1. Surrender

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini tepat satu tahun kepergian ayahnya. Shitara kira keputusannya mempertaruhkan nyawa untuk keluar dari rumah itu dan mendatangi Altair adalah hal yang sangat bijak. Gadis itu kira setelah satu tahun hidup penuh siksaan, dia akan bisa merasakan kebebasan bernapas sama seperti ketika ayahnya masih hidup. Salah, semua perkiraannya salah dan meleset sangat jauh. Tubuhnya bergidik mendapati tatapan Altair yang seperti tengah melihat mangsa.

Kedua tangannya menutupi dada, lidahnya kelu dan tidak bisa berkata sama sekali. Altair terlihat tidak main-main dengan ucapannya. Kepala gadis itu bagai dihantam benda keras, pening, mendadak tidak bisa berpikir apa pun. Ketakutan membelenggu dirinya. Sedikit harapan tersisa dalam hati gadis itu bahwa ini adalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.

"Apa aku harus mengulang perkataanku?"

"Iya," jawab Shitara pelan.

Telinganya mungkin salah dengar, jadi Shitara butuh diyakinkan sekali lagi. Matanya mungkin saja salah mengartikan bahasa tubuh Altair.

"Aku menginginkan tubuhmu, Shitara."

"Kamu bercanda."

Berusaha melenyapkan perasaan terintimidasi, Shitara mendorong dada Altair. Tubuh tegap itu sedikit terhuyung sebelum seringainya kembali muncul.

"Apa aku terlihat sedang bercanda? Oh, ayolah, Shitara. Aku butuh bayaran untuk membebaskanmu dari ibu dan kakak tirimu."

Kenyataan pahit menghantam Shitara, menambah kepeningan yang mungkin akan membuat kepalanya pecah. Benar, Shitara butuh bantuan bersembunyi dari ibu dan kakak tirinya yang begitu kejam. Altair satu-satunya harapan Shitara, karena selama satu tahun penuh gadis itu putus komunikasi dengan teman-temannya dulu. Keluarga? Entah ke mana perginya mereka. Shitara juga heran mengapa sejak kematian ayahnya, tidak ada siapa pun yang mengunjunginya. Tidak ada tempat berlari, sehingga dia bertahan di rumah yang membakarnya setiap detik.

"Ja-jangan tubuhku. Kita tidak mungkin melakukannya tanpa perasaan. Benar, kita tidak saling mencintai, tidak mungkin kita melakukannya."

Altair terkekeh.

"Cinta? Kamu pikir pelacur-pelacur di luar sana menggunakan cinta untuk melayani laki-laki hidung belang yang butuh kepuasan? Tidak, Shitara. Seks hanyalah seks, kita bisa tidak melibatkan hal sentimental."

"Kalau begitu, kamu pun sama, Altair! Kamu laki-laki hidung belang yang mau bercinta tanpa hati!"

Pft!

Tawa Altair tertahan mendengar suara tinggi Shitara. Saking lucunya menurut laki-laki itu, dia sampai memegangi perut. Entah dari mana gadis itu mendapatkan keberanian mengemukakan pikiran di hadapan hewan buas yang sewaktu-waktu bisa langsung menerkam. Lebih lucunya lagi, ketika Altair membungkuk, kaki Shitara terangkat dengan cepat. Tangan gadis itu tidak lagi menutupi dada, tapi memeluk betis dan menumpukan dagu di lutut. Tatapannya dipenuhi ketakutan luar biasa.

"Aku? Tentu saja berbeda. Aku hanya akan bercinta denganmu, begitu juga sebaliknya."

"Tidak, Al. Tolong aku," mohon Shitara sekali lagi.

Bibir Altair mengecup telinga Shitara, yang dalam sekejap berhasil menimbulkan efek guncangan bagi gadis itu. Belaiannya di pelipis bukan menjadikan Shitara tenang, tapi malah jadi kian menangis.

"Aku sedang menolongmu, Sayang. Sesulit itukah berada di sisiku dibanding menjadi pembantu di istanamu sendiri?"

"Kamu menjadikanku pelacur. Apa aku harus menerimanya?"

"Ganti kata pelacur dengan budak, sepertinya lebih bagus."

"Itu sama saja!"

Bibir Altair menyusuri wajah Shitara. Mata gadis itu terpejam rapat, seolah-olah hewan buas sedang menjilatinya sebelum ditelan habis.

"Tunggu! Mari buat kesepakatan!"

Gerakan bibir Altair terhenti. Padahal hanya butuh sedikit menggeser wajah, maka bibir mereka akan bertemu.

"Bisa-bisanya kamu mengajukan kesepakatan. Di sini aku tuannya, Shitara."

Kalimat tegas tak terbantahkan Altair sekali lagi melumpuhkan kinerja otak Shitara. Tanpa aba-aba kini bibir mereka bertemu. Berniat meronta atau mendorong tubuh Altair, tapi gerakan Shitara lebih dulu terbaca. Kedua tangannya digenggam Altair seiring ciumannya yang semakin dalam.

Serangan besar mengenai gadis itu. Sensasi aneh bercampur keputusasaan menjadi satu. Altair melumat bibir Shitara tanpa jeda, mencari-cari lidah, dan terus mengeksplorasi mulut gadis itu.

"Buruk sekali. Apa kamu tidak pernah berciuman?"

Bibir mereka hanya berjarak satu ibu jari, sangat dekat sekaligus rawan. Berusaha menghindari kejadian yang sama, Shitara memalingkan wajah. Air matanya merebak deras, karena noda yang Altair torehkan dengan sengaja. Shitara tidak pernah berciuman, menjaga bibirnya hanya untuk suaminya kelak. Namun, laki-laki kurang ajar bernama Altair mengambil ciuman pertamanya, memberinya sensasi berdebar yang seharusnya Shitara dapatkan dari suaminya nanti.

"Aku tidak mau melakukannya, Altair. Aku tidak mau!"

Telunjuk Altair menelusuri leher Shitara, lalu turun ke tulang selangka.

"Sayangnya kamu terlambat, Shitara. Kamu tidak akan pernah pergi dari sini kecuali aku yang menyuruhmu. Di luar pintu ada dua penjaga yang akan menangkapmu jika kamu berpikir untuk melarikan diri saat ini."

"Berengsek!" maki gadis itu dengan ketinggian suara maksimal.

Setelahnya dia terisak-isak. Pikiran dan hatinya berkecamuk. Haruskah kebebasannya dibayar dengan tubuh? Untuk berapa lama? Seumur hidup? Sampai Altair bosan?

"Berengsek? Ya, aku memang begitu. Dan si berengsek ini adalah malaikat penye-"

Kalimat Altair tidak selesai. Tindakan berani Shitara yang menghentikannya. Laki-laki itu menyeringai seraya mengusap pipinya yang diludahi Shitara.

"Kamu pantas mendapatkannya!"

"Kamu juga pantas mendapatkan ini."

"Apa-"

Shitara meronta ketika Altair menekan kedua pipinya dengan ibu jari serta telunjuk. Mulut gadis itu terbuka paksa, situasi yang Altair gunakan untuk menjamah bibir Shitara. Bukan hanya menyatukan bibir, laki-laki itu dengan sengaja memberikan ludahnya pada Shitara.

"Bukankah kita sangat serasi? Kamu memberiku air liur, aku juga begitu."

Sudah Shitara coba untuk mengeluarkan cairan itu, tapi Altair yang kukuh menekan pipinya dengan kuat membuat Shitara terpaksa menelannya. Perasaan jijik dan ingin muntah kian menguasai gadis itu. Namun, apa yang bisa dia lakukan selain menangis dan menyesali keputusan mendatangi iblis di hadapannya itu?

"Aku tidak suka kekerasan, Shitara. Tapi akan aku gunakan jika kamu tidak suka cara lembut. Jadi, menurutlah dari sekarang."

Kali ini pun Altair tidak main-main. Pipi Shitara sangat sakit, tapi laki-laki itu sama sekali tidak menunjukkan raut iba. Rencana melarikan diri Shitara juga lenyap, teringat di luar pintu unit penthouse Altair memang ada dua penjaga bertubuh kekar. Jalannya telah buntu, tidak ada lagi secuil asa yang tersisa. Shitara tidak mengerti mengapa takdirnya menyakitkan seperti ini.

"Mandi bersamaku, Shitara."

Tubuh Altair kembali tegak. Tangannya terulur, menanti nyaris satu menit barulah Shitara membalas Altair. Dengan gugup dan takut, dia berdiri. Sejenak menatap Altair yang tersenyum puas, lalu kembali menunduk.

"Ikuti aku."

Langkah Shitara penuh keraguan, kaku seperti robot. Dadanya berdebar sangat kencang, mungkin sudah berada pada batas maksimal saat mereka memasuki sebuah kamar mewah. Gadis itu ditarik menuju kamar mandi yang luas dengan segala furnitur berkilauan.

"Buka baju dan celanamu."

Pandangan Shitara naik, menatap Altair yang sudah melepaskan penutup terakhirnya. Di antara rasa takut dan debaran gila, Shitara juga kini merasa malu. Bisa-bisanya Altair telanjang bulat tanpa memikirkan keadaan Shitara yang kian terpojok. Selain air mata yang menyelimuti wajahnya, gadis itu kini juga merasakan panas berkali-kali lipat dibanding tadi. Tanpa sengaja dia melihat sesuatu yang tak sepantasnya dilihat.

"Kamu tidak tuli, bukan?"

Selain menurut, apa lagi yang bisa Shitara lakukan? Dia benar-benar berada di ujung tanduk. Satu-satunya jalan untuk bertahan kali ini adalah mengikuti permainan Altair. Meski tahu harga dirinya telah lenyap dan tubuh yang akan ternoda selamanya, Shitara memang harus menerima konsekuensi dari pilihannya. Maka, gadis itu melepaskan kaus polos yang dia kenakan, disusul menurunkan celana jeans selututnya.

Sebelum melepaskan pakaian dalamnya, Shitara menatap wajah Altair. Laki-laki itu dengan jelas menunjukkan ketertarikan, bahkan kini telah mengambil dua langkah untuk mendekati Shitara.

"Aku tidak tahu kalau tubuhmu seindah ini."

Pujian yang sangat buruk bagi Shitara. Dia tidak membutuhkan kalimat menjijikkan itu. Namun, sialnya dia tetap harus mendengar.

"Kamu mau apa?!"

Panik, gadis itu mundur selangkah saat tangan Altair terulur. Bukannya menjawab pertanyaan, tangan Altair melewati lengan Shitara, menyentuh punggung gadis itu disertai senyum memuakkan.

"Membantumu melepaskan bra. Apa lagi?"

Dan begitu kalimatnya selesai, pengait bra Shitara terlepas. Gadis itu menatap tidak percaya atas gerakan cepat Altair. Tindakan yang sangat ahli, seperti telah terbiasa dan dilakukan berkali-kali.

"Aku bisa melakukannya sendiri."

"Tapi aku memang ingin membantu."

Lalu benda itu luruh, terjatuh begitu saja di lantai. Dengan cepat Shitara mengarahkan telapak tangannya untuk menutup dada, tapi terlambat. Tangan Altair yang lebih dulu berada di sana, meremas pelan yang secara refleks membuat Shitara melenguh.

"Kamu keterlaluan, Altair."

Wajah Shitara memerah, tangannya bahkan terlalu lemas untuk memukul bahu laki-laki itu.

"Kenapa? Karena meremas dadamu?"

"Kata-katamu sangat vulgar. Bisakah-"

Desahan Shitara tiba-tiba keluar, memotong ucapannya sendiri. Altair tersenyum lebar karena tarikannya pada puncak dada gadis itu ternyata sangat berefek. Altair dapat memastikan bahwa kilat di mata Shitara adalah gairah. Jarinya kembali bekerja, membuat gadis itu berkali-kali mendesah.

"Sialan, Al!" maki Shitara seraya menarik rambut Altair.

Sejak tadi dia terus dimonopoli. Kedua dadanya dieksplorasi tanpa jeda. Shitara benci perbuatan Altair, tapi mulut sialannya entah bagaimana tidak bisa diajak bekerja sama. Dia mendesah dan melenguh berkali-kali, terdengar menikmati bagaimana lihai Altair menjamah dadanya.

"Kamu lebih cocok memaki seperti itu daripada menangis sambil memohon-mohon. Kamu menikmatinya, bukan?"

"Aku tidak," elak Shitara seraya membuang wajah.

"Benarkah? Mari kita buktikan sekali lagi."

Gadis itu mendesah panjang. Lidah Altair menyapa puncak dadanya, lalu bibir itu melakukan sesuatu yang tidak Shitara pikirkan sedikit pun. Bagaimana tubuhnya bisa bereaksi pada hal yang tidak ingin dia lakukan? Apa-apaan semua itu? Shitara sama sekali tidak mengerti kenapa mulutnya tidak berhenti mendesah karena Altair yang meremas dadanya serta menyusu layaknya bayi. Baru beberapa menit lalu dia menangis, mengiba, tapi kali ini dia menikmati tubuhnya dikendalikan Altair?

Sialan!

Shitara kian membenci dirinya. Dia tidak berdaya, tubuhnya melemah dalam sekejap karena sentuhan Altair. Fakta dia memang menikmati lidah dan bibir Altair tidak terelakkan lagi. Air matanya kembali jatuh bersamaan dengan rambut Altair yang dia remas kuat. Apa itu? Dia bahkan kalah sebelum berperang habis-habisan. Dalam hati Shitara tertawa mengejek, ternyata memang dirinya pantas diperlakukan seperti apa pun. Karena dia terlalu lemah untuk mempertahankan segala yang dimiliki.

"Altair, jika kuberikan tubuhku, apakah aku akan terbebas dari mereka?"

Altair menghentikan kegiatannya. Wajahnya terangkat, lalu dikecupnya bibir gadis itu.

"Apa pun yang kamu inginkan, Shitara. Asalkan semuanya dalam kendaliku."


Tangan gadis itu meraba rahang Altair. Dia lalu berjinjit, mengecup bibir Altair dengan bibir bergetar.

"Maka mulai malam ini, tubuhku milikmu. Kamu berhak atas diriku."

To be continued

Coba tebak, siapa yang bakal bucin banget🤣

KALAU ADA YANG KOMEN, PENDEK BANGET, KAMU BIKIN CERITA SENDIRI AJA YA. BIAR PANJANG GITU.

Sorry lupa matiin caps lock 🤣

Sesuai sama yang di bayangan Kalian nggak?






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro