5. Sweet Feeling

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Shitara menyimpulkan bahwa Altair sedang mengakui perasaan. Namun, kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dari awal? Rasanya mustahil bahwa Altair sungguh menyukainya, mengingat betapa kejamnya laki-laki itu di hari pertama Shitara datang.

Kegelisahan dan berbagai pertanyaan menyerang Shitara. Dia syok, hingga tak mampu berkata apa-apa sejak lima menit lalu. Tatapan Altair dan bungkamnya laki-laki itu yang seolah tak ingin menjelaskan apa pun menambah kerumitan pikiran Shitara.

"Kamu tidak ingin menjelaskannya?" tanya Shitara pelan.

"Tidak. Tapi akan kujawab jika kamu bertanya dan ingin tahu."

Ketenangan Altair berbanding terbalik dengan Shitara. Gadis itu resah bukan main. Sejak tadi dia meremas-remas telapak tangannya.

"Kenapa baru sekarang? Kalau kamu memang menyukaiku, bukankah harusnya kamu datang lebih awal untuk menyelamatkanku? Aku yakin kamu tahu segalanya, tapi kenapa menunggu begitu lama untuk muncul di hadapanku dan menawarkan bantuan?"

Dada Shitara sesak. Tidak terbayangkan olehnya niat yang Altair punya. Apakah laki-laki itu memang sengaja membiarkan Shitara tersiksa, lalu datang bagai seorang pangeran penyelamat dan membuat Shitara berutang budi?

"Aku baru mengetahuinya, Shitara. Percayalah. Setelah menyelesaikan pendidikan di universitas, aku membantu ayahku di perusahaan. Lalu satu tahun terakhir aku lebih banyak berada di luar pulau untuk mengelola pertambangan batu bara kami. Sebelumnya aku tidak punya waktu untuk memikirkanmu."

"Mungkin ini takdir, atau apa, entahlah. Saat itu aku hanya merindukanmu, lalu sengaja datang ke rumahmu. Aku berniat bertamu, tapi ibu tirimu mengatakan jika kamu sedang tidak rumah sedari pagi. Aku menunggumu di luar rumah sampai tengah malam, tapi kamu tidak datang. Aku jadi berpikir ada yang tidak beres, kemudian aku pergi dan menyuruh beberapa orang mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Dan kamu tahu segalanya ...."

"Benar. Aku menunggu waktu yang tepat untuk muncul di hadapanmu."

Apa pun yang terjadi memang tidak bisa diulang, Shitara sangat paham hal itu. Hanya saja dia masih belum puas pada fakta yang baru diketahuinya. Harusnya masih ada jawaban dan penjelasan yang membuat gadis itu lega. Bolehkah Shitara mempercayai perkataan Altair? Bisakah Shitara menerima pernyataan laki-laki itu?

"Tapi kamu bilang tidak ingin menikah."

"Dalam waktu dekat, Shitara. Masih ada beberapa hal penting yang harus aku kerjakan sebelum terikat status legal. Kamu pikir menikah itu hal sederhana? Tidak, Shitara. Butuh komitmen seumur hidup, karena pernikahan bukan permainan yang bisa kamu hentikan jika lelah. Jika kamu pikir segalanya bisa dikerjakan setelah menikah, kamu salah. Kamu lihat, bukan, aku bisa meninggalkanmu selama dua pekan? Ketika menikah nanti, aku ingin memprioritaskan keluarga, lebih banyak ada di rumah, mendengarkan keluh kesah istriku dan celoteh anak-anakku. Sekarang aku belum bisa melakukannya. Aku belum siap mendedikasikan hidupku untuk membahagiakan orang yang akan kusebut anak dan istri. Untuk itu aku menanyakan kenapa harus terikat status merepotkan jika kita bisa bahagia hanya dengan seperti ini. Aku bebas, kamu juga, dalam artian batas yang ada tidak kita lewati."

Pemikiran Altair sangat dewasa, Shitara bahkan tidak menduga mendapat jawaban sepanjang itu. Dan laki-laki itu benar, menikah tidaklah sederhana. Bagi Shitara yang tidak lagi memiliki apa-apa, mungkin menikah hanyalah memperbaharui status. Namun, bagi Altair, menikahlah hanyalah rantai yang membatasi gerak-geriknya.

Gadis itu berusaha menatap Altair tanpa rasa canggung ataupun gugup. Altair saja bersikap tenang, maka gadis itu pun bisa.

"Dan kamu berniat menikahiku?"

Pertanyaan bodoh lagi, pikir Shitara.

Laki-laki itu menghela napas panjang.

"Entahlah. Mungkin iya. Satu yang pasti, untuk saat ini hanya kamu satu-satunya gadis di sisiku."

"Mungkin juga aku akan dibuang jika kamu bosan."

"Kemungkinan seperti itu memang ada."

Hati Shitara tersayat. Obrolan malam ini telah mengingatkan Shitara bahwa seberapa pun Altair memberikan kemurahan hati, tetap saja posisi Shitara rawan. Sewaktu-waktu dia bisa dicampakkan.

Baiklah, baiklah. Siapkan hatimu, Shitara.

"Melamunkan apa?"

Dagu Shitara dijepit oleh telunjuk dan ibu jari Altair. Wajahnya lantas mendekat, memangkas jarak sedikit demi sedikit. Refleks Shitara memejamkan mata, seolah sudah membaca adegan yang selanjutnya terjadi. Bibir mereka bersentuhan, disusul lumatan lembut yang menggelitik perut Shitara. Di dalam hati Shitara menertawai dirinya, karena tak sanggup lagi menyangkal pesona Altair. Dia pasrah pada suguhan gairah dan kenyamanan yang laki-laki itu berikan. Seperti saat ini, Shitara telah berpindah ke pangkuan laki-laki itu, berciuman mesra diiringi desahan-desahan kecil.

"Aku tersiksa tidak bisa menyentuhmu selama dua pekan."

"Benarkah?"

Altair menatap Shitara penuh kesungguhan, lalu mengangguk. Gadis itu membelai pipi Altair, sejenak meneliti ketampanan yang kini bisa dia nikmati tanpa batas waktu.

"Tidak berniat mencari pelampiasan saat aku tidak ada?"

"Tidak. Aku menyukai seks, tapi aku juga menyayangi diriku sendiri. Kamu kira aku bisa melakukannya dengan siapa saja?"

Benarkah?

"Kamu tidak takut kena penyakit?"

Pertanyaan itu membuat Altair menahan tawa.

"Apa yang kamu pikirkan? Aku tidak menggunakan pengaman dengan perempuan lain?"

"Mana kutahu. Denganku saja kamu tidak memakainya."

Shitara memasang wajah cemberut. Pasalnya, dia baru membayangkan bagaimana jika Altair memiliki penyakit kelamin, lalu menularkan pada dirinya.

"Hei, kamu kesal."

Kedua pipi Shitara ditekan Altair, sehingga bibir gadis itu maju seperti bibir ikan. Shitara meronta agar Altair menghentikan aksi jahilnya.

"Kamu cukup percaya padaku, Shitara. Aku selalu bermain aman dan kujamin kamu tidak akan ketularan penyakit apa pun."

Percaya diri sekali! hardik Shitara dalam hati.

Melihat Shitara masih kesal, Altair memajukan wajah. Seperti sudah tahu, Shitara segera mengelak.

"Tunggu, aku belum menggosok gigi," kata Shitara seraya mendorong pelan dada Altair.

"Kamu bisa melakukannya nanti. Saat ini aku tidak peduli apa pun."

Bokong Shitara diremas, sontak membuat gadis itu bergerak gelisah dan mendesah. Altair menyeringai atas reaksi gadis itu. Tanpa permisi kancing piama Shitara dibuka satu per satu, lalu Altair memajukan wajah dan menggapai leher Shitara, turun ke dada dan meninggalkan banyak tanda di sana.

Gadis itu sedang menikmati permainan bibir dan lidah Altair, tapi tiba-tiba saja sentuhan di dadanya terhenti. Shitara membelai kening Altair.

"Ada apa?"

"Kamu kecewa karena aku berhenti?"

Altair tertawa kecil mendengar Shitara berdecak.

"Kamu meminum pil dari dokter?"

Shitara menggeleng pelan, membuat Altair mengerutkan kening.

"Bukankah asisten pribadiku sudah mengantarmu ke dokter? Kamu tahu aku tidak suka memakai pengaman dan aku tidak mau kamu hamil, Shitara."

Ya, Shitara pun tidak mau hamil. Shitara tidak sebodoh itu membiarkan dirinya mengandung anak dari laki-laki yang tidak bisa memberinya pernikahan.

"Aku tidak mau mengonsumsi pil, takut hormonku terganggu. Aku memilih kontrasepsi lain. Hemmm. Itu, yang dimasukkan ke dalam sana."

Setelah semua yang terjadi di antara mereka, tetap saja Shitara belum terbiasa bicara frontal. Kini dia bahkan terlihat malu saat Altair mengangguk-angguk.

"Apakah nyaman? Tidak membuatmu sakit?"

"Tidak. Ini lebih baik daripada aku memilih pil. Bagaimana jika sehari saja aku lupa meminumnya?"

"Sepertinya kamu akan hamil, karena aku tidak mau mempersulit diri dengan mengeluarkan cairanku di perutmu."

Telinga Shitara panas, begitu juga dengan kedua pipinya. Namun, Altair malah terlihat sangat santai dan terkesan tidak peduli bagaimana malunya gadis di pangkuannya itu.

"Lalu jika aku hamil?"

Altair mengecup bibir Shitara.

"Tentu saja kita akan menggugurkannya."

Gadis itu tertegun. Meski Shitara pun tidak mengharapkan dirinya hamil, tapi mengapa dia merasa sakit atas perkataan Altair?

🔥

Satu hari penuh bersama Altair membuat Shitara berpikir tengah menghabiskan waktu di akhir pekan bersama kekasih. Laki-laki itu tidak keberatan menunggu Shitara mencoba beberapa pakaian atau memberikan saran mana yang lebih cantik sepatu berwarna merah muda atau biru muda.

Ketika hendak memilih restoran, Altair pun tidak keberatan membiarkan Shitara yang memilih. Cara laki-laki itu memandangnya, memberikan tanggapan atas perkataan Shitara, dan menggenggam tangannya membuat Shitara melambung makin tinggi. Otaknya sudah memberi peringatan agar jangan sampai terlena, tapi hatinya malah berkhianat dengan terus berbunga-bunga sepanjang hari.

Laki-laki tampan serta mapan memperlakukan dirinya bagai putri raja, bagaimana Shitara bisa menahan diri?

"Masih ada yang ingin kamu beli?" tanya Altair setelah mereka meninggalkan restoran.

"Tidak ada. Kurasa mobilmu pun sudah tidak muat jika ditambahkan barang."

"Tenang saja, kita bisa menyuruh tokonya mengirimkan barang belanjaanmu. Jadi, mau membeli apa lagi?"

"Sungguh, aku tidak ingin membelinya apa pun. Bisakah kita pulang sekarang? Kakiku sudah pegal."

"Baiklah."

Mereka bergandengan menuju mobil. Orang-orang di sekitar mereka menatap penuh takjub. Si cantik dan si tampan berjalan bersama, terlihat sangat serasi dengan pakaian mahal yang dikenakan masing-masing. Shitara berdeham saat ada yang terang-terangan mengungkapkan kekaguman pada parasnya dan Altair serta betapa beruntungnya mereka sebagai sepasang kekasih.

"Kenapa wajahmu kaku?"

Keduanya sudah duduk di jok masing-masing. Altair siap melajukan kuda besinya, tapi lebih dulu memilih bertanya atas raut wajah Shitara.

"Kamu tidak dengar beberapa gadis di luar sana membicarakan kita?"

"Tentu saja aku mendengarnya, telingaku masih berfungsi, Shitara."

Gadis itu mendengkus.

"Dan kamu diam saja, bisa bersikap santai meski orang-orang membicarakan kita?"

"Apa masalahnya?"

Altair fokus mengemudi, tidak menatap Shitara yang sedang meremas-remas telapak tangan.

"Kamu tidak keberatan orang menganggap kita sebagai kekasih?"

"Orang bebas berpendapat dan kita bebas mau mendengarkan atau tidak. Memang kamu bisa mengatur mulut mereka? Tidak, Sayang. Maka dari itu biarkan saja mereka mengatakan apa pun. Aku juga tidak masalah karena kenyataannya kamu adalah gadisku. Aku yang membawamu ke publik, membiarkan orang-orang melihat kita, dan ya, aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan."

Kali ini Altair menatap Shitara, sempat memberi satu kedipan menggoda yang membuat pipi gadis itu seketika memanas. Penampilan Altair hari ini sebenarnya menggetarkan hati Shitara sejak pagi. Laki-laki itu memakai kaus hitam dipadu celana jeans blue sky, dia juga memasang anting kecil berbentuk bundar di telinga kirinya.

"Kamu tidak keberatan jika seseorang yang kamu kenal mengetahui hubungan kita?"

"Aku bukan laki-laki beristri, juga bukan publik figur. Tidak ada masalah jika ada yang melihatku bersamamu. Akan aku katakan kamu adalah kekasihku. Mudah, bukan?"

Kekasih. Kekasih. Kekasih. Shitara memegangi dadanya seraya mengulang kata itu. Dengan mudahnya Altair mengucapkan hal yang sensitif. Dan dengan mudahnya Shitara berdebar, padahal dia tahu di depan sana tak ada arah pasti untuk hubungan mereka.

Bagaimana ini?

Sungguh, Shitara tidak tahu harus bagaimana menangani hatinya yang tiap detik malah kian menginginkan Altair. Neraka yang dia bayangkan pada hari pertama bersama Altair, kini tidak ada sama sekali. Altair memberinya hidup baru, warna baru, dan gadis itu mulai memberikan perasaan walau telah paham bahwa Altair tidak akan peduli.

Namun, apa yang bisa gadis berambut kecokelatan itu katakan? Semakin menampik, malah hatinya kian bersikeras bahwa Altair-lah yang dia inginkan dan butuhkan. Segala sikap buruk Altair di hari itu telah pudar dari ingatan Shitara, berganti dengan kebaikan-kebaikan yang tak dapat gadis itu hitung.

Tiba di penthouse Shitara pamit untuk mandi lebih dulu. Belum sampai lima menit gadis itu masuk, kini dia sedang berpegangan panda pintu kamar mandi yang sedikit terbuka, lalu menyembulkan kepalanya di sana.

"Al, Altair."

"Hemmm."

Laki-laki itu sedang duduk di sofa dan sibuk dengan ponselnya.

"Bisakah kamu membantuku?"

"Apa?"

"Belikan aku tampon."

Fokus Altair mendadak hanya tertuju pada Shitara. Dia berdiri, lalu memasukkan ponsel ke saku, dan mendekati sang gadis.

"Tampon?" ulang Altair dengan ekspresi tidak percaya.

Gadis itu mengangguk yakin.

"Iya, tampon. Kamu tidak tahu tampon? Itu-"

"Aku tahu, Shitara. Tapi kenapa kamu menyuruhku membeli itu?"

Altair menyandarkan satu sikunya di dinding, membuat jaraknya dengan Shitara cukup dekat.

"Aku ... aku ternyata datang bulan. Tidak mungkin aku yang pergi, karena nodanya sudah banyak. Akan memalukan jika orang lain melihatnya."

Mau malu pun percuma, jadi Shitara berusaha bicara dengan nada normal walau itu memang gagal.

"Oh, baiklah. Akan kusuruh anak buahku membelinya."

Altair sudah mengambil satu langkah saat tangannya tiba-tiba ditarik. Laki-laki itu membalik tubuh, sempat terpaku beberapa detik karena ternyata Shitara hanya memakai pakaian dalam.

"Jangan."

"Jangan apa?" tanya Altair setelah berhasil menguasai pikirannya.

"Jangan suruh anak buahmu yang membelinya. Kamu saja yang beli."

Keterkejutan menyelimuti wajah Altair.

"Aku? Kenapa harus aku? Aku bisa menyuruh orang lain untuk membelinya."

"Altair," gadis itu merengek, "jangan menyuruh orang lain. Kamu saja. Aku tidak mau orang lain membelikan barang-barang pribadi seperti itu. Dan kamu yang harus pergi membelinya, karena kamu bukan sekedar orang lain. Kamu bahkan sudah menjilati setiap inci tubuhku. Kamu melihatku telanjang dan ya ... ya begitulah.

Untuk satu menit Altair terdiam. Rasanya tidak percaya mendengar pernyataan Shitara dan permintaan konyol gadis itu. Namun, akhirnya Altair tertawa sembari memegangi pelipisnya.

"Kamu benar-benar memanfaatkanku, Shitara. Akan kutagih bayaran yang sepadan untuk hal ini."

Shitara hanya terdiam, meski melihat kekesalan Altair. Saat laki-laki itu telah melewati pintu kamar dan tak terlihat lagi punggungnya, Shitara tersenyum lebar. Laki-laki itu dingin, tapi menaruh perhatian besar pada Shitara. Kalau begini, Shitara bisa jatuh hati sungguhan. Sekarang saja dia kembali berbunga-bunga.

To be continued

Akhirnya setelah satu dekade author update ya😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro