Bab 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Meneguk sekaleng kola dingin dari vending machine seraya mengatur napas usai menguras energi begitu banyak. Dipegang dadanya dengan tangan kiri, lalu mendecih mengapa dia begitu bodoh atas tindakannya yang begitu gegabah. Harusnya Sophie sadar bahwa ponsel hilang bisa dilacak oleh si pemilik melalui GPS atau nomor imei. Dan kenapa pula dia tidak segera menjual begitu ada kesempatan. Bukannya malah asyik mencari info lowongan pekerjaan di sana.

Setidaknya ponsel itu sudah tidak ditangan lagi, pikir Sophie lega selagi melangkah pelan dan memasang kembali masker yang baru dibeli di apotek. Sophie resah, di mana lagi harus bersembunyi bahkan bagaimana caranya dia mendapatkan uang. Tidak mungkin sepanjang hidup, dia akan bergantung pada Tommy. Pun tidak selamanya pula dia meminta uang kepada ibunya. Sophie baru ingat, bahwa dia tidak mengabari ibunya sama sekali.

Pasti dia khawatir, pikir Sophie.

Kepalanya menengadah, memandangi langit cerah dengan gemerlap lampu-lampu gedung-gedung tinggi di sepanjang Park Ave. Kendaraan terlihat memadati jalanan, saling membunyikan klakson begitu tak sabar di depan lampu lalu lintas. Bibirnya menyunggingkan senyum kecut, musim panas yang penuh festival membuat orang-orang beramai-ramai mendatanginya. Festival makanan PopUp New York Street Fairs, konser musik, pertunjukan drama di Broadway Theatre, hingga menghabiskan waktu di Luna Park. Dia berhenti sejenak, mengeluarkan uang hasil menjual ponsel milik Evan. Lima lembar seratus dolar berada di tangan gadis itu, setidaknya cukup untuk beberapa hari ke depan jika dia benar-benar menghemat.

"Ah, ini untuk terakhir kali. Aku ingin menonton film di Rooftop Bar," ucap Sophie lalu menghadang sebuah taksi berwarna kuning. "SkyLaw Rooftop Bar, Please," perintahnya kepada sopir berkumis tebal.

Sang sopir yang mengenakan kemeja putih itu pun mengangguk kemudian melajukan kemudi mobilnya menerobos jalanan yang padat merayap. Dengan menopang dagu, Sophie memandang ke arah luar jendela, tidak habis pikir pula mengapa Evan begitu menginginkan sebuah ponsel yang bisa dia beli kapan saja. Dia menggeleng sambil mendecak, menyayangkan sikap kekanakan lelaki itu.

"Jika dia meminta pun, ponselnya sudah berada di tangan orang lain," keluh Sophie bermonolog. "Ah! apakah dia orang pelit? Kenapa dia begitu menginginkan ponsel itu?"

###

Untungnya jadwal pemutaran film belum dimulai, ketika kursi-kursi hampir penuh. Sophie menemui seseorang yang memakai atasan putih bermotif pohon kelapa berwarna hijau mengenakan celana selutut berwarna senada sedang memegang beberapa tiket. Lelaki bermata biru cerah berpotongan rambut yang sedikit memanjang hingga sebatas leher dan dagunya terbelah mengingatkan Sophie pada penyanyi Bryan McFadden. Lelaki itu melempar senyum dari bibir tipisnya lalu berkata, "Ada yang bisa kubantu, Nona..." kedua matanya menyipit melihat Sophie yang mengenakan masker seperti orang sakit.

"Melanie Summers," ucap Sophie bohong dengan tawa sumbang. Ide nama itu terlintas begitu saja di kepala. 

"Ah ... namamu cantik sekali, Nona Summers."

"Apakah masih ada tiket untuk pemutaran film selanjutnya?" tanya Sophie to the point, malas harus berbasa-basi dengan orang asing.

"Maafkan aku. Semua tiket telah terjual habis sejak kemarin, Nona," ucap lelaki itu sedih.

"Ah, sial!" gerutu Sophie telah menyia-nyiakan waktu dan uang untuk bisa sampai di tempat ini. "Baiklah, aku akan kembali lain waktu."

Sebelum Sophie berbalik, lelaki itu menarik lengan Sophie. "Ah, maaf, bukan maksudku menyentuhmu. Hanya saja ... jika kau mau ... ada kursi tambahan di belakang."

Kedua mata Sophie membeliak senang. "Berapa harganya?"

"Tidak, tidak. Aku hanya tidak ingin mengecewakan pelanggan, itu khusus untukmu."

"Bagus. Terima kasih ehm ..."

"Nick Oneill," sambung lelaki itu menyebutkan namanya.

"Ya, Nick, Terima kasih atas kebaikanmu."

"Ya, tidak masalah. Kita bisa duduk bersama di belakang sambil makan popcorn, cocktail atau ... wine, mungkin," canda Nick sambil tertawa menampilkan lesung samar di pipi membuat wajah itu terlihat persis seperti Bryan McFadden.

"Kali ini aku yang akan mentraktir popcorn dan cocktail, wine terlalu berat untuk saat ini," ucap Sophie. "Bisakah kau tunggu di kursi yang kau katakan? Aku akan memesan snack-nya."

"Baiklah, Melanie."

Sepeninggal lelaki imitasi Bryan McFadden, Sophie mendesis merutuki kebodohannya lagi. Entah mengapa lidahnya begitu mudah menyulut masalah demi masalah. Kepalanya menggeleng keras, berusaha tidak memedulikan kebaikan lelaki itu. Lagi pula kapan lagi dia bisa mendapatkan tiket gratis menonton film, walau harus berada di bangku paling belakang sendiri. Memanfaatkan kebaikan orang memang menjadi sebuah candu, tapi rasa kecanduan itu lama-lama akan membunuhnya perlahan, seperti parasit, dan Sophie tidak ingin menjadi parasit selamanya. Dia harus bangkit dari kesialan yang menimpanya terus-menerus.

###

Salah satu film musim panas yang mungkin tidak akan bosan ditonton oleh Sophie adalah film adaptasi dari novel Nicholas Sparks. Mulai dari A Walk To Remember, Dear Jhon, The Best Of Me, The Longest Ride, hingga yang paling menyayat hati The Notebook. Film romansa yang berakhir bahagia memang menjadi favorit hampir semua orang, terlebih jika itu terjadi di dunia nyata. Dulu Sophie pernah berharap bahwa kehidupannya akan berakhir dengan baik, namun nyatanya tidak, justru semakin buruk hingga rasa ingin menguburkan diri hidup-hidup di bawah tanah adalah jalan terbaik.

Perceraian orang tuanya yang didasari oleh perselingkuhan ayah dan bibinya membuat Sophie dan ibunya begitu murka. Sosok Ayah yang seharusnya menjadi malaikat penjaga bagi semua anak gadis di dunia, justru berubah menjadi malapetaka. Kebiasaan mabuk, berjudi, hingga memakai narkotika membuat Sophie bertanya-tanya mengapa dulu ibunya mau menikah dengan ayahnya.

"Cinta tumbuh tanpa ada alasan, Sophie. Kau akan mengerti ketika dewasa."

Cih! Sophie tidak memahami hal itu sampai sekarang. Buktinya ayahnya tega mempermainkan cinta tulus ibunya, menganggap wanita bisa menjadi budak nafsu yang jika bosan bisa ditinggalkan begitu saja layaknya sampah.

Meskipun Sophie membenci arti cinta, tapi dia masih tetap menyukai film-film romansa. Dari sana dia memahami pola pikir laki-laki, kadang pula dia akan marah-marah merutuki karakter wanita yang begitu lemah dan tidak berdaya ketika jatuh cinta. Padahal tanpa cinta pun wanita masih bisa hidup seperti biasanya.

Seperti sekarang, ketika Allison Hamilton berlari menuju danau menghampiri Noah Junior di tengah derasnya hujan, merutuki si karakter pria mengapa dia menghilang dan tidak mengirim surat selama tujuh tahun. Sophie mencibir, jika tidak mendapat kabar selama bertahun-tahun mengapa tidak mencari lelaki lain. Di dunia ini lelaki tidak hanya satu, milyaran lelaki di dunia masih banyak yang jauh lebih baik daripada si Noah yang jenggotnya tumbuh lebat.

"Kau kenapa Melanie?" tanya Nick melihat ekspresi Sophie menonton film dengan mata melotot. "Kau sepertinya lebih cocok menonton film horor dan thriller."

Sophie menoleh, memandang wajah Nick yang mengejeknya tanpa rasa bersalah. Lalu Sophie melempar beberapa popcorn ke wajah Nick membuat lelaki itu tertawa terbahak-bahak.

"Tidak ada cinta yang sesempurna kisah Allison dan Noah, mereka seperti meracuni semua manusia di dunia, Nick."

"Tapi justru kami percaya bahwa hubungan seperti itu ada, Mel." Nick mengerutkan keningnya, menyadari bahwa Sophie tidak melepas masker yang menutupi wajah itu. "Dan ... apa kau sedang sakit? Kenapa memakai masker?"

Sophie sedikit gelagapan, lalu tertawa paksa sambil menggaruk rambut cokelatnya. "Ya ... kau benar ... aku ... aku sakit."

"Kau sakit dan minum cocktail?"

"Sakit tidak harus dengan obat, Nick. Kadang kau hanya butuh hiburan untuk menyembuhkan rasa sakitmu."

Nick tertawa lagi sambil menggeleng. "Aku rasa itu sakit dalam artian yang berbeda. Apa kau sedang patah hati, huh?"

"Cih! Aku patah hati? Yang ada aku membuat semua lelaki patah hati karena aku," ujar Sophie penuh percaya diri. "Aku tidak butuh cinta seperti yang mereka suguhkan." Jari telunjuk kanan gadis itu menunjuk layar ketika Noah dan Allison sedang beradegan ciuman. "Menjijikkan."

"Jadi, kau tidak percaya dengan cinta?" tanya Nick yang kini tertarik pada teman di sampingnya itu. Kini film di depannya terabaikan berganti sosok gadis misterius penuh teka-teki. Cara berpikir Sophie memang sedikit kejam, narsis, dan terlalu menyombongkan diri, tapi Nick yakin ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu.

Sophie menggeleng mantap. "Ya. Aku tidak percaya dengan cinta atau apa pun itu."

"Jika kau jatuh cinta, bagaimana? Aku cukup banyak mendengar curhatan para gadis yang takut jatuh cinta akhirnya mabuk kepayang karena cinta."

"Ah, tidak mungkin," kata Sophie sambil mengibaskan tangannya. "Jika aku jatuh cinta maka artinya aku sudah gila."

"Biar kuramal dirimu Melanie." Suara Nick terdengar serius, lebih serius daripada adegan Noah yang bersedih. Sophie menatap kedua iris mata Nick yang berkilau diterpa cahaya-cahaya lampu di sekeliling rooftop bar. "Ehm ... jika kulihat, akan ada seseorang yang mencintaimu tanpa syarat, Mel."

Sophie menganga lalu tertawa terbahak-bahak membuat beberapa orang menatapnya tidak suka. Sophie salah tingkah lalu membisiki Nick, "Cinta itu tidak ada yang tanpa syarat, kecuali bercinta. Kau paham?"

"Aku serius, Melanie. Akan ada orang yang berlutut padamu, walau kau ... ya ... kau akan disakiti dulu."

"Apa kau ini cenayang? Dari mana kau tahu, hah? Jangan sok pintar, Nick, dunia ini sudah penuh dengan orang sok pintar, aku hanya butuh orang bodoh tapi jujur daripada orang sok pintar tapi penuh kebohongan," kata Sophie dengan nada tak suka.

"Pegang ucapanku saja, aku tidak perlu kau percaya padaku," ucap Nick sambil merebut popcorn milik Sophie yang masih penuh itu, lalu mengerlingkan sebelah matanya.

Dasar gila, batin Sophie.

###

Sekitar pukul satu malam Sophie baru tiba di hostelnya. Sambil menguap lebar, dia melangkah gontai menaiki satu persatu anak tangga. Tubuhnya begitu lelah terutama di bagian betis. Ini akibatnya jika dia terlalu lama berlari sedangkan dia nyaris tidak berolahraga rutin seperti kebiasaannya dulu di agensi. Sepertinya dia harus melatih otot-ototnya kembali agar tubuhnya tetap bugar.

Dibuka pintu kayu bernomor 124 sambil menguap sekali lagi. Selanjutnya, dia menyalakan saklar lampu yang menempel di tembok sisi kanan sambil memejamkan kata karena tak kuat dilanda rasa kantuk. Dia menjatuhkan tubuh di atas kasur merasakan betapa empuk dan nyamannya tempat ini. Namun, detik berikutnya matanya terbuka dan instingnya berkata kalau ada orang lain berada di sini.

Tanpa menyalakan lampu, Sophie bangkit perlahan seraya meraih botol minuman dari atas nakas lalu berjalan mengendap-endap menuju kamar mandi. Sejenak sosok Evan yang masih mengejarnya seperti orang kesetanan tadi sore menari-nari di benak Sophie. Tapi, mana mungkin pria itu membobol kamarnya hanya karena sebuah ponsel? Apakah dia sudah gila?

Debaran dalam dadanya bertalu-talu, adrenalin mengalir cepat memenuhi setiap pembuluh darahnya. Sophie memegang kenop pintu kamar mandi yang terasa dingin akibat pendingin ruangan. Napasnya tersekat, bahkan dia begitu hati-hati menarik napas karena takut seseorang di balik pintu ini masih mendengar tarikan dadanya. 

Dalam hitungan detik, Sophie membuka pintu dengan cepat lalu tubuhnya ditarik oleh seorang lelaki berpakaian serba hitam, membungkam mulutnya kuat. Botol minuman yang dipegang Sophie terjatuh ke lantai, dia ingin melepaskan diri namun cengkeraman lelaki itu membuatnya tidak berkutik.

"Ah, akhirnya aku bisa menangkapmu," lirih lelaki itu.

Suara Evan Clayton? Pikir Sophie.

Dia berusaha melepaskan diri tapi kekuatan si pria asing itu benar-benar lebih besar darinya. Tubuh Sophie diseret lalu dibanting di atas kasur seperti binatang. Dagunya dicengkeram dengan tangan kanan, sementara tangan lainnya membuka topi yang menutupi separuh wajah lelaki itu. Kedua netra Sophie membulat, tidak menyangka orang kaya seperti Evan rela membekap seorang gadis hanya perkara ponsel. Namun, posisinya kali ini benar-benar kalah, Evan yang berada di atas tubuhnya seolah menjelma seperti kurungan.

"Di mana ponselku!" teriak Evan menggila. 

"Aku menjualnya!" sengit Sophie tidak mau kalah.

Evan pun menggerayangi baju Sophie, hendak mencari uang hasil penjualan ponselnya. Ada lipatan uang di saku depan celana jeans Sophie, lelaki itu merogohnya paksa seraya berseru, "Dasar kau bajingan!"

"Kau yang bajingan, Clayton!" seru Sophie. "Apa kau tidak kasihan denganku, hah!"

Mata Evan menyipit lalu menggeser tubuhnya, duduk di pinggiran kasur Sophie. Dia menyimpan uang milik Sophie di balik saku celananya.

"Untuk apa aku peduli? Itu urusanmu, bukan urusanku."

"Kembalikan uangku, Clayton!" pinta Sophie kesal bukan main. 

Evan bangkit hendak meninggalkan Sophie, namun tangannya ditahan gadis itu. Evan ingin menampik keras, tapi Sophie seperti tidak mau kalah hingga tidak sengaja kaki Evan tersandung kursi. Tubuhnya ambruk membentur lantai bersama Sophie yang menimpa tubuh besarnya. Sophie mengaduh lalu mencoba bangkit dan beberapa saat terpaku karena wajahnya begitu dekat dengan wajah Evan.

Pantulan muka di iris mata masing-masing membuat atmosfer di ruang kecil itu mendadak menjadi aneh. Aroma maskulin beradu dengan aroma musk-woody milik Sophie tercium di hidung. Suara Nick yang menceramahinya di rooftop kini menggema di kedua telinga Sophie, membuat bulu kuduk di setiap inci tubuhnya meremang seketika. Sophie menggeleng, membuyarkan lamunan itu lalu menjauhi Evan dengan kikuk.

Sedangkan Evan, entah sudah berapa kali dia terhipnotis oleh masa lalunya sendiri. Melihat Sophie benar-benar seperti melihat Cecilia hidup lagi. Lalu terlintas hari ulang tahun anaknya yang semakin dekat yang memohon untuk mendatangkan Cecilia berbarengan ide gila muncul di kepala. Namun, Evan tidak yakin gadis arogan yang suka membuat masalah ini mampu mengurus Brave sebagai pengasuhnya.

"Aku minta maaf," ucap Sophie membuka suara. "Bisakah kau melupakan apa yang kulakukan padamu, huh? Aku hanya ingin pergi dari sini, menata hidupku dalam kedamaian."

Evan tersenyum miring. "Damai? Bagaimana kau bisa hidup damai dengan mencuri ponsel milik orang dan menjualnya tanpa dosa?"

"Aku tidak punya uang, oke!" ketus Sophie jengah.

Evan menatap lekat kedua iris Sophie yang menggelap di bawah temaram lampu. Menghirup aroma tubuh gadis itu yang mulai membuatnya terlena. Sophie bergerak mundur, merasa risih dengan sikap lelaki asing itu.

"Oke, aku akan melupakan semua masalah ini," ucap Evan dengan suara rendah, membuat Sophie menunggu kalimat yang akan keluar dari bibir tipis itu. "Asal kau mau menjadi pengasuh anak-anak."

"Kau gila ya!" umpat Sophie refleks melempar wajah Evan dengan bantal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro