4. Confession(?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pikiran Shitara tampaknya makin tidak terkendali. Bisa-bisanya dia meminta status sah pada Altair, menunjukkan betapa tidak tahu malu dirinya. Sudah bagus diselamatkan, diberi kenyamanan, tapi ternyata Shitara menginginkan hal yang lebih besar. Iseng-iseng berhadiah, mungkin begitu yang Shitara maksud. Melihat betapa Altair menyukai segala yang ada dalam dirinya, Shitara jelas-jelas hendak memanfaatkan hal itu.

Sudah telanjur basah, mau mencari tempat yang lebih baik dan menyelamatkan diri pun Shitara tahu itu mustahil. Bayangan dirinya yang menyedihkan pada hari pertama datang ke sana, lenyap begitu saja. Yang Shitara tahu, dia harus menggantungkan diri pada Altair, mengeruk keuntungan sebanyak apa pun.

"Kamu terang-terangan ingin memanfaatkanku, Shitara."

"Simbiosis mutualisme. Kamu yang setuju memberiku kompensasi, bukan?"

"Tapi aku tidak punya niat menikah dalam waktu dekat."

"Kenapa?"

"Kenapa harus merepotkan diri terikat status?"

Altair membelai bagian bawah Shitara. Gadis itu mendesah kecil dan sedikit membuat gerakan. Pegangan Shitara pada tepian meja bar kian erat, berjaga-jaga agar tidak jatuh meski Altair masih menahan punggungnya.

"Atau karena ada hati yang sedang kamu jaga?"

"Jangan bercanda." Altair menurunkan resleting celana, lalu menuntun miliknya pada gerbang surga Shitara. "Aku memang sering berganti-ganti perempuan. Tapi saat ada satu di sisiku, aku tidak akan mencari yang lain."

Lenguhan panjang Shitara mengisi ruang. Fokusnya pada obrolan seketika pecah. Shitara tidak tahu kenapa tubuhnya bergetar hebat saat Altair memasukinya secara perlahan. Atau dia juga tidak memahami kenapa tubuhnya kini menginginkan sesuatu yang lebih dibanding sekadar Altair diam dan menatapnya. Bulu kuduknya meremang, perasaan yang jelas sangat asing dan jauh dari makna ketakutan. Denyutan aneh pada intinya kian meresahkan Shitara, menyebabkan jeritan tanpa suara pada seluruh tubuhnya.

Aneh, benar-benar aneh. Tidak henti dia menggaungkan kalimat itu dalam hati. Bukan perih, apalagi jijik yang dia rasakan atas penyatuan itu. Seluruh sarafnya seolah-olah tegang menantikan sentuhan Altair yang lebih dalam. Namun, satu menit Shitara menunggu, lelaki itu tidak juga bertindak lebih. Shitara menggigit bibir gelisah dan gemas, lalu secara tiba-tiba menarik dasi Altair hingga wajah itu lebih dekat lagi dengannya.

"Kamu ingin bilang sesuatu, Shitara?"

"Jangan bercanda, Altair."

"Aku tidak. Bukankah aku bertanya apa yang mau kamu katakan?"

Dari seringai Altair, Shitara tahu bahwa laki-laki itu memang sengaja menyiksanya. Awalnya Shitara tidak ingin bicara apa pun, berusaha melupakan sensasi asing dan perasaan mendamba itu. Akan tetapi, Altair malah bergerak, menciptakan lenguhan panjang pada gadis itu.

"Kamu mempermainkanku, Altair."

"Tidak. Kita sedang bermain bersama."

Gerakan laki-laki itu kadang cepat, kadang lambat. Shitara tidak ingin mendesah, tapi entah bagaimana mulutnya malah berkhianat.

"Apakah sudah tidak sakit?"

"Bukankah agak terlambat untuk menanyakannya?"

"Kamu terus mendesah. Jadi aku hanya sekedar memastikan."

Panas wajah Shitara. Dia lebih memilih diam dan menikmati permainan Altair. Tunggu! teriak otaknya. Menikmati? Shitara menikmatinya? Gadis itu tidak percaya akan mengakui hal itu meski tidak secara langsung.

"Altair ...."

Shitara menggigit bibir bawahnya. Altair kian mendesak, membawa Shitara melayang-layang.

"Al ...," panggilnya lagi dengan suara rendah.

"Katakan, Shitara."

"Aku tidak tahu, tapi ada sesuatu yang aneh. Mungkin kita harus berhenti. Rasanya mirip seperti tadi ...."

Lengan Altair diremas kuat. Gadis itu makin tidak mengerti atas apa yang dia rasa. Seperti hendak mencapai sesuatu yang tinggi. Seperti dia ingin melepaskan sesuatu.

"Lepaskan saja, Sayang. Aku senang kamu menikmatinya."

Gerakan Altair bertambah cepat. Shitara sudah berusaha menahan diri, tapi akhirnya dia kalah dan mencapai puncak kenikmatan. Intinya berkedut hebat dan terasa mengeluarkan cairan. Lengannya segera merengkuh Altair, menenggelamkan wajah di dada itu disertai desahan panjang. Shitara bergetar, merasakan hal luar biasa yang baru dia dapatkan hari ini.

Altair tidak lagi bergerak. Senyumnya mengembang seraya membelai rambut dan punggung Shitara. Lalu dikecupnya kepala gadis itu.

"Baru sepuluh menit, Shitara. Aku tidak tahu kamu sangat sensitif."

"Bisakah kamu diam, Altair?"

"Apakah sangat nikmat? Permainanku membuatmu puas?"

"Ya Tuhan! Tolong diamlah, Altair."

Laki-laki itu tertawa kecil, cukup terhibur dengan tingkah Shitara yang malu-malu tapi suka.

Suara bel menginterupsi percakapan absurd keduanya. Shitara menjauhkan wajah dari Altair, menatap laki-laki itu dengan ekspresi tidak terbaca.

"Makanannya datang," kata Shitara.

"Aku tahu."

"Tapi kamu belum-"

"Akan aku tuntaskan sepanjang malam bersamamu."

Gadis itu mendesah kecil saat Altair melepaskan penyatuan mereka. Diam-diam Shitara mengintip, sekadar penasaran pada salah satu bagian rahasia Altair. Gadis itu segera mengalihkan pandangan, mengambil tisu dari tangan Altair meski laki-laki itu berniat membersihkan Shitara.

"Biar aku membersihkan sendiri. Kamu buka saja pintunya dan sekalian bayar."

"Wow! Kamu bahkan sudah berani memerintah? Seperti Shitara yang dulu, heh?"

Mengabaikan kata-kata Altair, Shitara turun dari kursi dan memungut bathrobe-nya.

"Aku akan mandi, Altair. Kamu makan saja lebih dulu."

"Mau mandi bersama?"

"Dan makan malam kita bergeser menjadi dini hari?"

Altair memperbaiki letak celananya setelah membersihkan diri dengan tisu. Dia ke wastafel untuk mencuci tangan, lalu menghampiri Shitara yang sedang mengikat bathrobe. Pipi gadis itu dikecup, diikuti bisikan, "Mandi yang bersih, Sayang. Karena aku ingin menjilatimu di seluruh bagian."

🔥

Shitara makan dengan tenang, sesekali melirik Altair yang juga makan dengan khusyuk. Rupanya tadi Altair mandi di kamar lain sambil menunggu Shitara selesai bersiap. Maka dari itu mereka bisa makan bersama saat ini.

Banyak hal yang Shitara pikirkan. Seiring berlalunya detik, rasa penasarannya pun kian bertambah. Laki-laki di hadapannya dipenuhi tanda tanya. Shitara tidak memahami apa yang sebenarnya Altair inginkan.

Laki-laki itu menunjukkan kesan kejam, tapi di lain waktu sikapnya sangat lembut. Di awal Altair seperti merendahkan Shitara, tapi tadi Altair bahkan sengaja membiarkan Shitara mencapai klimaks sendirian. Bukankah sikap-sikapnya mengarah pada tanda bahwa Shitara punya nilai lebih dari sekadar partner sex?

"Ayo mengobrol sebelum pergi ke kamar," ajak Altair setelah mereka selesai makan.

Shitara hendak mencuci piring lebih dulu, tapi dicegah. Tangannya ditarik menuju ruang tamu, kemudian duduk bersama dengan layar televisi lebar yang menyala.

"Jangan mengerjakan tugas rumah. Pagi-pagi petugas kebersihan datang. Aku sudah menyewanya untuk melakukan semua hal."

Keanehan lagi, pikir Shitara. Lain dengan di rumahnya dulu, Shitara diperlakukan seperti pembantu tanpa bayaran. Dia disuruh menyapu dan mengepel di rumahnya yang berlantai tiga. Untuk urusan memasak, ibu tirinya memang melarang. Takut diracuni, katanya. Kalau bisa, Shitara memang ingin melakukan hal itu. Dan bersama Altair, Shitara kembali menjadi putri yang hanya perlu menyuruh-nyuruh.

"Kamu membeli banyak pakaian?"

Lamunan masa lalu Shitara pudar. Dia mengangguk saat Altair menatapnya.

"Lumayan banyak. Sampai kupikir butuh lemari khusus."

"Besok akan aku pesankan. Kamu tidak membeli gaun malam atau sejenisnya?"

"Untuk apa?"

"Tentu saja agar aku bergairah."

Bisa-bisanya! keluh gadis itu dalam hati. Wajahnya memanas. Gelengan yang dia beri pun dibalas decakan oleh Altair, terdengar tidak puas. Sebenarnya Shitara sempat berpikir membeli pakaian menerawang yang bisa disamakan dengan saringan teh itu. Namun, niatnya batal saat sadar dia sama sekali tidak tahu apakah Altair akan suka.

"Besok ayo pergi bersama untuk membelinya. Aku ingin setiap malam kamu memakainya, walau kita hanya tidur. Benar-benar tidur maksudku."

Beberapa model gaun malam yang pernah Shitara lihat cukup aneh. Ada yang tali pada bahunya hanya sebatas menutupi puncak dada. Atau ada yang seperti pakaian asisten, hanya saja panjangnya sebatas bokong. Membayangkan dirinya memakai itu di depan Altair malah membuat Shitara meremang. Kepalanya merangkai beberapa adegan yang mungkin saja terjadi; Altair melepaskan gaun malam itu dengan hati-hati atau langsung memasuki Shitara dan hanya sedikit menaikkan gaun saja.

Hei, hei! Kendalikan pikiranmu, Shitara!

Shitara merasakan kedutan di tempat yang tidak seharusnya merasakan itu. Tak habis pikir baginya mengapa bisa terpengaruh oleh Altair. Gadis itu menggeleng, melenyapkan bayangan sialan tadi. Altair sedang fokus menonton televisi sehingga tidak melihat keanehan Shitara barusan.

"Baiklah. Besok kita akan membelinya," putus Shitara.

"Apakah ada yang mengganggumu selagi aku tidak ada?"

"Ada," sahut Shitara.

Kilat kejut terlihat di wajah Altair. Dia mengalihkan pandangan dari televisi untuk menatap Shitara.

"Benarkah? Siapa yang berani melakukan itu? Bukankah orang-orangku menjagamu dengan baik? Tidak ada satu pun laporan mereka yang aneh."

"Kamu yang menggangguku, Altair."

"Aku? Aku bahkan tidak bertemu denganmu selama dua pekan."

Gadis itu memberanikan diri menyentuh rahang Altair. Tangannya yang lain kemudian memainkan kemeja laki-laki itu. Sigap, Altair menangkap tangan Shitara. Kedua alis Altair berkerut, mempertanyakan maksud ucapan Shitara tadi.

"Aku terganggu oleh sikapmu yang aneh. Bukankah ada terlalu banyak tanda tanya di antara kita, Al?"

"Contoh?"

"Kamu yang menawarkan bantuan, meminta tubuhku sebagai balasan. Mari gunakan logika, laki-laki kaya sepertimu bisa mendapatkan seratus kali lipat lebih cantik dariku. Tapi kenapa kamu bersusah payah demi aku?"

Altair tidak langsung menjawab. Dia masih menunggu karena Shitara tampak belum selesai.

"Aku bersyukur kamu memperlakukanku dengan sangat layak, bahkan dalam urusan ranjang. Kamu ... tadi bahkan memberiku kepuasan lebih dulu. Tapi tetap saja aku jadi bertanya-tanya sebenarnya ada apa denganmu. Dulu kita tidak dekat. Yang kuingat interaksi kita adalah di kafe itu. Selebihnya kita hanya sekedar tegur sapa di universitas. Sangat sedikit yang kutahu tentangmu."

Jantung Shitara berdebar cepat. Entah jawaban seperti apa yang akan Altair beri. Laki-laki itu hanya menatap Shitara dalam diam. Sudah terlambat untuk berhenti ataupun mundur. Jadi, Shitara kembali bicara, mengeluarkan semua yang ada di kepalanya.

"Kamu yang ada di depan rumahku saat aku sedang membuang sampah, itu bukan kebetulan. Kamu sengaja ada di sana. Sengaja menunggu saat aku menampakkan diri. Dan kamu sengaja memberiku alamat penthouse-mu. Apakah aku salah?"

"Kamu benar."

Napas Shitara mulai terasa berat. Apa yang dia pikirkan ternyata mulai menunjukkan kebenaran. Altair sengaja merencanakan kedatangan dirinya ke penthouse. Shitara sengaja digiring untuk terperangkap di sana.

Dadanya berderu. Shitara ingin marah, tapi tahu tidak punya hak. Tangannya yang berada di rahang Altair, ditarik. Begitu juga dengan tangannya yang digenggam. Shitara membuang pandangan, merasa tidak sanggup melihat Altair yang membuatnya kecewa malam ini. Lalu dalam hati dia bertanya, memang apa yang dia harapkan? Altair sudah merencanakan, tapi tetap saja Shitara yang menyanggupi.

"Kenapa?" tanya Shitara lirih.

"Karena aku menyukaimu. Hanya itu alasannya."

Deg!
Deg!
Deg!

Bahkan Altair pun mungkin kini bisa mendengar detak jantung Shitara yang menggila.

To be continued

Jangan lupa vote dan komen biar aku semangat.

Follow:

IG: putriew11
FB: Putrie W
Karya karsa: PutrieW

Kamu bisa join ke grup FB Kata Putrie W. Di sana aku bakal sering ngadain seru-seruan berhadiah pulsa atau novel.

Lav,
Putrie

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro