Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekuat tenaga Sophie berlari merasakan dorongan angin menyuruhnya untuk pergi sejauh mungkin dari teriakan Evan. Ini gila, tapi Sophie tidak punya pilihan lain kala dia butuh sesuatu untuk komunikasi. Keluar dari rehabilitasi, kehidupannya tidak akan bisa kembali seperti skandal-skandal sebelumnya. Ponsel, apartemen mewah, uang, dan semua barang branded miliknya disita. Baik oleh agensi sendiri sebagai tuntutan ganti rugi maupun polisi yang berusaha mencari celah untuk menyulap setiap barang Sophie menjadi barang bukti. 

Debaran dalam dadanya makin tidak karuan, peluh keringat bercucuran membasahi kening, dan wajah Sophie sepucat mayat. Pupil mata birunya menegang seiring aliran darah mengalir cepat. Memaksa otot-otot kakinya melaju cepat usai memancing masalah dengan salah satu orang yang berpengaruh di Manhattan. Tapi, tangannya terlanjur merebut ponsel Evan walau bayangan jeruji besi sudah memenuhi benak. Sekarang, tidak ada waktu bagi Sophie untuk menoleh ke belakang dan melihat reaksi murkanya. Lagi pula, kehilangan satu ponsel pasti tidak ada artinya bagi Evan si pengusaha kaya. 

Seakan tidak takut maut, Sophie menyeberangi jalanan yang dipenuhi oleh pengendara. Menimbulkan keterkejutan dari pengemudi yang terpaksa menginjak rem mendadak, diikuti suara decitan cukup nyaring dan sumpah serapah. Klakson-klason bersahut-sahutan mengolok kelakuan Sophie yang bisa membahayakan orang lain. Namun, gadis itu hanya berteriak maaf berharap satu kata tersebut bisa mengampuni dirinya. 

"Hei!" suara teriakan Evan mengekori Sophie. 

"Sialan!" geram Sophie melewati gerombolan orang-orang yang berjalan cepat di sepanjang pertokoan. Tak sengaja menabrak bahu seseorang sampai makanan yang dibawanya terjatuh. 

"Fuck! Jaga matamu!" umpat seorang pria berkepala plontos. 

"Sorry!" seru Sophie. 

Kaki berbalut sepatu kets putih milik Sophie berbelok ke sebuah jalan sempit di mana ada dua bangunan tinggi bercat merah bata dan cokelat tua. Bola matanya menangkap sebuah tong sampah besar bau yang cukup menyengat hidung. Tak punya pilihan karena nyaris kehabisan energi ditambah napasnya terasa berat. Sophie segera bersembunyi di balik tempat pembuangan makanan seraya menahan rangsangan indra penciumannya dengan menaikkan ujung kaus pink menutupi kedua lubang hidung. Dia melongok, mencoba mengintip apakah sosok Evan masih mengejarnya. 

"Sial!" seru Sophie menahan suaranya mendapati pria tersebut berdiri di ujung jalan seraya mengedarkan pandangan. "Kehilangan ponsel tidak membuatmu miskin, kenapa kau tidak merelakannya saja?" gerutunya kesal. 

Astaga aku lupa Tommy!

Dia baru terpikirkan sosok Tommy yang mungkin sekarang menunggu tak sabar di depan area rehabilitasi. Buru-buru dia membuka ponsel Evan untuk menelepon temannya seraya sesekali mengintip kembali apakah Evan masih di sana. Terpujilah bagi Tuhan! batin Sophie mengetahui pria itu sudah menyerah dan ponsel Evan tidak menggunakan kombinasi sandi rumit. Dia berpikir apakah semua orang kaya seperti pria itu tidak punya ranah privasi dan membiarkan ponsel pribadi miliknya menjadi konsumsi publik? 

"Halo?"

"Tom, Ini aku, Sophie," ucap Sophie. 

"Sophie Boucher? Hey! Kau di mana? Kenapa kau lama sekali, Sophie? Dan kau memakai nomor siapa ini?" cecar Tommy dengan intonasi cepat seperti sedang memarahi anak kecil. 

Sophie memastikan kembali penglihatannya pada sosok Evan benar-benar lenyap. Seulas senyum merekah terukir di bibir sensual Sophie. Dia mengira kalau lelaki itu tidak terlalu cepat walau dari bentuk badannya yang kekar pasti sangat rutin berolahraga. Sophie beranjak, merasakan kedua kakinya mulai kesemutan dan menjauhi dari aroma busuk tong sampah. Dia menengadah sebentar lalu menekan tombol loudspeaker untuk melihat di GPS di mana posisinya berada.

"Aku dekat dengan Key Food Supermarket," tandas Sophie melihat ada sebuah tempat perbelanjaan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dari peta ponsel, butuh waktu sekitar tiga menit berjalan kaki untuk sampai di sana. Hanya perlu jalan lurus sampai ke ujung jalan ini lalu belok kanan dan menyeberang. Tokonya berada di sisi kiri perempatan. "Kau tidak perlu tahu nomor ini, Tom. Oke aku tunggu di sana. Bye."

Sebelum Tommy menimpali ucapan Sophie, dia langsung memutus sambungan telepon. Sophie pun mengeluarkan sim card yang ada di ponsel itu dan mematahkannya menjadi dua, kemudian membuangnya ke tempat sampah. 

"I'm so sorry, Evan," lirih Sophie. "Orang kaya sepertimu tidak akan rugi hanya karena kehilangan satu ponsel. And I need this one."

###

Bagai orang tak punya dosa. Lebih tepatnya manusia yang terbiasa akan dosa seperti Sophie berjalan begitu santai memasuki area supermarket. Lagi pula dia sudah tidak punya apa-apa. Penggemarnya mungkin berubah haluan menjadi haters. Sophie juga sudah terbiasa dan akan bersikap masa bodoh. Manusia tidak bergantung pada satu orang saja, apalagi jaman sekarang banyak manusia yang memakai topeng sekadar mencari simpati atau berkamuflase menjadi yang diinginkan orang-orang. Sophie tidak mau. Baginya menjadi manusia palsu tak lebih dari robot atau patung lilin yang dirancang sesuka hati. Termasuk tunduk pada aturan mereka. Jadi, selama dia bisa survive, Sophie yakin dia masih bisa hidup tenang dan makan enak. 

Sembari menunggu Tommy, Sophie berkeliling seraya mendorong troli besar mengambil beberapa bahan makanan yang terpajang di rak-rak. Buah, daging, sayur, hingga beberapa botol cola. Tak lupa pula tiga kotak sereal juga beberapa kaleng bir bisa menemani hari-harinya sebagai pengangguran. Dia berpikir, selagi Tommy berlagak seperti malaikat, Sophie ingin memanfaatkan kebaikan temannya untuk membayar semua belanjaan ini. Bibir gadis itu melengkung kegirangan, meraih botol saus tomat tanpa memikirkan berapa harganya. Dia terkikik dalam hati, kapan lagi ada kesempatan seperti ini dikala semua jerih payahnya disita.

Tak sengaja pandangan Sophie menangkap sosok Tommy terlihat mencari-cari di rak-rak sayur-mayur. Gadis itu mengangkat tangan di depan rak berisi sereal. Tommy pun membalas lambaian tangan Sophie penuh kelegaan lalu berlari menghampirinya. Sebelum lelaki itu mengeluarkan suara, Sophie berkata,

"Bisakah kau membayar ini? Aku lapar dan rindu makanan enak."

Tommy menganga beberapa saat mengamati betapa penuh keranjang belanja Sophie. "Sudah berapa kau tak makan? Cola? Itu akan membuat dietmu seketika hancur, Sophie."

Gadis itu tertawa, menampilkan deretan gigi yang terawat baik. Lesung pipi tiap Sophie tersenyum pun muncul membuat raut wajahnya terlihat begitu manis menghipnotis Tommy.

"Aku bukan lagi model dari agensimu. Anggap saja aku sedang cuti, selagi mencari pekerjaan lain, Tom."

"Baiklah. Mungkin kau bisa menginap di apartemenku," tawar Tommy. "Aku masih punya satu kamar kosong kalau kau mau."

Sophie menggeleng cepat. "Kurasa tidak dan terima kasih. Aku ingin menyendiri untuk sementara waktu dan akan menyewa hostel atau losmen atau apartemen—"

"Dari mana kau mendapat uang?" sela Tommy kesal. "Bukankah manajermu telah mencabut semua akses rekeningmu? Polisi menyita hartamu? Daripada kau membuang uang, kau bisa tinggal di tempatku sementara waktu selagi kau mencari pekerjaan. Bagaimana?"

"Tidak. Aku tetap pada pendirianku, Tom," kata Sophie. "Kau sudah terlalu baik. Aku akan tinggal di Freehand New York,  itu tempat paling murah yang bisa kutinggali. Sekalian saja kau bayari penginapanku."

Tommy memutar bola matanya, berdebat dengan Sophie hingga berbusa pun tak akan mengubah pendirian gadis itu. Mau tak mau, akhirnya dia mengangguk, mengiyakan permintaan teman dekatnya sembari mengekori Sophie menuju kasir.

###

Pintu kaca terbuka otomatis ketika Evan memasuki lobi gedung BankLux,  menapaki keramik yang dingin terburu-buru. Jam sudah menunjukkan hampir pukul dua siang, yang artinya Evan terlambat rapat satu jam lamanya. Entah umpatan apa yang bakal keluar dari mulut ayahnya,  jika para calon klien yang akan menanam saham tidak jadi menandatangani kontrak mereka. 

Lift terbuka, menampilkan beberapa pegawai yang langsung menyapa Evan dengan sopan dan hormat. Evan hanya menganggukkan kepala singkat tanpa melempar sapaan seperti yang seharusnya dilakukan oleh pemimpin bersahaja. Sudah tidak waktu, batin Evan sembari menekan tombol 15 di sisi kanan kotak besi itu. Pintu langsung menutup,  membawa Evan menuju lantai teratas.  Kedua mata abu-abunya menggelap mengamati pergantian angka demi angka dengan tak sabar.

Rahangnya mengetat keras, menahan diri untuk tidak meledak-ledak atau memecahkan sesuatu akibat kehilangan ponsel. Merutuki diri sendiri mengapa di saat-saat genting seperti ini harus menerima kesialan. Dia tidak menyangka bahwa ponselnya dicopet begitu mudah. Harus dia akui kalau dirinya sedikit lengah karena memikirkan kematian adiknya, masalah perusahaan, tuntutan Dandras, dan permintaan Brave. Yang lebih utama adalah ponsel yang diambil perempuan tak tahu diri itu ponsel bisnis di mana semua kontak klien dan koleganya ada di sana semua. Tangan kanannya memijit kening,  menyesali mengapa harus kehilangan jejak gadis pencuri itu. 

Lift berdenting lalu pintu terbuka pelan, Evan melesat begitu saja tanpa memedulikan karyawannya yang menyapa di depan pintu lift. Dia berlari hingga ke ujung lorong dan kakinya terhenti tiba-tiba sampai nyaris terjungkal kala mendapati Dandras berdiam diri di sana. Dandras duduk seraya mengetuk-ngetuk bolpoin di atas meja kemudian menoleh merasakan kehadiran sang putra.

Evan menelan saliva, jelas dari raut wajah Dandras yang setegang kawat itu tengah menahan murka. "Dad,  aku--"

"Apa kau tidak bisa menghargai waktu?" sindir Dandras dengan nada sinis. Kalimat menohok yang menusuk jantung Evan tanpa aba-aba.  

Evan melangkah pelan,  iramanya napasnya naik turun akibat harus mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata dilanjut berlari hingga sampai di ruang rapat. Nyatanya,  pertemuan penting telah usai,  bahkan dia tidak tahu apakah mereka menyetujui kontrak itu tanpa dihadiri direktur utama. Padahal, seharusnya Evan mempresentasikan programnya kepada mereka, sayangnya semua itu lenyap karena pencuri itu.

"Sungguh, maafkan aku... " cicit Evan memandang Dandras dengan rasa bersalah. "Apakah mereka setuju?"

Refleks Dandras melempar bolpoin hampir mengenai wajah Evan, namun meleset justru membentur dinding kaca di belakangnya. Tatapan mata Dandras yang dalam dan tajam kini seperti menghakimi Evan secara batin. Kepala Evan tertunduk, menerima apa yang akan dilakukan ayahnya nanti. Dia memang bersalah.

"Mereka tidak jadi menandatangani kontrak hanya karena kau tidak segera datang, Evan!" seru Dandras. Amarah lelaki tua itu menggema, membekap Evan hingga dia merasakan seluruh tulangnya gemetaran. "Kau menjadi direktur di sini bukan untuk main-main apalagi menangisi kematian adikmu!"

"Ponselku dicuri!" seru Evan, "dan ini tidak ada hubungannya dengan Cindy!"

Keempat mata itu saling menatap nyalang, menambah panas ruangan itu.  Evan mengalah,  berpaling ke kiri menatap gedung-gedung pencakar langit lainnya. Dasi yang sudah longgar di lehernya, dia lepaskan kembali dan melepas dua kancing atas kemejanya untuk mendinginkan kepala yang sudah berasap akibat terbakar emosi.

"Aku minta maaf," ucapnya lirih. "Sungguh aku minta maaf,  Dad."

Evan berpaling menatap wajah tua laki-laki yang sudah membesarkan dirinya. Sekejam apa pun Dandras,  kadang apa yang dilakukannya adalah benar. Kematian Cindy bukanlah akhir segalanya,  dia harus mengikhlaskan nyawa adiknya yang mungkin sudah bersenang-senang di surga atau justru terjebak dalam dunia kegelapan sebagai hukuman dari Tuhan.

Evan tidak tahu.

"Aku akan mendatangi mereka, jika mereka tidak mau datang ke sini, " ujar Evan, "akan kujelaskan bahwa ponselku dicuri dan rapat hari ini juga bertepatan dengan pemakaman Cindy. Jika mereka punya hati,  seharusnya mereka memahami."

Dandras menghela napas, seolah udara yang dikeluarkannya itu menandakan dirinya sudah sangat lelah.  Dia mengangguk pelan, "Lakukan yang kiranya bisa kau lakukan untuk menebus hari ini."

Evan mengangguk lalu Dandras melangkah cepat meninggalkan anaknya di ruangan itu seorang diri. 

Kini, Evan menggeram kesal. Dia bahkan tidak memiliki lagi semua kontak koleganya itu. Semua ada ponsel yang sialnya dicuri begitu saja oleh gadis bajingan.  Dalam hati,  jika dia bisa menangkap pencuri itu, ingin sekali Evan menjebloskannya ke dalam penjara atau menuntutnya sebagai tindakan yang merugikan perusahaan. 

Dia memutuskan untuk menemui sekretarisnya yang sedang duduk, mengerjakan laporan di depan ruang rapat.

"Grace," panggil Evan pada seorang gadis beranbut pirang yang digulung rapi.  "Bisa kau telepon semua orang yang hadir rapat tadi?  Tolong jadwalkan pertemuanku dengan mereka, katakan bahwa aku minta maaf tidak bisa hadir rapat karena ponselku dicuri--"

"Dicuri? Apa Anda baik-baik saja, Tuan?" Ekspresi Grace tercengang sampai mata besarnya makin membesar. 

"Ya. Aku baik, hanya saja Ayahku hampir ingin melemparku dari atas gedung," canda Evan dengan wajah serius membuat raut Grace makin tegang. "Oh, come on, jangan serius. Tolong lakukan saja. Dan pesankan satu buah ponsel baru, kirimkan ke sini."

"Baik, Tuan."

Sebelum Evan pergi, dia baru teringat bahwa ponsel lamanya itu ada pengaturan GPS sehingga dia tahu ke mana pencuri membawanya. Bibirnya mengulum senyum, mengucapkan terima kasih pada sekretarisnya lalu melesat ke dalam ruang kerja. 

Kau pikir bisa kabur,  huh?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro