Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jagat hiburan kembali dihebohkan skandal terbaru yang menimpa model seksi, Sophie Boucher. Semua media sosial mulai dari Twitter hingga Instagram pun beramai-ramai mengomentari aksi sang model yang selalu tersandung masalah yang sama. Di sisi lain, selain menuai kontra, penggemar Sophie turut memberi kalimat-kalimat motivasi berharap idola mereka bisa kuat menghadapi tekanan dari berbagai pihak.

Ini kali kedua Sophie harus berurusan dengan pihak polisi setelah sebelumnya tertangkap karena menyetir mobil dalam keadaan mabuk berat sampai menabrak pembatas jalan. Beruntung dia tidak mengalami cedera serius. Tapi gara-gara ulahnya juga, jalanan yang dilalui Sophie mendadak macet. Alhasil, dia dikenakan denda dan ditahan selama beberapa minggu agar jera. Namun, tak sampai sebulan setelah keluar dari penjara, gadis blonde eksentrik itu tepergok basah pesta narkoba bersama beberapa temannya.

Sophie seakan tidak takut hukum, justru merasa bahwa dia tidak bersalah dengan alasan pekerjaan yang menyita waktu. berkoar-koar kalau model harus dituntut punya stamina bagus. Namun, akibat pendapat egois tersebut, Sophie ditentang banyak pihak termasuk manajer dan agensinya. Bak jatuh tertimpa tangga, Sophie yang masih dalam proses menunggu keputusan hakim kota pun harus menerima kenyataan bahwa dia dipecat dari agensi.

Di tempat rehabilitasi yang sudah beberapa hari dia tempati, Sophie tidak didampingi sang manajer. Semua barang-barangnya telah disita oleh pihak kepolisian sebagai barang bukti menambah daftar penderitaan. Kini dia termenung, menatap kosong tembok pemisah dirinya dengan dunia luar. Namun, Sophie sama sekali tak menyesal, dunia memang sudah kejam semenjak dia lahir. Bahkan ketika dirinya berada di sini, mereka juga tidak pernah peduli.

Iris mata biru Sophie berpaling, melihat seorang lelaki tegap yang beberapa hari dia temui di kantor polisi. Lelaki berjas mewah sedang berbicara dengan gadis yang mungkin lebih muda darinya. Bisa jadi itu kekasih atau adiknya, Sophie tidak tahu. Lelaki berambut tembaga itu tampak serius sambil sesekali mengerutkan alis tebal yang membingkai indah di sana. Dia dengar desas-desus bahwa gadis berkulit putih pucat tersebut bernama Cindy, anak dari pengusaha kaya yang berpengaruh di Manhattan. Dia mendecak, menerbit senyum miring paham bahwa orang-orang yang punya kekuasaan bisa begitu mudah keluar tanpa menunggu waktu lama. Pada akhirnya isu-isu negatif bakal terganti gosip lain yang lebih panas.

"Dia masih beruntung," gumam Sophie kini beradu tatap dengan pria di sana. Sophie menaikkan alis, menatap angkuh sorot tajam pria yang berusaha mengunci dirinya dengan pandangan tersirat. Dia berpaling ke arah lain, merasa tak nyaman dan memilih tenggelam dalam lamunannya sendiri daripada mengurusi hidup orang lain.

###

Apakah ini takdir?

Evan tidak menyangka bahwa gadis blonde yang ditemuinya di kantor polisi beberapa waktu lalu direhabilitasi di tempat yang sama seperti Cindy. Selain itu, dia baru ingat bahwa gadis gila yang menumpahkan cairan urine di baju polisi adalah salah satu model majalah dewasa yang sering tersandung masalah. Jika seperti ini, dia bisa menemukan alasan lain untuk bisa datang ke tempat rehabilitasi narkoba dan alkohol Samaritan Village, meski hanya diperbolehkan mengunjungi seminggu sekali. Setidaknya dia bisa curi-curi pandang wajah si gadis nakal.

Dia menoleh ke arah sang adik yang masih saja murung seolah-olah dunia telah berakhir. Padahal Evan tidak henti-hentinya mengatakan bahwa Darrel bukanlah lelaki satu-satunya dan mengutuk pria tak bertanggung jawab itu. Sedari awal, Evan sudah tidak menaruh kesukaannya pada kekasih adiknya yang dinilai tak bermoral, tapi CIndy selalu membantah bahwa inilah kehidupan anak muda yang tidak bisa dibandingkan dengan orang-orang jaman dulu. Dia menambahkan kalau Evan hanya memikirkan perasaannya saja.

"Mom akan menemuimu minggu depan, Cindy," ucap Evan, "dia khawatir padamu."

Cindy mendecih lalu menertawakan dirinya sendiri lantas mengamati wajah kakak satu-satunya seraya berkata, "Sejak kapan Mom memedulikanku? Kukira hanya kau yang diakui mereka sebagai anak, Evan."

"Come on, harus berapa kali kukatakan bahwa mereka tetap menyayangimu walau kau—"

"Aku berandalan? Brengsek? Pecandu?" potong Cindy jengah. "Bahkan Dad pun tidak mau melihatku, Brother."

"Kau tetap adikku, Cindy, Dad hanya sedang sibuk hingga tidak sempat datang," kata Evan berbohong.

Cindy beranjak dari tempat duduknya merasa jenuh mendengar kebohongan demi kebohongan yang dikatakan Evan. Dia tahu bahwa orang tuanya tidak akan menganggap anak sekali pun meraih prestasi nomor satu di kampus. Hanya Evanlah yang dielu-elukan di keluarga Clayton, bukan dirinya yang sudah cacat psikologi sejak remaja. Mereka selalu mengait-ngaitkan kalau Cindy gila padahal dia hanya butuh kasih sayang orang tua sebagaimana mestinya. Saat menemukan pelarian, hidup Cindy tak langsung bahagia. Hubungan bersama Darrel telah menambah suram dan kacau. Kini dia tidak punya siapa-siapa lagi untuk bernaung dan menampung segala keluh kesahnya.

"Pergilah Evan! Bukankah tugasmu banyak? Aku tahu kau ke sini bukan untuk melihatku juga," sindir Cindy yang dibalas senyum miring Evan. "Your eyes can't lie to me. Ayolah, dia gadis nakal yang sama sekali beda dengan istrimu."

"I know. Hanya saja aku seperti bertemu dengan istriku lagi."

"You must be kidding me, Brother. It's been five years. You must move on, don't you?"

Evan mengangguk, melirik si gadis blonde bermata biru tengah melamunkan sesuatu. Tatapan angkuh Sophie memang membuat Evan tertarik, seharusnya seorang model terkenal itu dilanda penyesalan atas apa yang dilakukannya terutama dengan barang haram seperti kokain. Namun, Sophie benar-benar berbeda. Dia sama sekali tidak menganggap semua ini perkara besar. Evan berpendapat, wajah setenang air itu pasti menyembunyikan banyak rahasia. Tidak mungkin orang akan bermain-main obat terlarang jikalau bukan karena masalah besar?

Lalu apa?

###

"Dady ... " teriak seorang anak laki-laki ketika melihat Evan masuk ke dalam mansion mewah. Anak lelaki berambut tembaga dan bermata biru tersebut berlari dari arah ruang tengah, menghampiri dan memeluk sang ayah begitu erat penuh kerinduan.

Evan menangkap tubuh anaknya lalu berputar seolah-olah ingin membawa bocah kecil itu terbang menembus langit. Sejenak mereka berdua tertawa membuat seorang perempuan paruh baya yang menjadi pengurus rumah besar itu terharu. Meski tahu bahwa istri Evan telah meninggal, tapi dia salut atas kesetiaan sang pemilik rumah untuk tetap menjaga cinta kepada mendiang istrinya. Evan pun juga selalu meluangkan waktu untuk merekam semua tumbuh kembang Brave Clayton—anak semata wayang--karena dialah harta yang ditinggalkan Cecilia. Waktu berlalu begitu cepat, Brave kini menjadi anak lelaki periang dan menggemaskan. Meskipun tingkahnya tidak bisa mempertahankan nanny agar tetap bekerja di sini.

"Hei, little man, bagaimana kabarmu?" tanya Evan seraya menggendong anak lelakinya menuju dapur.

"Aku sangat senang, Dady, Bibi Martin membantuku menggambar robot."

"Wow, kau sungguh pintar, Brave," puji Evan mencium puncak kepala Brave lembut penuh kasih sayang.

"Dad ... kapan mom pulang?"

Evan terdiam sejenak mendengar pertanyaan yang selalu diajukan Brave meski sudah dijelaskan berulang kali kalau Cecilia pergi ke negeri yang jauh. Sejujurnya Evan masih tidak tega memberitahu Brave bahwa lelaki kecil itu tidak memiliki ibu lagi. Dia belum siap kalau Brave menangis terus-menerus dan memohon-mohon. Yang paling menakutkan bagaimana jika Brave murka karena selama ini Evan berdusta padanya. Ditatap mata bulat Brave dalam-dalam yang menanti jawaban dari bibir Evan. Kemudian lelaki itu mendudukkan anak lelakinya di atas kursi dan meraih sebuah apel lalu diberikan kepada Brave.

"Mom akan pulang, Brave. Kau harus sabar, oke."

Mulut Brave yang kemerahan mengerucut, kedua tangan kecilnya membelai apel ragu-ragu. Evan menghela napas, benar-benar merasa bersalah jika terus-menerus berbohong selama lima tahun ini. Dia mencium puncak kepala Brave dengan sayang, berkata dalam hati kalau dia benar-benar memohon ampun.

"Aku merindukan mom, Dad," keluh Brave berderai air mata di pipi menunjukkan sebuah kerinduan yang tidak dapat ditahan lebih lama lagi. "Daddy selalu bilang jika mom akan datang. Tapi ... mom tidak pernah pulang."

"Hei ... little man ... " Evan mendudukkan diri di atas kursi, menyejajarkan pandangan seraya mengusap kedua pipi anaknya yang basah dengan kedua jempol. "Bukankah kita sudah sepakat untuk menunggu mommy bersama-sama?"

Kepala Brave mengangguk cepat namun bibir mungilnya masih saja mengerucut. "Sampai kapan? Natal tahun kemarin saja mom tidak datang, padahal aku ingin memberinya hadiah, Dad."

"Aku tahu, Brave. Tapi ... untuk sekali ini saja, berjanjilah kau akan kuat menahan rasa rindu pada mommy, Brave," ucap Evan mengacungkan jari kelingkingnya. "Promise me?"

"Aku janji, Dad," balas Brave sambil mengusap ingus dan melingkarkan jari kelingkingnya kepada Evan.

Tangan kanan Evan mengacak rambut Brave dengan gemas meski pikirannya kalut bagaimana cara untuk mengalihkan perhatian Brave tentang sosok Cecilia. Tiba-tiba, terlintas wajah Sophie Boucher di benak. Sekelebat ide gila terlintas membuat Evan mengerutkan kening. Dia berpikir mengapa tidak gadis itu saja yang menjadi ibu pura-pura Brave selagi menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan bahwa Cecilia telah meninggal. Ya, benar. Sepertinya itu ide cukup bagus untuk saat ini, pikir Evan seolah-olah menemukan secercah harapan.

Evan hanya perlu menunggu waktu hingga masa rehabilitasi Sophie berakhir dan akan meminta gadis seksi itu agar menuruti kemauannya meski dengan paksaan. Karena kebahagiaan Brave takkan ternilai oleh apa pun, Evan rela mengeluarkan jutaan dolar untuk membayar Sophie supaya mau berpura-pura menjadi Cecilia.

Semoga saja. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro