3. Legalize Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kehidupan mewah Shitara kembali. Altair menepati janjinya dengan baik. Ponsel baru, pakaian mahal, tas dan sepatu sesuai yang Shitara inginkan, makanan lezat, dan tentu saja kenyamanan tidur yang sudah sangat lama gadis itu rindukan. Hal yang lebih menyenangkan, baru dua hari tinggal bersama, Altair harus melakukan perjalanan bisnis. Shitara jadi penghuni satu-satunya di penthouse itu, bebas berkaraoke meski suaranya tidak bisa dipamerkan.

Di antara kesenangan yang Shitara dapatkan, setiap hari dia tidak lupa untuk memikirkan satu hal; bagaimana cara Altair membereskan urusan dengan ibu dan kakak tirinya. Altair kaya, ya itu sudah pasti. Dilihat dari kemewahan penthouse itu sudah membuktikannya. Namun, seberapa berkuasanya dia sampai-sampai bisa membungkam ibu dan kakak tirinya? Dua minggu belakangan Shitara bebas pergi ke mana saja ditemani sopir pribadi Altair. Mal, restoran, dan semua tempat publik awalnya terasa menyeramkan bagi gadis itu. Bisa saja dia tertangkap oleh orang-orang suruhan ibu tirinya. Hebatnya, Shitara benar-benar aman. Tidak ada seorang pun yang menyentuh atau menyakitinya di luar penthouse Altair.

Dalam hati Shitara bertanya, bolehkah dia merasa lega dan 100% aman?

Kesakitan dan pedih Shitara perlahan-lahan sirna. Di malam-malam sunyi sering Shitara terpaku menatap langit, merenungi apa yang telah dia lalui sampai saat ini. Shitara tahu telah salah melangkah, tapi selain jalan yang sedang dia tapaki, Shitara tidak menemukan jalan lainnya. Ayah dan ibunya kecewa, Shitara juga tahu itu. Namun, bertahan hidup dengan cara kotor daripada mati sia-sia adalah pilihannya sekarang.

Setelah puas berendam air hangat, Shitara keluar dari kamar mandi hanya menggunakan bathrobe. Altair belum kembali dari perjalanan bisnisnya, jadi gadis itu tidak susah-susah menyesuaikan pakaian.

Heh, ada dia pun lalu kenapa? Dia bahkan melihatku telanjang tanpa malu! pikir Shitara.

Perutnya keroncongan. Shitara berdecak, lupa bahwa juru masak yang Altair sewa hari ini tidak datang karena terserang flu hebat. Dengan malas-malasan Shitara menuju dapur, berusaha menemukan sesuatu yang bisa langsung dimakan. Di lemari pendingin ada sayur-sayuran mentah, daging, dan ayam yang juga belum diolah. Sayangnya, Shitara sama sekali tidak akrab dengan dapur serta segala peralatannya. Memesan makanan di restoran pun jadi pilihan gadis itu.

Sambil menunggu, Shitara duduk di bar dan menikmati almond. Terlalu asyik, sampai-sampai dia tidak menyadari seseorang menekan password dan memasuki penthouse. Bahkan setelah sosok itu berdiri di belakangnya, Shitara tidak juga menyadari. Mengunyah dan bermain ponsel menyita seluruh perhatian gadis itu.

"Bisa-bisanya aku tidak disambut."

Shitara tersedak kacang, terkejut karena pelukan tiba-tiba dan suara Altair. Wajah gadis itu memerah selama Altair membantu menepuk-nepuk punggungnya.

"Ya Tuhan, Altair! Bagaimana kalau aku punya penyakit jantung?!"

"Mungkin aku sedang menghubungi ambulans saat ini."

"Ck! Keterlaluan!"

Shitara meneguk air setengah dari isi gelas. Gadis itu terlihat masih kesal. Altair yang tidak tahan melihat betapa menggemaskannya Shitara, kembali memeluk gadis itu, kali ini dari depan. Wajah Altair bergerak-gerak, menikmati wangi leher Shitara yang seketika terasa seperti godaan.

"Aku merindukanmu."

"Tidakkah seharusnya kamu sedikit menjaga nama baik? Jangan terlalu jujur seperti itu."

"Kenapa? Aku memang merindukanmu."

"Bohong. Kamu bahkan bisa memberiku ludah di hari pertama aku kemari."

"Aku memberi sesuai yang kamu beri. Adil, bukan?"

Shitara memasang wajah masam. Meski Altair tidak melihatnya, tapi laki-laki itu sedang membayangkannya. Sudut bibir Altair tertarik, mereka-reka kekesalan Shitara, tapi tidak bisa melampiaskan.

"Bisakah kamu melepaskanku?"

"Sebelum kamu membalas pelukanku, Shitara?"

Kalah lagi! keluh gadis itu dalam hati.

Sebagai pihak yang membuat perjanjian dan sudah menerima banyak keuntungan, Shitara benar-benar lemah di hadapan Altair. Kedua tangannya yang yang sejak tadi berada di sisi kedua paha, kini terangkat untuk melingkari tubuh Altair.

"Penurut sekali."

Altair melepaskan pelukan, tapi kali ini wajahnya malah makin dekat dengan wajah Shitara. Alarm bahaya dalam diri gadis itu berbunyi. Apa yang terjadi selanjutnya telah dia perkirakan, tapi dia tidak bisa menolak. Bibir mereka telah menyatu. Altair menyentuh Shitara penuh kehati-hatian, secara tidak sadar sampai berhasil membuat gadis itu terbuai.

Tangan besar Altair membelai rahang Shitara, turun ke leher, juga ke tengkuk. Gadis itu mencengkeram erat kemeja Altair. Desahannya tidak keras, tapi Altair yakin mendengarnya barusan. Hanya Altair yang aktif, menyerang Shitara terus-menerus, sengaja menggiring Shitara pada perasaan mendamba.

Aneh, kata Shitara dalam hati. Kenapa ciuman Altair kali ini penuh rasa? Shitara tidak paham mengapa dirinya tergolong menikmati adegan itu. Sebelumnya Shitara masih merasa jijik, dalam hati masih menolak keras semua sentuhan Altair. Ajaibnya, kali ini Shitara memasrahkan diri sepenuhnya.

Tangan laki-laki itu meraba paha Shitara, makin naik, lalu terhenti secara tiba-tiba. Ciuman mereka juga begitu, terputus saat Shitara sedang mengharap sentuhan yang lebih dalam.

"Kamu bersiap untukku?" tanya Altair.

Seringainya membuat Shitara malu. Gadis itu cepat-cepat menggeleng, ingin mematahkan asumsi Altair.

"Kamu bilang akan pulang besok, Al. Mana mungkin aku sengaja seperti ini untukmu. Dan bagian terpentingnya, aku baru selesai mandi. Wajar jika aku berpakaian seadanya."

"Oh, begitu." Altair mengangguk, seolah-olah percaya. "Tapi aku juga tidak keberatan kamu seperti ini."

Altair siap menarik simpul tali bathrobe Shitara. Shitara segera mencegahnya disertai gelengan.

"Aku sudah memesan makanan. Seharusnya sebentar lagi datang."

"Maksudmu, kamu makan lebih dahulu, kemudian aku memakanmu?"

"Ya Tuhan! Kenapa kamu selalu mesum, Altair?"

Tanpa canggung Altair tertawa kecil. Raut wajahnya yang semringah sempat membuat Shitara terpaku beberapa detik. Entah untuk alasan apa, jantung Shitara berdegup cepat. Sebisa mungkin Shitara mengalihkan pandangan dari Altair, buru-buru menyibukkan diri dengan ponsel saat laki-laki itu menambah pesanan makanan di restoran bawah unitnya.

"Apa yang kamu lihat sampai mengabaikanku?"

"Laki-laki tampan dengan enam kotak di perutnya," sahut Shitara tanpa pikir.

"Aku juga punya."

"Aku tidak tertarik."

"Benarkah? Aku ingin membuktikannya langsung."

Altair yang masih berdiri sejak tadi, memutar kursi Shitara hingga mereka berhadapan. Ponsel Shitara dirampas, diletakkan cukup jauh dari mereka. Lalu tanpa permisi, simpul tali bathrobe itu ditarik dengan cepat. Tidak ingin buang-buang waktu, kain satu-satunya di tubuh Shitara itu dibuang ke lantai. Shitara kelabakan saat tubuhnya terekspos, sedangkan Altair tersenyum senang.

"Nice view," pujinya, lalu bersiul.

"Makanannya akan datang, Altair."

"Setidaknya butuh lebih dari 20 menit."

"Itu tidak akan cukup untukmu," sanggah Shitara yang mulai merasakan panas di seluruh tubuhnya.

"Aku bisa cepat, bisa lama. Tergantung permintaan dan keinginan."

Berada dalam situasi yang lebih tenang dibandingkan hari pertama dan kedua, ternyata Shitara merasakan perbedaan yang cukup besar. Hari itu dia diliputi emosi dan habisnya akal sehat, jadi mulutnya tidak segan mengeluarkan kata-kata keberanian. Namun, malam ini yang dia tahu tubuhnya nyaris terbakar.

Tatapan Altair lekat, meneliti setiap inci tubuh Shitara. Tangannya mulai aktif, menyentuh kulit hingga menimbulkan sensasi merinding. Susah payah Shitara menelan ludah, gugup dan entah apa lagi yang dia rasakan saat Altair mengecup wajah serta dadanya.

"Altair ...."

Shitara tidak tahu apa yang hendak dilakukan Altair, yang jelas dia menunggu dengan berdebar saat kedua kakinya diangkat dan diisyaratkan untuk melingkari pinggang laki-laki itu. Seharusnya Altair membuka kemejanya dan menurunkan celana, tapi tidak. Tubuh Altair masih terbungkus lengkap, meninggalkan tanya mengapa hanya Shitara yang ditelanjangi.

"Kamu akan suka ini, Shitara."

Embusan napas Altair menyapu wajah Shitara. Mata perempuan itu memejam saat bibir mereka kembali bertautan. Perlahan-lahan Shitara merasakan sensasi lain. Dia hendak menjauh, tapi satu tangan Altair yang berada di punggungnya, menghentikan niat Shitara.

*Al, apa yang kamu lakukan?"

Suara Shitara serupa bisikan. Ciuman Altair membuatnya lupa diri. Dan jari-jari Altair yang sedang bekerja di bawah sana membuat Shitara ingin melayang.

"Menyentuhmu. Apakah kamu menikmatinya?"

Dia ingin menggeleng, tapi itu tidak sepenuhnya jujur. Dia ingin mengangguk, tapi ragu. Sentuhan Altair tidak perlu diragukan lagi. Shitara sampai terkejut bagaimana jari-jari Altair di dalam sana dapat menciptakan sensasi luar biasa gitu.

Napas Shitara tambah berat, matanya berulang kali membuka dan menutup. Dia menengadah, mulai mendesah kecil ketika kecepatan jari Altair bertambah.

"Kamu menyukainya, bukan?"

Shitara diam. Altair sudah tahu jawabannya dari cara Shitara meremas lengan itu. Atau bagaimana Shitara bergerak gelisah dengan mulut sedikit terbuka. Kelemahan Shitara telah Altair ketahui. Setelah ini akan sangat mudah membuat gadis itu puas dan ikut menikmati permainan Altair.

"Al ... Altair ...."

"Ya?"

Shitara terengah-engah. Dia merasakan sesuatu yang hendak keluar. Ada perasaan asing di tubuhnya, dia tidak mengerti apa itu. Desakan itu semakin kuat seiring gerakan cepat Altair. Tidak kuat lagi menahan, Shitara menjeritkan nama Altair bersamaan dengan meremas bahu laki-laki itu.

Jantung Shitara seperti hendak lepas. Dia memejamkan mata, menikmati perasaan asing yang benar-benar nikmat. Shitara baru pertama kali merasakannya.

"Pelepasan pertama."

Perlahan-lahan Altair mengeluarkan jarinya dari sana. Shitara hanya diam saat jari basah nan mengkilap itu ada di depan matanya. Dan segalanya kembali mendebarkan saat Altair menjilat jarinya. Lidahnya sengaja bergerak pelan, ingin Shitara tahu kalau Altair tidak merasa jijik atas apa pun dalam diri gadis itu.

"Kamu tidak seharusnya melakukan itu. Kamu bisa mencuci tangan, bukan?" Shitara bertanya meski dadanya bergemuruh keras.

"Aku menyukainya. Manis."

Lagi, Altair menjilatinya.

Shitara terdiam, lalu menekan bokong Altair dengan kedua kakinya. Mereka sangat dekat, tidak berjarak apa pun lagi.

Altair memainkan bibir Shitara dengan ibu jari, hendak mencium, tapi gagal saat kata-kata Shitara membuat Altair mematung.

"Kalau kamu begitu menyukaiku dan semua yang ada dalam tubuhku, resmikan saja hubungan kita. Beri aku status legal, Altair."

"Maksudmu?"

Kening Altair berkerut.

"Nikahi aku, Al."

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro