Bab 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maaf Nona, kami tidak sedang mencari pegawai baru," tolak seorang lelaki paruh baya dengan serbet di pundak ketika Sophie mencoba melamar pekerjaan sebagai pelayan di sebuah restoran cepat saji.

"Terima kasih," ucap Sophie berusaha tidak menunjukkan rasa kecewa kemudian berbalik meninggalkan restoran bergaya Cina.

Dia melangkah gontai melewati sepanjang jalan Lexington Ave sambil menggerutu kenapa setiap tempat yang didatangi selalu menolak. Seolah-olah kesialan yang diterima Sophie masih melekat kuat, apalagi alasan yang dilontarkan juga sama. Padahal sebelumnya dia yakin, satu atau dua tempat pasti membutuhkan karyawan baik part time maupun full time. Dan sekarang, mendadak semua tempat sudah terpenuhi. Terdengar aneh bukan?

Langkah kaki berbalut sepatu kets putih agak usang tersebut terhenti ketika menyadari beberapa orang menatap penuh selidik sambil berbisik. Dia menunduk, menurunkan sedikit ujung topi hitam agar tidak menjadi atensi selagi menajamkan pendengaran. Seraya mendecak kesal, Sophie berjalan lebih cepat dan lagi-lagi bibirnya sibuk menggerutu juga menyalahkan orang-orang suka mengurusi kehidupan orang lain. Padahal dia sudah memakai masker, topi, kacamata hitam, juga kaus longgar serta celana denim untuk menutupi identitas bahwa dirinya adalah model yang didepak dari agensi.

"Bukankah itu si Boucher?" bisik perempuan pirang.

"Kenapa dia bisa ada di sini? Kukira dia masih mendekam di penjara," timpal temannya yang berambut model pixie dan dicat warna merah menyala.

"Aku yakin dia sekarang mendapat karma," sindir si pirang sambil cekikikan.

Andai bisa menghentikan waktu, Sophie bakal melayangkan tamparan keras kepada dua perempuan kurang ajar yang sok menghakimi tanpa sebab. Dulu saat masih berada di agensi, Sophie tidak segan-segan menegur orang-orang yang mengoloknya, tapi sekarang? Bahkan untuk menampakkan jati dirinya saja, Sophie tidak berani terutama setelah pertengkarannya bersama Evan. Lagi pula jaminan tiga ribu dolar yang diberikan Tommy kepada pihak polisi membuatnya harus benar-benar bersikap baik dan mengontrol diri untuk tidak berbuat onar.

Sedetik kemudian, terngiang penawaran Evan untuk menjadi pengasuh anak-anak. Namun, membayangkan dirinya harus mendengarkan tangisan, jeritan, dan kelakuan mahluk kecil tak tahu aturan itu membuat Sophie merinding setengah mati. Jujur saja, dia tidak menyukai anak-anak karena menganggap mereka sebagai manusia penambah beban orang dewasa. 

Tapi, apa aku harus menerima tawaran si sialan itu kalau dia bisa menjamin kehidupanku? pikir Sophie seraya membelokkan diri di salah satu taman yang berada di jantung kota New York—Madison Square Park.

Sejauh mata memandang, pepohonan rimbun menjulang seperti penjaga, ranting-rantingnya saling bertautan membentuk lorong raksasa sementara dedaunan bergoyang ditiup semilir angin musim panas. Selain itu, banyak pengunjung menghabiskan waktu di taman yang diresmikan pada tahun 1847 ini. Entah sekadar duduk santai di bangku-bangku kayu, berlarian bersama hewan peliharaan, hingga menikmati street food yang tersedia di beberapa kedai kecil. 

Sophie memutuskan mendudukkan diri di salah satu bangku dekat pancuran di selatan Ovel Lawn dari wilayah Madison Square Park. Sengaja menghindar dari kerumunan orang-orang sambil melepas topi dan kacamata. Rasa tenang dan damai langsung menyelimuti saat dia menengadah mengamati cahaya matahari yang berusaha menerobos masuk dari sela-sela daun. Dia memejamkan mata sebentar, meresapi belaian angin di pipi juga menyejukkan pikirannya yang terasa panas.

Pandangannya beralih ke arah pancuran berbahan granit bertingkat tiga yang sudah dibangun sejak abad ke-19. Di sekelilingnya ada pagar melingkar bercat hitam dihias pahatan membentuk hati yang mengarah ke bawah dan dibatasi sebuah guci yang terbuat dari bahan sama. Untuk mempercantik estetikanya, di atas guci-guci itu ditanam bunga-bunga aneka warna. Di satu sisi, ada gedung Flatiron—bangunan berbentuk segitiga dan berlantai 22—juga tampak gagah menghiasi langit biru cerah di depan posisi Sophie. Gedung itu memang sangat populer di semua kalangan, bahkan mungkin kepopulerannya hampir sama dengan gedung Empire State.

Detik berikutnya suara keroncongan dari perut Sophie berbunyi nyaring. Dia menghela napas panjang, mengelus perut datarnya yang sedari tadi pagi belum kemasukan secuil makanan kecuali segelas air. Sial sungguh sial! Hidupnya benar-benar terbalik padahal dulu dia bisa membeli apa pun dalam satu jentikan. Sekarang? Dompetnya ikut kelaparan karena sudah tidak terisi lembar-lembar dollar, menyisakan kartu identitas dan kartu kredit yang terblokir begitu mengenaskan.

Sophie benar-benar lapar, tapi uang hasil penjualan ponsel Eval dirampas bajingan itu. Manalagi bola matanya menangkap antrean panjang di kedai hot dogs concretes burger frozen custard cones. Membayangkan roti yang diolesi mentega ditumpuk sosis panggang juga saus mustard. Air liurnya nyaris menetes, tapi Sophie harus menahan keinginan untuk membelinya.

Ah, mana mungkin aku menjilat ludahku sendiri untuk menemui Evan?

Kalimat Evan mendadak menggema di pikiran Sophie seperti tengah mengolok-olok kalau kesempatan emas yang diberikan lelaki itu tidak akan didapat di tempat lain. 

"Aku yakin kau akan datang padaku lagi, Sophie," ucap Evan penuh percaya diri. "Mana ada tempat yang mau menerima gadis labil sepertimu?"

"Sialan," gerutu Sophie, "ucapannya seperti kutukan di telingaku."

###

"Jadi, saya memberi sebuah inovasi untuk kemudahan para konsumen dalam melakukan transaksi online yang semakin hari semakin meningkat pesat," terang seorang lelaki berjas abu-abu tengah mempresentasikan ide untuk memperbarui sistem belanja modern. Dia menekan tombol remote control membuat slide di layar proyektor berganti. Titik merah dari remote menunjuk batang grafik di mana angka komsumsi belanja online baik ekspor maupun impor semakin naik.

"Dari grafik di sini, kita bisa menjalin kerja sama dengan beberapa jasa seperti minimarket, jasa pengiriman uang dari bank ke Paypal atau dari Paypal ke bank. Kita bisa memberikan cashback atau diskon yang mungkin bisa mencapai dua puluh atau lima puluh persen, sehingga para nasabah atau konsumen yang akan bertransaksi online bisa mendapat keuntungan dan tidak merugikan pihak produsen. Bagaimana para hadirin sekalian?" jelasnya penuh semangat.

"Aku suka ide Anda, Mr. Winscott," puji Evan membuat lelaki yang berdiri di depan layar itu tersenyum bangga. "Bukankah ada situs penjualan online yang trending di Playstore? Kita bisa melakukan kerja sama dengannya, atau ... kita bisa kerja sama dengan beberapa pusat perbelanjaan untuk memberikan cashback kepada konsumen."

"Ya itu benar," sahut lelaki berkacamata yang menjabat sebagai wakil direktur. "Saya setuju dengan Anda, Mr. Clayton. Kita ajukan saja beberapa proposal kepada pemimpin mereka dan kita adakan pertemuan."

Sebelum Evan menanggapi ucapan wakil direktur, perempuan blonde yang rambutnya digulung ke atas mendekati Evan dan menundukkan diri seraya berbisik, "Maaf, Tuan, ada seseorang yang ingin menemui Anda."

"Siapa? Tidak bisakah kau katakan aku sedang rapat, Lucy?" ketus Evan merasa terganggu.

"Ms. Melanie Summers. Dia bilang ini penting dan terus memaksa saya untuk menemui Anda," tandas perempuan itu.

Evan menatap wajah pegawainya dengan ekspresi terkejut dan mulut terbuka. "Melanie Summers? Apa aku mengenalnya?"

"Oh ... jika Anda merasa—"

"Ah, tidak, suruh dia menunggu. Jika tidak mau, kau boleh mengusirnya," kata Evan dengan jutaan pertanyaan dalam benak karena merasa tidak pernah mengenal perempuan bernama Melanie Summers sepanjang hidupnya.

"Baik, Tuan," kata Lucy lalu meninggalkan ruang rapat.

"Oke," kata Evan, "maaf, ada sedikit gangguan. Jadi, Mr. Winscott ... Anda bisa membuat beberapa salinan proposal yang nanti akan dikoreksi oleh bagian pemasaran dan selanjutnya bisa meminta persetujuan wakil direktur."

"Baik, Tuan, terima kasih banyak atas kesempatannya," ucap Mr. Winscott senang.

"Baiklah, rapat kali ini kita akhiri, selamat siang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro