Bab 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Selamat menikmati hari Anda, Nona," ucap seorang lelaki berkulit hitam terdengar ramah, menyerahkan sebuah kunci berwarna perak.

"Terima kasih," balas Sophie menerima kunci itu, menurunkan sedikit ujung topi dan kacamatanya yang dibeli di salah satu toko bersama Tommy. 

Ini salah satu penyamaran yang klasik namun cukup berhasil ketika harus bersembunyi dari paparazi. Sebenarnya tawaran Tommy adalah pilihan terbaik, tapi menjadi survivor pengangguran tak lantas membuatnya benar-benar menggantungkan hidup selamanya. Dia harus mencari cara dari cara lain termasuk memohon pada Tommy membayar uang sewa sebuah hostel selama sebulan. Setelah itu dia berencana akan menjual ponsel Evan kepada seseorang yang berminat. IPhone keluaran terbaru milik pengusaha kaya tersebut diyakini masih punya harga tinggi. Tak ada salahnya kan.

Jika bisanya dia menginap di hotel bintang lima dengan fasilitas kelas VIP, sekarang Sophie  menginjak bangunan sederhana namun cukup unik. Gedung bekas George Washington Hotel—rumah bagi para penulis dan musisi, kemudian diubah menjadi hostel berfasilitas restoran dan bar dikelola Gabriel Stulman, seorang CEO sukses di bidang kuliner. Di meja resepsionis bercat hijau tua ada meja terbuat dari kayu yang diberi keramik warna hijau gelap. Suasananya tenang dan sejuk, jika ditilik lagi meja penerimaan tamu itu Sophie seolah-olah terbawa ke salah satu adegan Harry Potter saat mengunjungi kantor kementerian sihir.

Di sudut lain, dia melangkah bersama Tommy memasuki lobi berkonsep tropis. Tampak beberapa pahatan patung kayu ditempel di tembok, beberapa tanaman dengan sulur yang merambat ke bawah, dan kursi-kursi sofa berwarna nude. Kombinasi yang cantik dan tidak terlalu sakit di mata, pikir Sophie terkagum-kagum. Kini dia menaiki tangga disambut lorong bercat sama seperti di bagian resepsionis, bedanya banyak lukisan abstrak beraneka ukuran terpajang di kiri dan kanan. Di tengah-tengah, ada sebuah lampu besar bergaya kuno menggantung, lantai keramiknya berwarna cokelat muda dengan pegangan tangan berwarna hitam.

Kini, mereka berdua menyusuri lorong berpintu jejer rapi. Dinding kayu berukiran gaya abad pertengahan begitu mendominasi dan terasa pekat. Entah konsep apa yang diberikan oleh si pemilik, namun Sophie terlihat kagum bukan main. Dia tidak memedulikan konsep, yang penting dia bisa merebahkan punggungnya sejenak di atas kasur.

Mereka berhenti di depan pintu bercat hijau bernomor 124. Sophie memasukkan kunci ke lubang pintu lalu membukanya. Hal yang sungguh berbeda dia dapatkan. Kamar itu bercat putih bersih, hanya ada lukisan grafitti dekat jendela, dan kasur kecil. Di sisi kanan, ada satu TV LED yang menempel di dinding. Bagian kanan kasur yang berseprai putih dan selimut berwarna abu-abu, ada satu meja kecil terbuat dari kayu berhias lampu tidur sebagai penerangan. Di sisi kiri, satu kamar mandi yang sepertinya hanya muat untuk satu orang.

Sophie menghela napas, entah harus bersyukur atau tidak menerima bahwa dunianya benar-benar sedang berada di posisi paling bawah. Tapi, dia tidak punya pilihan lain ketika semua hartanya disita sebagai barang bukti pembelian narkotika. Termasuk kartu kredit yang diblokir oleh pihak bank, agensi yang seharusnya menaungi dan melindungi sang model kini justru angkat tangan. Sophie sadar kelakuannya memang kadang di luar batas, tapi itu semua dilakukan untuk kesenangan belaka di usia muda. Lagi pula dia tidak pernah sampai overdosis.

Tapi, itu tetap salah! Sadarlah Sophie!

Usai menaruh barang-barang di lantai, Sophie berkata, "Thanks for everything, Tom."

Kalimat itu jelas diucapkan secara tulus oleh Sophie. Di mana lagi dia mendapatkan pertolongan ketika dunianya benar-benar tidak peduli. Tommy hanya tersenyum tipis, membelai lembut pipi Sophie yang sedikit hangat. Dikecupnya kening gadis itu singkat seraya berkata,

"Tidak masalah. Kita adalah teman."

Sophie mengangguk. "Aku harus istirahat. Nanti kuhubungi dirimu."

"Kau tidak punya ponsel, Sophie," sindir Tommy. "Ah, aku baru ingat. Nomor yang kau gunakan untuk meneleponku, nomor siapa?"

"Aku ... ehm ... ya ... itu kebetulan aku menemukan ponsel terjatuh," tandas Sophie menghindari tatapan Tommy. Apakah ini saatnya melakukan pengakuan dosa?

Mata beriris biru samudra itu menyipit tak percaya. "Ponsel terjatuh atau kau mencurinya dari seseorang?" terka Tommy berusaha membaca kebohongan yang disembunyikan temannya.

"Aku terpaksa, oke!" jujur Sophie kesal. "Aku tidak memiliki apa-apa—"

"Tapi kau terus menyulut masalah, Sophie! Astaga ... kau baru saja keluar dari rehabilitasi, polisi masih memantaumu untuk bersikap baik, Boucher!"

"Ya ya, aku paham. Anggap kau tidak tahu masalah ini, lagi pula aku butuh ponsel." Sophie mengacak rambut frustrasi seraya duduk di tepi kasur.

"Kau bisa memintaku." Tommy berkacak pinggang mendapati kelakuan temannya yang benar-benar tidak takut hukum. "Aku bisa membelikanmu tanpa harus berurusan dengan polisi, Sophie."

"Ini keterlaluan, Tom. Aku tidak bisa selamanya bergantung padamu walau kita teman dekat," elak Sophie memandang Tommy tidak suka. "Aku tidak suka terlalu banyak berhutang pada orang lain, termasuk padamu."

Tommy menggeleng. "Kau gadis gila yang pernah kutemui, Sophie. Oke, aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Untuk satu itu kau harus menolong dirimu sendiri." Dia mengangkat kedua tangan, menyerah kalau sampai si pemilik ponsel melapor kepada petugas keamanan. 

"Asal kau tidak mengadu pada polisi sialan itu. Berjanjilah oke."

Tommy terpaksa menganggukkan kepala. "Tapi karma akan selalu datang, kawan."

"Aku sudah terbiasa dengan karma. Bahkan sepertinya kami bersaudara," canda Sophie melengkungkan bibirnya masam. 

"Oh, baiklah, jangan pasang muka seperti itu. Aku tahu kau gadis berani—"

"Ambil risiko?" sela Sophie penuh arti.

Sophie bangkit dan memeluk Tommy erat sekadar menyampaikan ucapan terima kasih pada lelaki bertubuh tinggi itu. Tommy membungkuk, menyesap aroma tubuh Sophie dalam-dalam lalu mengecup puncak kepala gadis itu dengan sayang sebelum berpisah. 

"Kau harus jaga diri," titah Tommy. 

"Always."

###

Harusnya ini menjadi musim panas yang hebat. Sayang Sophie harus menahan diri untuk tidak keluar dan menghabiskan uang pinjaman dari Tommy. Seraya menonton serial acara TV dengan tatapan bosan sampai-sampai beberapa kali mendecak kesal. Namun, pikirannya diajak memutar kilas balik memutar kenangan di tahun-tahun sebelum semua kekacauan ini terjadi. Tiap musim panas tiba, selalu banyak festival diadakan di New York termasuk menonton film klasik di atas rooftop Cinema Club. Salah satu event andalan yang wajib didatangi semua orang. 

Seulas senyum tipis terukir di bibir tebal Sophie membayangkan betapa serunya menonton film menggunakan headphone nirkabel. Duduk didampingi segelas koktail, popcorn, dan pemandangan matahari terbenam di kota Manhattan. Setelah film selesai bisa menghabiskan waktu di bar bersama orang-orang yang membicarakan masa depan atau sekadar mengeluh pekerjaan. 

Dia menoleh ke arah laci di mana ponsel milik Evan membisu. Beruntung gawai berlogo apel itu masih tersambung Wi-Fi, jikalau tidak rasanya akan sia-sia telah mencuri barang orang lain. Dari sana Sophie bisa mencari-cari lowongan kerja dan mengirim beberapa surel ke agensi-agensi lain untuk melanjutkan karier. 

Sial sungguh sial, keberuntungan memang tidak sedang berpihak pada Sophie. Tidak satu pun yang merespons email, bahkan ada satu di antara mereka begitu terang-terangan menolak Sophie. Beralasan kalau agensi mereka tidak mau rugi hanya karena menerima model yang sering bermasalah dengan media. 

"Jika begini, apa aku harus jadi gelandangan dulu?" gumam Sophie mengamati layar televisi yang menampilkan siaran Oprah.

Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala membuat senyum merekah terbit di bibir. Segera, Sophie beranjak dari kasur, meraih ponsel Evan, dan memasukkannya ke dalam sling bag hitam. Setelah mengikat rambut panjang dan memasang masker, Sophie keluar dari kamar seperti diburu waktu. Dia membiarkan televisi menyala dan berbicara dengan sendirinya tanpa memedulikan berapa tagihan listrik yang mesti dibayar pihak hostel. Sophie tidak ingin membuang waktu, dia berharap dia bisa mendapatkan sesuatu malam ini.

Aku harus mendapatkan uang apa pun caranya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro