Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Selamat atas kenaikan jabatan Anda, Tuan."

Evan melempar senyum ramah, membalas jabat tangan dari salah satu petinggi perusahaan Banklux. Lelaki bermata abu-abu itu berharap ini ucapan terakhir untuknya agar bisa menaruh pantat dan meneguk segelas air sejenak. Kerongkongannya begitu kering di tengah cuaca panas kota Manhattan di awal musim panas.

"Thank you." Evan mengucapkan kata itu entah sudah berapa kali. Mengalihkan pandangan ke arah kursi-kursi kosong di ruang rapat, dinding-dinding kaca tebal di sekitarnya menyuguhkan lanskap gedung-gedung pencakar langit, dan puncak Empire State yang gagah menantang angkasa. Evan menghela napas, melonggarkan ikatan dasi hitam yang terasa mencekik leher.

Menarik kursi lalu mendudukkan diri seraya menopang wajah dengan kedua tangan. Iris mata tajamnya menatap lurus ke lelaki paruh baya yang ternyata masih diam di tempat, bibir tipis pria itu mengembang tipis mengamati anak sulungnya begitu membanggakan. Dia beranjak dari kursi, mengancingkan setelan silver mahalnya selagi melangkah mendekati dinding kaca yang memantulkan kesibukan kota. Hiruk pikuk yang tidak akan pernah berhenti walau hari silih berganti. Kedua tangannya ditekuk di pinggang, memutar kepala ke arah Evan seraya bertitah,

"Kuharap kau akan menjadi penerus yang baik, Evan."

Yang diberi mandat hanya mengangguk-anggukkan kepala, mengetuk-ngetukkan jemari di atas meja sambil sesekali mengatupkan bibir. Andai boleh berkata jujur, Evan tidak sepenuhnya bahagia atas posisi tertinggi di perusahaan yang kini diduduki. Terlalu kompleks dan menguras waktu sebagai ayah tunggal. Namun, dia terpaksa melakukan ini sekadar ingin menghargai keputusan ayahnya. Sebagai anak, kadang kala Evan tidak diberi pilihan selain menuruti permintaan orang tua yang katanya ingin mempertahankan tradisi keluarga untuk mewariskan jabatan secara turun-temurun.

"Padahal aku lebih suka Dad menyuruhku memimpin cabang BankLux daripada pusat. Setidaknya aku bisa melihat setiap detik perkembangan Brave jika tetap di kantor lama," tandas Evan.

Dandras--ayah Evan--membalikkan badan, menaikkan sebelah alisnya dan menganggap alasan Dean hanyalah sebuah alibi untuk menghindari tanggung jawab besar. Lagi pula di jaman seperti ini, anak-anak hanya perlu dititipkan ke baby sitter dan para orang tua bisa bertemu mereka di malam hari sebelum tidur. Bukankah itu sudah lebih dari cukup? Jika tidak ingin melewatkan tumbuh kembang, Evan seharusnya menyambungkan CCTV ke ponsel atau meminta rekaman video anaknya melalui si pengasuh bukan? Tidakkah itu sama saja?

"Oh, come on, Son, Dad juga pernah sepertimu. Bukankah ada nanny?" tanya Dandras mendekati Evan kemudian mendudukkan diri di kursi samping kanan anaknya.

Alis tebal Evan menyatu tak setuju atas pendapat Dandras, menyunggingkan seulas senyum kecut kalau pengasuh anak bukanlah jalan keluar terbaik untuk anak tunggalnya. "Maksudmu nanny yang ke sekian kali? Bahkan yang terakhir pun menyerah sebelum 24 jam. Mereka tidak becus mengurus Brave, Dad."

"Anakmu terlalu hiperaktif, Evan. Seseorang perlu bersabar menghadapi Brave dan kupikir itu hal normal bagi anak-anak seusianya. Lagi pula ... Dad kira, dia butuh ibu bukan nanny yang berlagak menjadi ibu kandung," ujar Dandras seolah-olah menyiratkan anaknya untuk mencari istri baru.

"Aku tidak akan menikah lagi jika Dad memintaku untuk mencari pengganti ibu kandung Brave," ketus Evan tidak terima.

"Kau terlalu keras kepala untuk dirimu sendiri, Evan," sindir Dandras memandang lurus mata abu-abu Evan yang menggelap karena gelombang emosi yang mungkin mulai menguasai. "Oke, itu terserah padamu. Dad hanya memberi saran yang terbaik untukmu. Kau sudah menerima jabatan baru ini dan Dad harap kau bisa memajukan perusahaan." Sebelah tangan Dandras menepuk bahu Evan, memberikan anak lelaki satu-satunya itu kekuatan, entah untuk memimpin perusahaan ini atau mengasuh anak semata wayangnya seorang diri.

Kepala Evan hanya mengangguk tanpa menjawab ucapan Dandras, hingga ayahnya memghilang dari balik pintu ruang rapat. Selanjutnya, dia berpaling ke sisi dinding ruangan, menatap cakrawala yang terbentang indah di depan mata. Dalam diam, tidak pernah terbersit di kepala Evan untuk mencari wanita yang bersedia dinikahi sekadar merawat Brave. Baginya itu ide yang paling gila yang pernah didengar.

Tangan kiri Evan merogoh gawai hitam berlogo apel di dalam saku, membuka kombinasi sandi dilanjut menekan galeri foto di mana ada ratusan foto perempuan berlesung pipit dengan iris mata sebiru samudra. Salah satunya sedang memeluk Evan begitu erat dengan latar belakang Central Park yang memutih tertutup salju. Senyum menawan yang tidak pernah bisa Evan lupakan begitu mudah walau ada banyak wanita di depannya. Hanya dia sang pemilik hati, namun terpisah dimensi lain sehingga Evan terkadang lebih suka merenung untuk bertemu pujaannya dalam imajinasi. Dia menggeser foto ke kanan, perempuan itu berdiri dalam kondisi perut membuncit yang tertutup setelan dress bercorak bunga. Sudut bibir Evan terangkat, ingatannya memutar potongan kenangan kala sang istri duduk di balkon sembari menyeruput cangkir teh kesukaan.

"I miss you so much, Darling," gumam Evan walau tahu bahwa potret foto di layar ponselnya tak kan mampu membalas gumpalan rindu yang sudah terpendam sejak lima tahun.

Tiba-tiba ponsel Evan berdering, menampilkan nama Cindy—adik perempuannya. Seketika kening Evan mengerut, jempol kanannya menggeser ikon hijau dan tak lama terdengar suara Cindy yang sedikit serak diselingin isak tangis.

"Hei, can you help me?"

"Hei, What's wrong?" tanya Evan mendadak cemas.

"Aku di kantor polisi 9 Precinct, mereka menilang mobilku karena menerobos lampu merah dan ...."

"Dan apa Cindy? Kau tidak membuat masalah lagi 'kan?" cecar Evan dengan tak sabar karena tahu adiknya seringkali berbuat onar.

"Datanglah ke mari, Evan dan jangan banyak tanya!" sungut Cindy.

Sambungan terputus, membuat lelaki itu hanya bisa menggeleng kepala. Dia pun menelepon asistennya sekadar ijin sejenak mengurus Cindy di kantor polisi. Setelah itu menghubungi Dandras untuk memberi kabar yang sama. Dandras menyuruh Evan agar tidak berangkat ke kantor polisi dan mengirim anak buahnya agar mengurus gadis nakal itu. Namun, Evan menolak karena tahu bahwa Cindy akan terbakar emosi jika Dandras ikut campur.

"Aku akan mengurusnya, Dad," ucap Evan kemudian memutus panggilan lalu melangkah keluar ruang rapat.

###

Kesibukan jelas terlihat ketika Evan memasuki kantor polisi, tidak sedikit orang yang mungkin sedang menyelesaikan urusan mereka dengan petugas NYPD (New York Police Departement). Kedua matanya menangkap sosok Cindy yang kini duduk meringkuk di dalam ruang berukuran 2x3 menter dengan teralis besi. Sejenak, gadis itu mendongak lalu berdiri dengan kedua mata yang memerah. Riasan mata abu-abu Cindy luntur, membuat wajah yang biasanya cantik kini terlihat menyeramkan.

Evan berdiri di depan ruang tahanan sementara yang membatasi dirinya dengan sang adik. Aroma alkohol serta rokok tercium kuat dari tubuh Cindy sampai Evan bergerak mundur sedikit karena merasa mual. Kini dia tahu, bahwa Cindy mungkin saja tidak hanya melakukan pelanggaran lalu lintas tapi juga pelanggaran lain yang bisa memberatkan dirinya. Sebelum mengeluarkan kata, seorang polisi berkulit hitam berkepala plontos menghampiri Evan, dan menyilakan lelaki itu duduk untuk memberikan beberapa jawaban terkait adiknya.

"Dia kami temukan menabrak salah satu tiang listrik dalam kondisi mabuk, Tuan, beruntung dia tidak mengalami luka serius," ucap petugas bernama Jose.

Evan mengangguk, sudah bisa menebak apa yang terjadi pada Cindy. "Apa dia bersama temannya?"

Jose menggeleng. "Tidak. Dia sendirian. Saat ini kami sudah memeriksa darah dan sample urine untuk memeriksa apakah dia juga memakai narkotika. Apakah sebelumnya Ms. Clayton mengalami hal serupa?"

Bibir Evan terkatup, berbohong pun pasti tidak mungkin karena polisi pasti memiliki rekam jejak kenakalan adiknya yang entah sudah ke berapa kali. Terpaksa dia melenggut seraya berkata, "Masa pubertas mereka terlalu ekstrem. Aku minta maaf akan hal itu. Aku bisa mengganti kerugian fasilitas yang dirusak adikku."

"Well ... hal itu juga pasti Anda lakukan, Tuan. Hanya saja, Ms. Clayton akan kami tahan sejenak hingga hasil laboratoriumnya keluar. Kami sudah melakukan pelacakan dan mungkin kami juga akan memasukkan Cindy ke rehabilitasi sementara waktu."

Evan mengiyakan tak mampu melawan prosedur hukum yang seharusnya berjalan. Kepala menoleh sejenak pada sang adik yang kini melempar pandangan sinis tanpa rasa takut sedikit pun atas hukuman yang bakal mendatanginya. "Baiklah, aku serahkan semuanya padamu, Sir."

Setelah Jose mempersilakan Evan pergi dan berbicara dengan Cindy, lelaki itu berdiri dan mendekati si pembuat onar. Batasan kesabaran Evan nyaris habis jikalau mengingat semua kelakuan adik satu-satunya tersebut. Apakah anak-anak jaman sekarang benar-benar di luar kendali sehingga perlu penanganan yang lebih ketat? batin Evan. Dia melipat kedua tangan di dada, menanti rentetan pembelaan adiknya. Setidaknya sebuah kata maaf dari bibir tipis itu. Namun, hingga beberapa menit berlalu, Cindy terlihat enggan mengeluarkan sepatah kata pun.

"Kenapa kau bohong padaku, Cindy?" tanya Evan seperti ingin memberondong Cindy dengan ratusan pertanyaan. Dia menghela napas panjang yang menandakan benar-benar sudah terlalu lelah dengan kelakuan adiknya.

"Aku tidak bohong. Aku kena tilang dan selebihnya ... aku malas jika Dad tahu." Evan menatap Cindy dengan tatapan tidak mengerti. Cindy tertawa lalu berkata, "Oh ayolah, Big Brother! Mana ada orang tua yang mau anaknya terkena narkoba, mabuk, dan pecandu alkohol seperti aku? Semua orang berharap Cindy menjadi gadis baik, penurut, sukses seperti kau, Evan. But it's fucking bullshit! Everyone wants be perfect like you but it's not me!"

Jika tidak ada teralis besi di hadapannya, Evan ingin sekali memeluk tubuh Cindy dan mengatakan bahwa setiap orang tidak pernah memiliki hidup yang sempurna sekaya apa pun mereka. Namun, Evan memilih diam, membiarkan Cindy terus mengeluarkan semua keluh kesahnya menjadi salah satu keluarga Clayton yang disanjung orang-orang di Amerika. Tak banyak yang tahu bahwa Cindy memiliki sisi yang sangat sensitif, bahkan Lola Sloan Clayton—ibu kandung mereka yang justru lebih dekat dengan Evan daripada Cindy. Gadis itu merasa dianaktirikan sedari kecil, semua perhatian terlalu dicurahkan kepada sang kakak sehingga dia mencari pelarian lain untuk mengatasi rasa kesepian.

"... si keparat Darrel juga pergi meninggalkanku. Why everyone leaves me alone here?" racau Cindy semakin menjadi-jadi.

"Hei, hei, calm down. What happened?" Evan mencoba meraih lengan Cindy, namun gadis itu justru menjauh seraya memeluk dirinya sendiri. Wajah Cindy benar-benar terlihat begitu kacau ketika dia mulai menangis sesenggukan.

"You never understand me, Evan," ucap Cindy sesenggukan.

Sebelum Evan menjawab kalimat yang dilontarkan adiknya, beberapa polisi lain datang seraya membawa seorang gadis berambut blonde dengan wajah pucat. Polisi wanita membuka pintu teralis besi itu, kemudian menyuruh si gadis blonde masuk dan memberikannya sebuah tabung kecil penampung urine.

"Silakan tampung urine Anda, Nona," ucap polisi dengan ekspresi datar.

"I need some privacies here, Mam. Kau tidak menunjukkan di mana toiletnya?" ucap si gadis dengan suara lantang lalu bertemu tatap dengan Evan yang kini membeku memandangnya. "What are you looking at, Sir!"

Seolah tersadar dari mimpi, Evan mengedip-ngedipkan mata lalu menggeleng kepala keras. Dia masih tetap menyorot sosok perempuan berpakaian minim hingga dada penuhnya menyembul ingin tumpah ruah. Rok pendek yang dikenakannya juga memamerkan betapa mulus dan jenjang kaki tersebut. Dia yakin semua pria bakal tak berkedip kala berbicara padanya melainkan terfokus pada tiap lekuk menggodanya.

Namun, bukan itu yang membuat Evan terhipnotis, justru wajah gadis bermata biru samudranya. Kini dia seolah-olah melihat istrinya yang sedang berdiri di hadapannya namun terjebak dalam jiwa gadis nakal seperti Cindy.

Polisi wanita itu akhirnya membuka kembali pintu teralis besi dan mengawal si gadis blonde menuju toilet wanita. Evan memutar kepalanya, mengikuti jejak perempuan molek tersebut dengan mata berkaca-kaca.

Sekarang aku percaya adanya reinkarnasi dari dirimu, Cecilia.

***

Halo! Cerita ini aku publish ulang karena banyak sekali yang direvisi.
Tapi, kalau kalian enggak sabar baca kelanjutannya bisa mampir di Karyakarsa.

Ada 10 bab gratis :))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro