Bab 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Melalui layar GPS Audi putih milik Evan, sinyal ponselnya menunjukkan lokasi di salah satu hostel dekat Baruch College. Ada kelegaan menjalar dalam dada Evan bahwa kemungkinan besar dia bisa mendapatkan kembali barang berharga itu. Bukan karena nilai beli gawainya, melainkan kontak kolega-kolega berada di sana semua. Ada segelintir pikiran horor kalau si pencuri bakal memanfaatkan ponsel Evan untuk menguras uang orang lain. Siapa tahu bukan? Jaman sekarang orang akan menggunakan berbagai cara hanya untuk memuaskan diri belaka. Dan jawaban dari segala masalah di dunia adalah uang.

Beruntung jaraknya ke lokasi tidak memakan waktu banyak dan Evan berdoa dalam hati, si pencuri tidak akan kabur lagi. Dia bersumpah akan membuat perhitungan dengan si pencuri yang sudah membuat kekacauan. Lantas, Evan segera menyalakan mesin mobil dan melaju perlahan membelah jalanan yang tidak terlalu padat. Dia berkelakar kalau bisa jadi hari ini hari keberuntungannya.

Audi mewah tersebut belok ke arah Madison Ave lalu melaju ke arah East 24th St, sinyal GPS masih menunjukkan tempat yang sama. Bibirnya tak berhenti tersenyum penuh kemenangan ketika Evan berhenti di depan sebuah bernama Freehand New York.

"Hostel?" gumam Evan mematikan mesin mobil lalu keluar. Dia menengadah, membaca sekali lagi papan nama bergaya retro itu. "Pencuri macam apa yang berani tidur di tempat ini?"

Begitu masuk di dalam, Evan disambut beberapa orang yang memenuhi lobi, sepertinya turis-turis dari luar singgah di sini. Pandangannya mengedar, sibuk mencari ciri-ciri fisik si pencuri yang diingat. Rambut cokelat keemasan tergerai sepunggung, tubuhnya ramping dan ideal, mengenakan celana jeans dan kaus pink. Penampilan yang terlalu umum untuk mengetahui siapa pelaku yang mengambil ponselnya. Selain itu, ada aroma sabun khas yang tidak dapat dia definisikan. Semacam perpaduan wangi musk dengan woody. Apakah dia harus mencium bau badan perempuan yang memiliki ciri-ciri sama? Itu hal gila bukan?

Evan berjalan menyusuri lobi, menerobos kerumunan sembari bertanya-tanya di mana si pencuri berada. Kaki berbalut sepatu pantofel yang terlihat mahal tersebut berbelok menuju restoran dan bar yang ramai. Botol-botol bir ditata rapi di atas rak kayu dengan bartender yang sedang melayani pelanggan. Meja-meja pun penuh gelas-gelas berisi alkohol diiringi musik yang berdentum cukup keras di telinga.

"Di mana kau?" gumam Evan mengamati sekeliling sembari menajamkan penglihatan untuk mendapatkan sosok yang diingatnya terakhir kali.

Mungkin terdengar aneh bagi orang-orang yang mengoloknya kalau sang direktur bisa membeli ponsel baru. Ya, dia memang sudah melalukannya tapi tetap saja Evan tidak terima karena berkat kekacauan yang dibuat oleh si pencuri, koleganya nyaris tidak menanam saham.

"Maaf." Evan tak sengaja menabrak bahu seseorang.

"Jaga matamu!" rutuk gadis itu kesal setengah mati dan seketika bola matanya membesar mendapati pria pemilik ponsel datang. "Fuck!" desisnya meloloskan umpatan.

Apa dia mengenaliku?

Untung saja masker yang menutupi wajahnya tidak membuat Evan mengenali Sophie begitu mudah. Dia hendak meminta maaf tapi terlanjur sumpah serapah yang keluar dari mulutnya. Dia mendecak dalam hati akibat terlalu mudah tersulut emosi. Tapi, dia tidak menyalahkan dirinya sendiri, lagi pula Evan yang menabraknya dulu.

Tunggu! Dari mana dia tahu aku di sini?

Sontak saja degup jantung Sophie berdetak kencang karena menyadari bahwa ada satu kesalahan besar yang dilupakannya. Semua ponsel di dunia ini pasti dilengkapi sensor pelacak yang memudahkan pemilik atau siapa pun menemukannya dengan sekali klik. Sial sungguh sial! Apakah dewi Fortuna sudah bosan memberi keberuntungan kepada Sophie?

Selagi Evan tidak terlalu menyadari penampilannya, Sophie menunduk untuk melewati pria tersebut dan menghilang di antara pengunjung lain. Kepalanya sedikit memutar, menilik Evan apakah masih di sana atau tidak.

"Hei!" suara Evan sedikit meninggi kala Sophie tampak mencurigakan.

Sial!

Evan terdiam beberapa saat seperti mengenal sosok yang tidak sengaja ditabrak. Aroma sabun yang dikenakannya sama persis dengan aroma sabun perempuan yang dicari. Musk dan woody. Tak ingin kehilangan kesempatan lagi, Evan bergegas mengejar gadis itu. Apalagi dari belakang, penampilannya bisa dikatakan 80 persen sama.

"Hei!" teriak Evan lagi membuat Sophie makin panik.

Sophie berlari keluar gedung tidak peduli harus mendapat cacian ketika menabraki tubuh-tubuh orang yang melintas. Suara Evan masih terdengar bahkan lebih dekat, Sophie takut jika dia harus mendekam di penjara lagi. Tidak bisa dia bayangkan betapa sial hidupnya sekarang.

"Hei!" teriak Evan mengerahkan seluruh tenaganya jangan sampai kehilangan si pembuat onar. Dia berhasil menarik paksa lengan gadis bermasker itu, hingga mereka berdua hampir terjatuh membentur paving jalanan. Instingnya benar, rambut serta bentuk tubuhnya sama persis dengan apa yang terakhir dilihat Evan di depan gedung rehabilitasi.

Dia menyipitkan kedua mata seraya bertanya, "Di mana ponselku?"

Sophie bungkam. Bibirnya tidak akan membuka suara jika tidak ingin terlibat dengan orang kaya seperti Evan. Namun, kekuatan cengkeraman tangan lelaki itu seakan-akan sedang ingin meremukkan tulangnya sekarang. Sophie merintih menahan sakit, tatapan tajam Evan seperti sedang menusuknya dalam tidak peduli rasa sakit yang diderita.

"Kau tahu apa akibatnya jika berhadapan denganku?" ancam Evan dengan suara penuh penekanan. "Kau ingin cara damai atau tidak, huh?"

"Kau tak kan mendapatkannya lagi!" Akhirnya Sophie mengeluarkan suara. Dia yakin nada bicaranya seperti seekor tikus terjepit pintu. Antara takut dan ingin melawan.

"Apa?" tanya Evan tidak mengerti.

"Kukatakan kau tak kan mendapatkannya lagi, Tuan! Aku sudah menjualnya kepada seseorang. Lagi pula, bukankah kau orang kaya?" sungut Sophie.

"Apa? Menjualnya?" ulang Evan dengan mata membesar. "Menjualnya katamu?" ulangnya lagi seperti ditampar kenyataan kalau ponselnya tidak akan bisa didapatkan sampai kapan pun.

Sophie menatap tajam Evan, menegakkan punggung dan memberanikan diri menantang lelaki itu. "Apa kau tidak dengar? Aku men-ju-al-nya, Tuan. Aku butuh uang dan—"

Refleks tangan Evan merebut masker yang menutupi wajah Sophie, membuat gadis itu memekik. Kedua mata Evan hampir menggelinding dari rongganya, mendapati gadis yang mencuri ponsel berharganya adalah Sophie Boucher. Dia tidak menyangka bahwa model penuh skandal itu sudah keluar dari tempat rehabilitasi, padahal menurut berita Sophie masih harus menjalani hukuman selama kurang lebih satu tahun penuh. Ah, mungkin ada penjamin yang membuatnya bisa bebas, pikir Evan memandang lekat wajah Sophie.

"Kau..." lirih Evan seperti terhipnotis melihat pantulan wajah di iris biru Sophie. Seolah dia sedang berhadapan dengan mendiang istrinya, Cecilia. Tanpa sadar, kedua mata abu-abunya berkaca-kata, rasa rindu yang terpendam sekian lama kini meledak begitu saja seperti bunga apa di angkasa.

Seperti mendapat kesempatan, Sophie pun menendang pangkal paha Evan dengan lutut kanan sampai lelaki itu berteriak kesakitan. Sophie berlari cepat, meninggalkan Evan yang memegangi bagian bawah tubuhnya yang berkedut dilanda nyeri. Tidak peduli sejauh apa pun dia harus berlari, Sophie harus menghilang dari hadapan Evan agar tidak perlu berurusan lebih dalam.

Bayangan jeruji besi yang dia benci sudah menari-nari di pikirannya. Sophie menggeleng cepat, menepis bayangan horor itu. Sepertinya dia harus berpindah tempat, Manhattan sudah bukan tempat aman baginya lagi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro