10. Hansel dan Gretel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Aduh! Kalian gagal menyelesaikan misi!]

[Nantikan titik merah selanjutnya untuk mendapat misi baru!]

Mayat seorang siswa SMA ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah apartemen yang belum rampung digarap pada Jumat, 30/10/20. Korban diduga keracunan setelah mengkonsumsi 50mg arsenik usai solat Jumat.

Saksi mata yang menemukan korban dalam keadaan mengenaskan langsung menelpon polisi. "Saya lagi patroli kayak biasa, terus liat selotip kuning di depan apartemen setengah jadi itu putusnya nggak wajar. Saya pikir cuma anak pesisir yang nakal, nongkrong di sana sambil ngerokok," ungkap satpam Mall Balikpapan Center. "Badannya udah dingin kaku gitu, terus ada busa di mulutnya. Saya langsung lapor polisi."

Arsenik sendiri cukup mudah ditemui dalam makanan, tetapi dalam dosis yang cukup kecil tidak membahayakan. Makanan laut: ikan, udang, kerang, dan makanan laut lainnya mungkin mengandung arsenik organik dalam jumlah yang signifikan, bentuk yang lebih tidak beracun. Namun, kerang dan jenis rumput laut tertentu mungkin juga mengandung arsen anorganik. Arsenik juga digunakan sebagai bahan campuran untuk membuat pupuk dan pestisida. Namun, dalam hasil penyelidikan, tidak ditemukan adanya seafood ataupun pupuk dan pestisida. Melainkan biji apel yang sudah dihaluskan dalam jumlah yang sangat banyak.

"Ini jelas pembunuhan berencana. Selain tidak ada perlawanan dari korban, hanya luka di punggung dan kepala belakang akibat terjatuh dari ketinggian yang dialami korban. Pelaku mungkin saja meracuni korban dari lantai atas kemudian mendorongnya."

Dikutip dari pandom.com:v

:.:.:

Berita itu sampai saat aku dan Illxa sudah pusing mengerjakan tugas kimia di rumah Alam. Pemberitahuannya muncul di notifikasi ponsel, yang sanggup membuat perhatian kami terdistraksi sejenak.

"Gila, kalian dah baca berita baru, belom?" Geby menggeser duduknya mendekatiku. "Liat, deh, Er. Anjir ini mah serem banget, mana meninggalnya tersembunyi gitu. Untung aja ada satpam yang lewat."

Alam meletakkan pulpennya, ikut membuka ponsel di seberang meja. "Bener banget, nggak bisa tak bayangin kalo itu temen sekolah kita la—"

"Cok!" Demi umpatan kata-kata kasar Geby, tiga pasang mata menoleh padanya. "Itu Fauzi, anjir!"

Malam itu, ruang tamu rumah Alam benar-benar gempar oleh berita meninggalnya ketua OSIS SMA kami. Grup Line angkatan terus berkicau semalaman, dan kami tak bisa berhenti memandangi keributan yang terjadi di sana. Beberapa menyebarkan foto langsung bahwa mereka sedang ada di lokasi kejadian.

Ucapan-ucapan belasungkawa memenuhi story Instagram di setiap bulatan warna-warni yang kupencet. Foto-foto Fauzi bersama teman-temannya disertakan kalimat seakan mereka orang paling menyesal sedunia. Selebrasi-selebrasi orang yang meninggal dalam keadaan tenar seperti Fauzi sang ketua OSIS berbeda dari yang didapatkan Jonathan dan Cassey sebagai rakyat sekolah biasa.

"Mobil jenazahnya dah sampe." Seseorang mengirimkan foto di grup angkatan kami.

Ada pula yang menampilkan gambar dari atas kendaraan yang menyiarkan mereka sedang mengekori mobil jenazah ke rumah sakit Restu Ibu-rumah sakit terdekat dengan TKP. Ada yang curhat tentang baru saja mereka berbincang dengan Fauzi dan tidak menyangka bahwa itu benar-benar saat terakhir mereka bertemu dirinya. Aku termasuk orang itu, tetapi versi yang memilih diam dari pada bertempur dengan keyboard ponsel.

Meski sudah tahu berita ini lebih dulu dari siapapun, tetapi sensasi merinding yang kurasakan saat kehilangan seorang kenalan lama itu tetap ada. Illxa memasang wajah terkejut dan mengkerut di sebelah Alam, sekilas mata kami bertemu, kemudian jempolnya kembali menggeser layar.

"Bentar," potong Geby di sela kehebohan batin kami, "kita kudu ngerampungin kimia dulu. Kalo bisa selesai hari ini lebih bagus, biar kita nggak ada beban lagi."

Alam yang paling tampak enggan melepas ponselnya, dia bergerak gelisah di tempatnya. Anak itu berkali-kali mengganti posisi kaki bersila dan bersimpuh di atas karpet. "Kita nggak mau ke sana?"

Geby bersedekap menatapnya. "Aku juga mau-semua temen OSIS-ku ke sana. Tapi kalopun kesampean, di sana pasti penuh. Misal udah di rumah sakit, orang yang nggak berkepentingan kayak kita juga pasti nggak boleh masuk."

Kata-katanya benar. Peran 'orang kepo' sudah diambil manusia-manusia yang ada di sana. Kami tinggal duduk diam menunggu hasil saja. Pada akhirnya, Alam menyerah. Dia meletakkan ponsel dan mengerjakan lima soal terakhirnya dengan wajah tertekuk-anak itu sedang gelisah.

Di antara kami berempat, Geby adalah orang yang paling disiplin dan mampu mengejar-ngejar kami untuk lekas menyelesaikan tugas. Maka malam itu, selesailah tugas kimia kelompok kami-meski pelipisku jadi sakit dan perutku mual.

"Jadi," kata Alam membanting topik pembicaraan sambil membawa nampan berisi gelas dan teko besar, "SMAC nggak bakal aktif sampe bulan depan, sedangkan awal Desember film pendeknya harus udah jadi. Kapan kita mulai dah?"

Aku melirik jam sekilas sebelum meraih salah satu gelas. "Suka-suka Aldi Taher lah," kataku sambil menyesap es teh. "Udah mau jam sepuluh, Geby nggak minta jemput?"

Anak itu langsung bangkit. "Ayahku udah di depan. Mana mamamu, Lam?"

"Kau mau kuantar pulang nggak?" Illxa menatapku dari seberang meja. Separuh wajahnya tertutup saat dirinya menyesap teh.

"Boleh." Aku ikut berdiri setelah mengemasi barangku dan mengekor Alam ke ruang keluarga. Di sana sudah ada mamanya Alam, tersenyum menyalami Geby. "Tante, Ersa sekalian pamit pulang." Kukeluarkan bungkusan kecil dari ranselku. "Ini dari Ibu, oleh-oleh Ayah pulang dari Jakarta."

Mamanya Alam beralih menyalamiku, senyumnya semakin lebar. "Halah ibumu itu, Er. Nanti bilangin kalo mamanya Alam maunya sertifikat tanah."

Aku berusaha tertawa. Beruntung sebelum wanita itu bertanya banyak hal, Illxa datang dan mengalihkan perhatiannya. Aku lekas mengikuti langkah Geby kembali ke ruang tamu dan memakai sandal.

"Makasih ya. Jangan kapok sekelompok sama aku lagi," katanya sebelum berjalan membelah halaman rumah Alam dan menghilang dari pandangan kami.

"Kau pulang gimana, Er?"

"Sama aku," Illxa menyela. "Makasih yo, Lam."

Mereka melakukan salam perpisahan anak laki-laki dan beberapa percakapan yang hanya mereka yang mengerti. Aku memilih menunggu di motor Illxa sambil mengecek ponsel.

[Pencarian dimulai! Temukan titik merah sekarang!]

Serius? Malam-malam begini? Notifikasi itu sudah bertengger di bagian atas ponselku sejak lima belas menit lalu, pasti saat kami masih mengerjakan soal. Illxa juga tampak tidak menyadarinya.

Teka-teki Putri Salju tadi siang, sepertinya aku sudah dapat memecahkannya. Pertama dilihat dari korban, dalam setiap teka-teki selalu disebutkan secara terang-terangan siapa yang akan menjadi korban. Dalam kasus ini adalah si Pangeran Berkuda. Kami hanya perlu menyiasati siapa sosok yang berkaitan dengan tokoh tersebut dan memiliki hubungan denganku dan Talia.

Kedua, bagaimana caranya dibunuh juga sudah dijelaskan meski secara tersirat di sana. Putri Salju memakan apel beracun, dalam versi Clade sang Pangeran Berkuda dipaksa menelan ekstrak biji apel yang mengandung arsenik. Pada kematian Cassey, Bawang Putih dibunuh menggunakan selendang merah yang dia cuci di sungai. Kematian setiap karakter selalu berhubungan erat dengan benda ikonik dalam cerita aslinya.

Sisanya hanya bagaimana cara kami menemukan korban sebelum seseorang membunuhnya. Itu adalah bagian tersulit sejauh ini. Selain tiga hal di atas, ada satu petunjuk lagi yang dapat digunakan untuk menangkap pelaku dan mengakhiri semua ini: kertas bon dengan sandi angka. Sayangnya, sejauh ini hanya korban yang memilikinya, dan kami masih belum tahu toko mana yang mereka kunjungi agar mendapat kertas itu.

Siapapun yang memberi kertas bon berisi kode itu pasti sudah tahu lebih dulu siapa korban selanjutnya. Bahkan, jika beruntung, kami dapat langsung menangkap pembunuhnya. Atau ... Talia mungkin juga ada di sana.

"Apaan tuh?" Wajahnya mendekat tepat di sebelah telingaku.

Sikuku refleks terangkat, menghantam telak pada rahangnya. Jantungku rasanya mau loncat detik itu juga. "Mampus!" desisku, padahal dalam hati aku mengaduh sikuku yang rasanya seperti tersambar listrik.

Illxa mengusap dagunya dengan alis bertaut. "Padahal aku dah tau kau sering kayak gini," Illxa mendekati motor dan menyalakannya, "tetep aja kena."

Salah sendiri dekat-dekat. "Kau udah liat notif?"

Sebagai jawaban, Illxa menarik gas. "Naik, Bung. Mumpung besok libur, pulang malem dikit nggak papa, 'kan?"

Helm Illxa di kepalaku nyaris terbang seandainya kaitannya tidak kukaitkan di bawah daguku. Illxa gila. Kuulangi, ILLXA GILA! Mentang-mentang jalan perumahan Pertamina yang besar selalu sepi dan lenggang, aku diajak ngebut sampai badanku seolah bisa terbang dan menjadi layangan!

"Pelan-pelan aja! Aku nggak mau sehidup semati sama dirimu!" pekikku, mencengkeram bagian belakang jok motor Illxa sambil menyebut.

Aku tidak tahu apa yang membuat anak itu menarik gasnya sekencang ini. Padahal, tiga tahun dibonceng dirinya ke mana-mana, Illxa paling patuh peraturan lalu lintas, menjaga kecepatan di bawah 60 km/jam kecuali saat dikejar anjing.

Illxa baru melepas gasnya beberapa ratus meter sebelum pos terdepan perumahan. "Titik merahnya di mana?"

Merasa sudah cukup aman untuk melepas pegangan, aku meraih ponsel. "Ini kayaknya di depan SMA. Jalan Kapten Piere Tendean."

Setelahnya, Illxa hanya perlu waktu lima menit melewati daerah Prapatan yang rawan untuk sampai di depan gerbang sekolah kami. Peta Clade di ponselku menggeser posisi, memperkecil ruang lingkup. Kotak-kotak muncul sebagai tanda bangunan, dan letaknya persis di tengah lapangan SMP yang berseberangan dengan SMA-ku.

Kami membuka helm setelah Illxa memarkirkan motor di gang sebelah SMA. Cukup berbahaya kalau kami masuk ke sana tiba-tiba, satpam pasti menghadang. Pokoknya, penjagaan di SMP-ku dulu sangat ketat ... di bagian depan. Maka, kutarik Illxa untuk berlalu menuju gerbang belakang selayaknya pasangan kasmaran sedang malam Sabtu-an.

Meski gerbang itu terkunci rapat saat kami tiba, selokan raksaksa di sebelahnya tidak memiliki filter jeruji. Kami melewatinya dengan mudah, menyingkap dedaunan pucuk merah yang lebat, sama seperti anak-anak nakal lain yang bolos saat kegiatan Pramuka wajib. Jalur ini sering dijadikan tempat pelarian bagi beberapa kelompok preman SMP.

Illxa mengulurkan tangan, membantuku keluar dari curamnya dinding selokan. "Berasa jadi maling," gumamnya.

Kami bersembunyi di balik bayangan gedung yang ditimpa sinar bulan, merayap pelan-pelan memastikan tidak ada orang di sekitar. Lorong-lorong gelap dan angin malam menyambut kami. Terlalu gelap untuk seseorang berpatroli. Harusnya, kami hanya berdua di sini.

Tiga tahun aku meninggalkan SMP ini, tidak sekalipun terbesit di kepalaku untuk kembali, bahkan kalau bukan karena Clade yang mengharuskanku menyelamatkan nyawa seseorang, aku ogah sekali menginjakkan kaki di sini. Suasananya berubah drastis sejak aku mengingatnya terakhir kali. Tampak lebih bagus dan membuat alumni menyesal masuk ke SMP ini saat fasilitasnya masih jelek.

"Lapangan sekolahmu gede banget ya," Illxa berkomentar, merapatkan hoodie dan memasang tutup kepalanya. "Pasti capek kalo disuruh lari keliling lapangan—"

Getaran pelan dari ponsel kami segera menginterupsi pembicaraan. Tak satupun dari kami yang membuka suara selama beberapa detik setelah pesan masuk dari Clade.

[Titik Merah ditemukan!]

Hansel dan Gretel cukup cerdas untuk melarikan diri dari Penyihir, menggunakan kunci dan kembali ke hutan dengan selamat. Namun, hal serupa tak mampu dilakukan sang Ibu Tiri. Kini, Ibu Tiri akan dibakar api sang Penyihir, dan tak seorang pun yang mampu menyelamatkannya.

[]

Misi Utama: Lengkapi Puzzle
Sub Misi: [ Ibu Tiri ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro