk diputuskan.

si pemaaf yang tak mengenal lelah, dan si pendosa yang tak merasa berbuat salah — jalan hidup mana yang nantinya akan dipilih?


𖠁𐂃𖠁


temen-temen semua, semester ini aku mulai proposal dan persiapan skripsi, kalau kalian berkenan, aku minta doanya ya! 🙇🏻‍♀️ btw, mulai ketebak gak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro