2. Taken by You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Untuk saat ini Shitara tidak menyesali keputusannya. Berlindung di belakang Altair meski tubuhnya dijadikan jaminan terdengar lebih logis daripada kembali ke rumah. Ibu dan kakak tirinya pasti akan menyiksa Shitara habis-habisan jika sampai mereka bertemu. Shitara mencoba rasional, di dunia ini mana ada yang gratis. Meski sulit, Shitara akan belajar terbiasa menerima sentuhan Altair. Anggap saja dia memiliki kekasih, tinggal bersama, dan ya ... melakukan yang biasa orang-orang lakukan antara lawan jenis.

"Katakan apa yang kamu mau sebagai kompensasi tubuhmu yang hanya untukku."

"Perlindungan selama 24 jam. Tidak ada kekerasan dalam kondisi apa pun. Makanan enak. Pakaian baru. Ponsel terbaru. Hal lainnya akan aku pikirkan nanti."

"Disetujui."

Semudah itu? tanya Shitara dalam hati.
Altair tidak terkesan hendak mengambil keuntungan sepihak. Atau ada hal yang tidak Shitara ketahui tentang niat laki-laki itu? Jika dipikir lagi, memang ada kejanggalan. Pertemuan terakhir mereka sekitar enam tahun lalu. Mereka sama-sama mahasiswa-mahasiswi tingkat akhir. Setelah lulus, keduanya tidak lagi berkomunikasi. Namun, satu bulan lalu Altair berdiri di depan rumah Shitara saat kakak dan ibu tirinya pergi. Memberikan kartu nama serta alamat penthouse, menyuruh Shitara mengandalkannya jika butuh bantuan, dan itu sama sekali tidak terlihat sebagai sebuah kebetulan.

Napas Shitara tertahan ketika Altair mengecup punggungnya, lalu meremas dada gadis itu. Mereka sedang mandi, tapi lebih layak dikatakan bercumbu. Menyabuni tubuh Shitara adalah sekadar dalih. Sejak tadi tangan laki-laki itu ke mana-mana, menunjukkan kepemilikan secara mutlak atas Shitara.

"Kenapa akhirnya kamu menyerah?"

"Aku terjebak di kandang harimau. Bukankah lebih baik jika aku bersikap baik pada harimau agar tidak diterkam?"

"Kamu tahu kemungkinan diterkam masih ada meskipun kamu sudah berteman dengan harimau."

"Tapi kamu akan menepati janji, bukan?"

Shitara menyalakan shower sebelum membalik tubuh. Kedua tangannya melingkari pinggang Altair. Laki-laki itu mendorong tubuh Shitara ke dinding. Satu kaki Shitara diangkat, ditahan oleh satu tangan Altair. Altair membelai bagian bawah pusar gadis itu, lamat-lamat menyentuh dengan intens. Shitara terbeliak sebelum matanya menutup karena bibir Altair mendekat. Napasnya naik-turun, pinggang Altair dia cengkeram kuat. Jari-jari Altair menjamah salah satu titik sensitif Shitara dengan mahir.

"Al," panggil Shitara lirih.

Sekarang bukan jari Altair lagi yang Shitara rasakan di intinya, tapi sesuatu yang lebih besar dan keras. Gadis itu tidak berani menunduk, sekadar melihat bagaimana bentuk bagian tubuh Altair yang mulai malam ini akan terus dia rasakan.

"Kamu terengah-engah dan kamu menikmatinya."

"Aku tidak," sangkal Shitara.

Altair mematikan shower.

"Masukkan jarimu. Kamu akan tahu kalau kamu benar-benar basah karena gairah, bukan air."

Mau berteriak karena malu, tapi Shitara teringat bahwa rasa malunya memang sudah lenyap. Jadi, dia hanya menghela napas panjang.

"Kita akan berdiri di sini semalaman?" tanya Shitara.

"Kamu sudah tidak sabar, ya? Mau aku perawani di sini atau di ranjang?"
Panas wajah Shitara. Altair sangat santai mengucapkan hal seperti itu, terlebih saat bagian bawah tubuh laki-laki itu terus menekan-nekan.

"Dari mana kamu tahu aku masih perawan? Bagaimana jika aku tidak lagi perawan?"

Kaki Shitara diturunkan. Altair mengambil handuk untuknya dan Shitara. Dia tidak susah-susah membelitkan handuk untuk menutupi ereksinya. Namun tidak dengan Shitara.

"Aku berani bertaruh jika kamu masih perawan."

Altair merunduk, menyelipkan tangannya di bawah lutut Shitara, lalu mengangkat tubuh itu. Awalnya enggan, tapi akhirnya Shitara mengalungkan tangan di leher Altair. Laki-laki itu menyeringai, puas karena Shitara tidak lagi menangis atau berteriak-teriak.

Tubuh itu dibaringkan pelan, tentu saja Altair berada di atasnya. Bibir mereka kembali bersatu, disertai gerakan nakal tangan Altair yang menggoda Shitara setelah melepas simpul handuk. Ciuman kali ini Shitara sengaja tidak menutup mata, diperhatikannya secara lekat wajah Altair yang begitu dekat dengannya. Alis tebal, tatapan tajam, rahang tegas tanpa tertutup bulu, dan entah apa lagi kelebihan yang Altair punya dan sepertinya agak terlambat Shitara sadari.

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Kamu."

"Lebih spesifik, Shitara."

"Kamu tampan juga."

"Aku tahu itu sejak lama."

Altair mencium leher Shitara, meninggalkan bekas di sana. Shitara benar-benar harus membiasakan diri pada sensasi aneh yang Altair beri, pada tubuhnya yang ternyata bereaksi atas sentuhan-sentuhan itu. Mereka adalah orang asing, hanya pernah beberapa kali terlibat obrolan di masa lalu. Anehnya, setelah berkali-kali berpikir atas keadaannya, Shitara tidak merasa jijik disentuh Altair. Keanehan yang dia rasakan hanya tentang pertama kalinya Shitara melakukan kontak fisik seintim itu.

Shitara sama sekali tidak melarang ketika Altair membuatnya membuka paha, lalu jari laki-laki itu kembali menyentuhnya di bawah sana. Idealisme Shitara telah lenyap. Apa mau dikata, dia tidak memiliki pilihan yang lebih bagus saat ini.

"Kamu basah."

"Bisakah kamu tidak mengatakannya?"
Altair menahan senyum.

"Kamu malu?"

Aku ingin meledak! jawab Shitara dalam hati.

Memang ada perempuan yang biasa-biasa saja ketika seorang laki-laki sedang menyentuh tubuh telanjangnya? Gila, Shitara mungkin akan gila atas sensasi bertubi yang Altair hantarkan. Lidah Altair bermain pelan di puncak dada Shitara, bergerak penuh godaan diimbangi permainan jarinya di bawah sana. Padahal Shitara tidak ingin menunjukkan dirinya terpengaruh, tapi desahannya tidak bisa ditahan.

Dada gadis itu membusung, pinggulnya bergerak tidak menentu. Tidak ada pelampiasan yang dia pikirkan selain dengan menjambak rambut Altair. Shitara tidak paham apa namanya, yang jelas dia merasa panas dan terbakar. Sepertinya yang dia butuhkan bukanlah air, tapi perlakuan lebih intim dari Altair. Shitara tidak mau mengakui, sedangkan faktanya memang begitu; dia sangat menginginkan Altair.

"Altair ...."

"Katakan yang kamu mau, Shitara."

Wajah laki-laki itu sangat dekat, sampai-sampai Shitara bisa merasakan embusan napasnya. Lidah dan tangan Altair tidak lagi menyentuh tubuhnya, tapi mengapa Shitara malah merasa kehilangan? Tadi dia sempat berpikir bahwa Altair sedang menyiksanya, menggiring perasaan aneh, dan sekarang Shitara membayangkan jika adegan tadi terulang.

"Aku tidak menginginkan apa pun."

"Benarkah? Tapi tubuhmu berkata sebaliknya. Apa kamu tidak merasakannya?"

"Kamu benar-benar menyebalkan," gerutu Shitara.

"Aku suka melihatmu yang angkuh, yang berani seperti dulu. Bersamaku kamu akan menjadi dirimu sendiri."

Shitara tidak sempat bertanya mengapa Altair mengatakan itu karena bibir laki-laki itu membungkamnya. Sesuatu di bawah sana kian mendesak dirinya, menginstruksikan secara otomatis agar paha Shitara merapat. Sayangnya, Altair tidak membiarkan hal itu terjadi. Satu tangan Altair menekan paha Shitara agar tetap terbuka. Saat itulah Altair mulai menyatukan diri mereka.

Jambakan Shitara semakin keras di rambut Altair. Dia melepas paksa ciuman itu, lalu terengah-engah karena rasa sakit luar biasa. Altair yang berada di atasnya terlihat serius, tapi tatapannya jelas diselimuti gairah. Shitara bingung harus mengatakan apa lebih dulu. Mengeluhkan sakitnya atau memaki Altair yang memenuhi dirinya saat ini?

"Kamu mau membunuhku, Al?"

"Tidak. Aku berniat memberimu kenikmatan."

"Dan ini menyakitkan."

"Hanya kali ini, percayalah."

Percaya? Mana mungkin! Shitara tidak yakin bahwa bercinta itu nikmat. Buktinya saat ini dia mendesis kesakitan. Tubuhnya serasa dibelah, mungkin juga ada darah di sana. Kepalanya pening, benar-benar tidak mengerti cara mencapai puncak dalam rasa sakit itu. Lain dengan Altair, dia bergerak semaunya, menghunjam tanpa mempertimbangkan rasa sakit Shitara.
"Aku hampir mati," keluh Shitara.
Laki-laki itu terkekeh, memperdalam sentuhannya sampai-sampai Shitara menjerit.

"Aku sangat menikmatinya."

Kesal, Shitara tidak segan untuk menjambak Altair lebih keras. Bukannya mengeluh dan balik kesal, Altair malah terkekeh. Diraihnya tangan kanan Shitara, lalu melumat jemari gadis itu perlahan-lahan, seraya menggerakkan tubuh bawahnya. Wajah Shitara kian merah, sungguh kehilangan kata-kata.

"Kamu tidak menangis?"

"Kenapa?"

"Katamu ini menyakitkan."

"Kamu membuat air mataku kering."

Sekali lagi Altair terkekeh. Mereka sedang bercinta, sedang dalam suasana intim yang harusnya diisi obrolan mesra dan nakal. Akan tetapi, keduanya tampak tidak ambil pusing tentang topik yang mereka bahas. Mereka tidak susah untuk mengimbangi satu sama lain, sepertinya mereka berada di jalur yang sama.

Altair mengubah posisi, berlutut di depan inti Shitara, sehingga penyatuan mereka terlihat dengan jelas. Kecepatan hunjamannya bertambah, Shitara tidak menangis, tapi dia tidak henti menjeritkan nama laki-laki itu. Napas terengah-engah Altair berpadu dengan suara dari penyatuan mereka. Terdengar sempurna di telinganya laki-laki itu.

"Aku bersumpah ini sangat nikmat, Shitara."

"Dasar bodoh! Cepat selesaikan dan kurangi bicaramu, Altair! Aku akan benar-benar mati jika kamu tidak berhenti!"

Tidak ada lagi Shitara yang malu-malu atau Shitara yang berlinang air mata. Masa bodoh Altair mau berpikir apa, Shitara akan menjadi dirinya sendiri saat ini. Pun, laki-laki itu yang mengizinkan. Jadi, memang seperti itulah Shitara yang asli. Versi lemahnya muncul karena terus-menerus ditekan oleh keadaan sulit. Kali ini dia sudah bebas, hanya perlu memenuhi apa yang Altair minta.

Kepala Shitara ikut-ikutan sakit. Peningnya bertambah saat melihat Altair menyeringai seraya menghunjamnya berkali-kali. Sungguh, Shitara merasa tidak berdaya. Namun ... dia juga tidak mengerti mengapa merasa tertantang di saat bersamaan.



Percintaan mereka akhirnya berakhir. Shitara terkapar di kasur setelah Altair memaksanya membersihkan tubuh lebih dulu. Karena sudah tidak peduli pada apa pun, Shitara sampai berniat langsung tidur meski di perutnya ada tanda usainya aktivitas mereka. Altair yang baru selesai mandi menyusul Shitara berbaring. Gadis itu memejamkan mata, yang Altair kira sebagai tanda sudah tertidur.

"Kenapa?" tanya Shitara tiba-tiba.


Dahi Altair mengerut. Tubuhnya bergeser, berbaring miring menghadap Shitara dengan kepala ditopang satu tangan.

"Kenapa mau menolongku? Kenapa mau tubuhku?"

"Laki-laki selalu ingin menikmati tubuh gadis."

"Bukan itu." Shitara menoleh. "Apa ini ada hubungannya dengan kejadian di kafe beberapa tahun lalu? Kamu-"

"Ah, aku lapar. Aku akan memesan sesuatu untuk kita."

Pembicaraan mereka selesai begitu saja. Shitara menatap punggung Altair yang menuju ke pintu, lalu menghilang tanpa terlihat bayangnya lagi. Sepertinya dugaan Shitara benar, bahwa Altair masih belum menghapus memori beberapa tahun lalu.



"Kamu bukan tipeku, Altair. Cari saja perempuan lain untuk kamu jadikan pacar."


"Lalu laki-laki seperti apa yang kamu sukai?"


"Mungkin yang sedikit nakal, yang membuatku berdebar-debar, dan membuat lidahku tidak bisa berkata-kata."

Percakapan mereka dulu terngiang-ngiang di kepala Shitara. Dia mengumpat dalam hati. Apakah Altair berniat balas dendam dengan menjadi laki-laki yang sangat nakal? Apa pun itu, Shitara telah terjebak ucapannya sendiri. Kini dia berada di ranjang Altair, baru saja selesai bercinta, dan akan tinggal seterusnya di sana.

Hahaha. Konyol.



To be continued

Pokoknya ini 21+ ke atas. Gak aku kasih warning lagi nanti-nanti. Jangan ngeyel baca buat yang di bawah umur ya😅


Kujatuh cinta padanyaaaaaa

Dan aku iri padanya yang langsing 😌



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro