Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selama menjalani masa rehab hampir dua bulan lamanya, Sophie merasa jauh lebih tenang walau merindukan gemerlap kota Manhattan dan segala kesibukan pemotretan. Bimbingan konseling, meditasi, hingga bercocok tanam di taman yang disediakan oleh pihak rehabilitasi menjadi kegiatan sehari-hari Sophie. Ya, meskipun di awal-awal terasa berat karena harus melepas perlahan-lahan obat yang membuatnya kecanduan.

Selain itu, beberapa orang sesama pecandu narkoba ternyata mengenal dirinya sebagai model. Mau tak mau Sophie sedikit bangga meskipun sekarang dia tak lagi menjadi bagian dari agensi modeling. Dunia berputar begitu cepat dan sekarang posisi Sophie berada di dasar jurang kehidupan.

Beberapa waktu lalu, manajernya datang menjenguk dan memberi beberapa surat pernyataan bahwa Sophie benar-benar tak bisa menjalani pekerjaan seperti dulu. Sophie berusaha menjelaskan bahwa dia tak kan mengulangi perbuatannya lagi, namun manajer berambut pirang yang sudah muak atas janji-janji manis model tersebut dengan tegas mengatakan tidak.

"Aku tidak bisa banyak membantumu, Sophie, sudah berapa kali kau terkena kasus yang sama dengan janji yang sama," ucap Scarlett. "Kau tidak mau menurut padaku, jadi sekarang terimalah akibatnya."

Pada akhirnya Sophie hanya bisa mengacungkan kedua jari tengah, menahan kesal dan amarah mengapa tak banyak orang yang mau membantu. Baginya, kesalahan bisa diperbaiki asal mereka mau bersabar. Dia juga membela diri dan melontarkan alasan dasar mengonsumsi obat terlarang hanya untuk bersenang-senang dan menjaga stamina. Tidakkah mereka paham kalau dunia modeling benar-benar menguras tenaga dan batin? Harus memasang senyum palsu di depan kamera dan berlagak seperti manusia sempurna di dunia. Lagi pula dia juga tidak pernah sampai overdosis seperti artis lain yang hampir meregang nyawa.

"Mereka pecundang," ucap Cindy tiba-tiba muncul di belakang Sophie. "Mereka hanya bisa membuang sampah tanpa mau mendaur ulangnya lagi."

Sophie berbalik, menatap ekspresi Cindy sambil tersenyum kecut dan melipat kedua tangannya di dada. "Apa kau sedang memujiku atau menghinaku?"

"Kita berdua sama," jawab Cindy mengabaikan pertanyaan Sophie. "Bahkan kedua orang tuaku pun tidak mau melihat putrinya yang sedang direhabilitasi."

Bibir Sophie terbungkam. Jika ditilik kembali, dia memang tidak pernah melihat keluarga Cindy kecuali lelaki bermata abu-abu yang selalu memandangnya penuh arti. Apakah keluarga kalangan atas memang seperti itu? Harmonis di depan publik, namun miris di belakang sampai-sampai mencari pelarian lain. Tapi, seharusnya Cindy bisa memanfaatkan peluang menjadi orang kaya. Pergi ke belahan dunia lain dengan membawa banyak uang dan berfoya-foya di sana daripada bergelut satu kota bersama orang-orang yang sama. Ah, mungkin pemikiran gadis muda ini belum sampai ke sana di mana petualangan di tempat lain lebih menyenangkan.

"Tapi, kau memiliki seseorang yang rutin mengunjungimu," kata Sophie melangkah melewati Cindy dan memilih duduk di atas bangku panjang bercat putih.

Dia berpaling, memandang sekitar terdapat banyak pohon yang begitu rimbun. Dedaunan saling gemerisik dibelai angin menimbulkan kesan sejuk dan damai di hati. Angin menerpa wajah mereka, memberi kehangatan seperti pelukan seorang ibu yang sudah lama dirindukan. Tak jauh darinya ada beberapa orang sedang melakukan yoga di bawah pohon. Gerakan-gerakan mereka begitu pelan dan penuh kesabaran, mengatur pernapasan dan aliran darah begitu kata si pelatih yang diingat Sophie. Namun, dia mengelak, yoga hanya dilakukan bagi mereka yang ingin mencari ketenangan sementara Sophie tidak suka. Dia lebih nyaman berada di keramaian, melakukan olaharga diiringi musik keras yang mengentak-entak telinga.

Cindy mendaratkan pantat di sisi kanan Sophie, bersandar pada tiang bangunan kokoh bercat cokelat pucat, menatap langit biru yang tampak cerah di musim panas. Harusnya ini menjadi musim yang menyenangkan, batinnya. Sophie menyukai musim panas walau suhunya sangat menyengat kulit. Berjemur di pantai atau berbaring di Central Park, menari bersama di MoMa PS1 yang selalu diadakan tiap tahun, hingga membeli street food harga murah. Sayangnya, hal itu hanyalah mimpi ketika dia dikurung di tempat yang tidak menyenangkan ini.

Dia menoleh, memandang garis wajah Sophie yang benar-benar mirip dengan mendiang kakak iparnya. Bahkan suara gadis itu pun sama, kecuali cara bicaranya yang terkesan angkuh. Sangat berbeda daripada mendiang Cecilia. Tapi, apa yang dilihat Cindy sekarang memang tidak bisa mengelak kalau alasan Evan sering datang ke mari tidak hanya menjenguknya melainkan curi-curi pandang ke arah Sophie. Bibir Cindy melengkung masam, Evan terlalu naif padahal banyak wanita menawan, sayangnya posisi Cecilia tidak akan bisa tergantikan meskipun Sophie bisa saja mengisi posisi itu. Cecilia dan Sophie memiliki kepribadian yang berbeda, seperti dua mata koin yang tidak akan pernah bertemu.

"Kenapa kau memandangku seperti itu?" tanya Sophie seraya menaikkan sebelah alisnya.

"Tidak. Hanya saja ... mengapa kau memilih dunia gelap di saat di sekitarmu begitu terang benderang, Sophie?"

"Aku tidak paham maksudmu. Kukira umur kita tidak jauh berbeda, bisakah kau menggunakan bahasa ... yang bisa kupahami?"

Cindy terkekeh. "Narkoba? Mengapa kau memilihnya di saat hidupmu sudah penuh dengan sorotan kamera? Apa kau ini haus perhatian?"

Kali ini Sophie tertawa terbahak-bahak, hingga air matanya keluar dari sela-sela mata lentiknya. Mengibaskan tangan menepis anggapan Cindy tentang dirinya yang haus perhatian. Dalam hati dia membenci tipe gadis yang suka ikut campur urusan pribadi orang lain seperti Cindy. Bagi Sophie, narkoba bukan sebuah pilihan ketika dunia sudah menyorot dirinya akibat sering tersandung berbagai skandal. Dia terpaksa mengkomsumsi barang haram itu untuk melupakan semua rasa sedih terhadap kehidupannya sendiri. Bir atau wine bahkan vodka, tidak pernah bisa membuatnya benar-benar lupa hanya tenggelam dalam fatamorgana sesaat sebelum disadarkan kembali akan kenyataan kejam.

"Kau akan tahu ketika dunia sudah tidak memerhatikanmu, Cindy," ucap Sophie kemudian beranjak meninggalkan gadis itu seorang diri.

"Dunia memang pemilih!" seru Cindy menggema lorong, membuat langkah Sophie terhenti. Dia berbalik, menatap gadis berambut blonde dengan tatapan penuh tanda tanya. "Mungkin kematian adalah jawaban untuk manusia yang ingin menyerah, Sophie."

Tentu saja Sophie menolak ide gila itu. Dia menggeleng tak setuju atas pernyataan Cindy. Dunia memang kejam, tapi kematian bukanlah jawabannya. Manusia boleh menyerah, tapi menyerahkan nyawa tanpa usaha itu bukan pilihan terakhir. Walau Sophie membenci dunia, dia masih ingin bernapas dan menikmati surga yang diberikan Tuhan.

Tanpa membalas ucapan Cindy, Sophie memilih pergi dan kembali ke kamarnya. Dia merasa akan bertambah gila jika terlalu lama berkomunikasi dengan gadis itu. Dia berharap akan segera keluar dari sini sebelum pikirannya semakin tak waras.

###

Evan menekan pedal mobilnya begitu cepat, membelah jalanan yang cukup padat hingga beberapa kali harus menekan klakson dengan keras. Di perempatan jalan dia hampir menabrak pengendara lain, jika kaki Evan tidak menginjak rem. Napasnya terengah-engah serasa malaikat sedang berada di belakang dirinya untuk menjemput ajal. Evan melirik jam Rolex hitam yang melingkar di tangan kiri lalu memukul kemudi sambil menggeram. Sungguh lelaki itu sedang berburu dengan waktu usai mendapat kabar dari pihak rehabilitasi bahwa Cindy ditemukan tewas gantung diri.

Menerobos mobil-mobil ketika melintas Manhattan Bridge dengan kecepatan tinggi sampai jarum speedometer menunjukkan angka 120 km/jam. Pikiran Evan begitu kalut bercampur rasa takut, apalagi kedua orang tua Evan belum tahu tentang kematian Cindy. Hanya Evan yang dihubungi oleh pihak Bride Back to Life Center sebagai wali. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi ayah dan ibunya mengetahui Cindy sudah tidak bernyawa lagi.

"Mom dan Dad sudah tidak peduli, untuk apa aku hidup lagi, Evan?"

"Aku membencimu karena hanya kau yang dianggap mereka sebagai anak!"

"Kenapa aku harus lahir jika Ibu tidak mau berbicara denganku? Mengapa aku harus di asrama yang begitu jauh dari kalian, sementara kau bisa seenaknya memiliki mansionmu sendiri!"

Kalimat Cindy ketika Evan menjenguk beberapa hari lalu seolah menjadi pertanda bahwa gadis itu benar-benar sudah ingin menyerah pada hidup. Evan menangis, rasa bersalah telah membelenggu dirinya. Kepalanya serasa dipukuli batu besar sampai rasa sakit itu tidak dapat didefinisikan lagi. Evan pernah merasakan kehilangan lima tahun lalu dan sekarang ... dia mengalami perasaan menakutkan itu lagi. Hatinya dilubangi paksa tidak bisa membayangkan tubuh kaku Cindy berada di peti mati seperti Cecilia dulu. Tidak!

Bercucuran air mata, Evan merasa gagal menjadi kakak pun gagal menjadi penengah antara Cindy dan kedua orang tuanya. Cindy selalu merasa diabaikan semenjak semua prestasi di kampusnya menurun akibat hubungannya dengan Darrel. Padahal, tidak kurang-kurang kedua orang tua mereka mengingatkan agar mementingkan pendidikan di atas gelora cinta dua remaja itu.

Akibatnya Cindy terpaksa dimasukkan ke dalam asrama dengan tujuan dia lebih disiplin belajar dan menyiapkan gadis itu untuk mengurus perusahaan nanti. Sayangnya, gadis itu terlalu berpikiran pendek, menganggap keputusan Dandras tak ayal hanya untuk menyingkirkannya dari rumah. Evan pun telah memberi nasihat sebagai kakak, tapi semua perkataannya hanya angin lalu, Cindy sudah terlalu kecewa.

Range Rover hitam itu berhenti tepat di depan bangunan rehabilitasi bersamaan dengan sebuah ambulans yang terparkir tak jauh dari posisi Evan. Dia melesat keluar, berlari untuk mencari kebenarannya. Debaran dalam dada Evan makin tak kruan, dia belum siap menerima kenyataan. Hatinya makin ditusuk-tusuk oleh pisau tajam nan panas, berharap Cindy hanya membuat sebuah lelucon untuk menarik perhatian semua orang.

Ketika sampai di area lapngan kecil yang biasanya digunakan penghuni rehabilitasi berolahraga, Evan menerobos beberapa petugas. Kemudian seseorang yang mengenalinya langsung menarik lengan Evan untuk menjauh dari TKP di mana tubuh Cindy ditemukan tewas gantung diri di pohon dekat kolam ikan.

Evan menampik, matanya memerah ketika tubuh kaku Cindy tertutup selembar kain putih, di sekelilingnya dipasang garis polisi untuk menghalangi orang-orang yang akan masuk ke area TKP. Dada Evan bergemuruh, tubuhnya ambruk ke tanah melihat kenyataan adiknya benar-benar tidak bernapas lagi. Berulang kali dia menggeleng kepala berusaha membangunkan diri jika ini adalah sebuah mimpi. Namun, sebesar apa pun usahanya untuk sadar, tubuh yang tertutup kain itu masih di sana bersama petugas polisi yang tampak menginterogasi saksi mata.

"Mr. Clayton?" panggil seorang wanita berambut pirang yang mengenakan seragam biru.

Evan mendongak, menghapus air matanya lalu beranjak seraya berkata, "Ma'afkan aku. Hanya saja, ini ..."

"Kami minta maaf atas kejadian ini, Tuan," ucap wanita itu dengan raut wajah sedih. Kemudian, dia menyerahkan sebuah kertas. "Kami menemukan ini di saku celananya."

Dengan gerakan cepat, Evan membuka lembaran kertas itu dan membaca tulisan tangan adiknya di sana. Mulutnya menganga, air matanya kembali jatuh dengan rasa penyesalan yang semakin membekap. Sebelah tangan Evan menjambak rambut tembaganya sendiri, berteriak frustrasi menyalahkan petugas yang ada di rehabilitasi, mengapa mereka sampai lengah mengawasi salah satu pasien mereka. Beberapa orang pun menahan tubuh Evan agar tidak semakin menggila. Namun, justru salah satu petugas yang berkulit hitam mendapat pukulan telak di ulu hatinya hingga dia mengaduh kesakitan.

"Tenanglah, Tuan!" seru wanita berambut pirang. "Sungguh kami sangat menyesal atas kejadian ini."

"Menyesal?" lirih Evan menyipitkan pandangan. "Apakah kata itu bisa mengembalikan nyawa Cindy, hah!" tunjuk lelaki itu pada si wanita pirang.

Seakan tidak segera mendapat jawaban, Evan menerjang petugas berambut pirang yang bertubuh kurus itu. Tubuhnya lagi-lagi ditahan, si wanita pirang berlindung di balik punggung temannya dengan ketakutan. Evan berusaha melepaskan diri, emosinya begitu meledak seperti bom atom yang bisa melenyapkan apa saja. Jauh di lubuk hati, dia tidak tahu harus mengatakan apa kepada kedua orang tuanya.

Evan berhasil melepaskan diri, kedua kakinya berlari mendekati tubuh kaku sang adik, menerobos garis polisi yang melintang. Dia tidak mempedulikan polisi yang berusaha menjauhkan dirinya dari mayat Cindy, justru dia kembali menghantam wajah si polisi hingga terhuyung ke tanah. Evan bertekuk lutut, meraih tubuh dingin Cindy yang berselimutkan kain putih.

"Kenapa kau lakukan ini, Cindy?" tanyanya dengan nada pilu. "Kenapa kau..."

Bibir Evan tidak sanggup melanjutkan ucapannya sendiri, terlalu pahit dan menyakitkan bahwa adiknya harus memilih jalan pintas ketika manusia di ambang rasa putus asa. Harusnya ini tidak boleh terjadi, Cindy terlalu cepat mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup. Namun, waktu sudah bisa diputar ulang, bahkan nyawa Cindy pun takkan kembali ke raga yang masih dalam dekapan Evan.

Nampak dari jauh, Sophie melihat itu semua dalam diam. Dia sendiri tidak menyangka jika teman barunya adalah adik dari lelaki bermata abu-abu itu. Dia juga tidak mengira bahwa ucapan gadis pucat tadi sore adalah ucapan terakhirnya.

Kematian bukan jawaban atas manusia yang putus asa, apa dia tidak sadar bahwa ada kehidupan setelah kematian? Dia pikir kematian akan mempermudah segalanya? batin Sophie.

Tanpa sadar, kristal bening itu merembes menuruni kedua pipi Sophie, dia menengadah menahan agar air mata itu tidak keluar lebih banyak. Dia merasa bodoh, mengapa harus menangisi gadis yang sudah bertindak jauh tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi selanjutnya. Dia tersenyum kecut, menyadari tindakannya sendiri yang harus peduli dengan kehidupan orang lain sedangkan hidupnya sendiri pun juga susah. Dihapus jejak air mata dengan kedua punggung tangan, berbalik untuk menghilang di antara keramaian di tengah malam itu. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro