11. Ibu Tiri dan Penyihir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hansel dan Gretel cukup cerdas untuk melarikan diri dari Penyihir, menggunakan kunci dan kembali ke hutan dengan selamat. Namun, hal serupa tak mampu dilakukan sang Ibu Tiri. Kini, Ibu Tiri akan dibakar api sang Penyihir, dan tak seorang pun yang mampu menyelamatkannya.

Satu-satunya nama yang melintas di kepalaku setelah membaca teka-teki itu, adalah nama mantan guruku yang masih bekerja di sini. Sosok yang kupikir akan menyelamatkanku dari jebakan pembullyan, sosok yang pada akhirnya ikut membenciku dan berpihak pada orang yang memiliki nilai lebih di matanya. Sudah menjadi hukum alam di mana kecantikan dan uang adalah segalanya.

Tempat di mana aku pernah dikurung dan diselamatkan karena kunci yang menjadi saksi. Perasaan yang jika diibaratkan seperti mampu berlari menjauh dari penyihir. Hansel dan Gretel bersaudara, melawan sang ibu tiri. Semua itu seakan tak jauh berbeda dari kehidupanku lima tahun lalu.

Teka-teki kali ini membuatku mengingat kembali peristiwa paling menyebalkan yang mengubah hidupku. Semua seperti Dejavu, seakan aku bisa tahu langsung di mana dan siapa yang akan menjadi korban. Sesuatu yang sejak dulu ingin kuhapus sepenuhnya dan memulai hidup yang benar-benar baru.

Detik pertama aku mendongak dari layar ponsel, lekas kutarik Illxa memotong lapangan luas yang gelap. "Kalo bener teka-teki ini berhubungan sama aku, korban selanjutnya nggak bakal jauh dari sini."

Napasku menderu cepat. Illxa akhirnya bergerak mengikutiku setelah kulepas tangannya. Untuk ukuran sekolah yang lebih besar dari pada SMA di seberangnya, butuh dua menit untuk mencapai gudang marching band yang letaknya di sudut paling belakang sekolah. Lorong-lorong yang biasanya kulihat tiga tahun lalu memiliki aura berbeda saat dilintasi di malam hari, seakan ada bayang-bayang horor yang bersembunyi di tiap belokannya. Aku tidak tahu kalau saat gelap semua lampu akan dimatikan, bukankah biasanya tetap dinyalakan di bagian lorong dan lampu besar lapangan?

Kegelapan ini justru semakin meyakinkanku bahwa korban selanjutnya benar-benar ada di sini. Kalau kami bergegas, harusnya masih sempat menyelamatkan nyawanya dan mendapat clue.

Di belokan terakhir, Illxa tiba-tiba menarikku dari belakang. "Ada yang dateng," bisiknya persis di sebelah telingaku.

Punggung kami mencium dinding, berusaha tidak menimbulkan suara. Perlahan, suara tepak kaki mulai terdengar semakin dekat. Tanpa sadar aku menahan napas di sebelah Illxa, berdoa semoga sosok itu tidak menghampiri kami.

Kurasakan Illxa menggenggam erat pergelangan tanganku—anak itu berjaga-jaga seandainya kami perlu berlari. Ketika suara langkahnya menjauh, genggamannya melonggar. Illxa mengambil inisiatif lebih dulu untuk melongok ke balik dinding.

"Kita nggak sendiri." Tanpa mengalihkan pandangan, Illxa menarikku mendekat untuk mengintip bersama. "Liat yang pake jubah itu?"

Jantungku rasanya bergerak meluncur hingga lutut. Siapa dia? Bagaimana bisa dia masuk ke sini? Jika memanjat dinding dan pagar tidak bisa karena ada kawat, lantas dari mana dia lewat?

"Di mana korbannya?"

Aku mematung sejenak, mengamati ke mana tujuan si jubah hitam itu. Sial. "Ke arah dia pergi, gudang marching band." Apa dia yang akan membunuh korban selanjutnya? Organisasi apa yang sebenarnya kami hadapi?

"Ayo." Illxa menarikku lagi. "Kalo dia si pembunuh, kita harus gagalin rencananya." Kami berjalan cepat tanpa suara. "Siap-siap telpon polisi, Er. Kalo terdesak, langsung pencet."

Dengan satu tangan kulaksanakan perintah Illxa dan membiarkannya menarikku. "Kau punya rencana?" tanyaku.

"Harus punya," jawabnya percaya diri. "Kalo dilihat dari teka-teki sama dongengnya, korban kemungkinan bakal dibakar hidup-hidup. Tebakanmu di gudang marching band juga masuk akal, banyak barang mudah terbakar di sana."

"Gudangnya agak sempit, banyak barang, mayoritas kayu. Cuma satu pintu buat akses keluar masuk," bisikku. Ketika jarak kami semakin dekat, langkah kami terhenti. Telingaku semakin sensitif mendengar suara di sekitar.

Geraman, jeritan tertahan, teredam bahan kedap suara. Jantungku semakin bertalu-talu membayangkan apa yang ada di dalam sana. Pilihan dan tebakan kami sudah benar, kini yang sulit adalah menangkap pembunuhnya di depan mata.

Illxa memberi aba-aba untuk tetap di sini, sementara dia memeriksa keadaan di dalam. Aku celingukan mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata seandainya terdesak, tetapi yang kutemukan hanya batu bata kecil di satu sisi pot bunga.

Ketika punggung Illxa mulai merayap di sisi pintu gudang, aku berjongkok siaga. Dalam hitungan detik, anak itu bergerak dalam kegelapan dan masuk ke gudang. Perutku seolah dihinggapi ribuan kupu-kupu menunggunya keluar.

Detik setelahnya, suara gaduh tanpa malu-malu keluar dari gudang marching band. Suara sesuatu menabrak perabotan dan jatuh berdebum, kemudian langkah kaki yang tergesa-gesa.

"Ersa, dia mau keluar!"

Tanganku refleks meraih pot bunga sebesar kepalaku dan mengangkatnya, bersiap melempar. Benar saja, tak lama kemudian sosok berjubah hitam itu keluar dengan derap langkah buru-buru dan langsung melesat ke arahku di sisi lain. Di belakangnya, Illxa menyusul kalah cepat.

Kepalaku berhitung kapan harus melempar ... sekarang! Lemparanku telak mengenai kepalanya. "Yes!" sorakku.

Sosok itu terhuyung sejenak, oleng memegangi kepalanya. Namun, itu tak lama. Dia segera bangkit dan terus berlari meski tak lagi cepat. Kalau seperti ini terus, Illxa bisa menyusulnya.

"Er, korbannya di dalem!" seru anak itu tanpa menoleh.

Aku langsung berderap masuk dan menyalakan flash ponsel. Gudang ini berantakan, alat-alat musik berjatuhan memenuhi lantai. Kulompati beberapa snare dan berusaha tidak menginjak suling. Bau khas peralatan marching band bercampur dengan bau aneh yang belum pernah kucium sebelumnya.

"Mmph! Mmph!"

Oh astaga di sini sungguhan ada orang! Suaranya dari bilik di balik sekat. Dengan cepat aku meraihnya, mengarahkan flash ponselku ke tengah ruangan. Di sana, sosok berseragam Pramuka guru diikat pada sebuah kursi kayu. Mata dan mulutnya ditutup dengan kain, sementara di antara kedua mata kakinya kulihat bercak darah.

Tanpa melihat wajahnya secara keseluruhan, sudah bisa kutebak siapa yang duduk di sana. Aku mendekatinya perlahan. "Bu?" Guru itu meronta saat aku berputar ke belakangnya. "Bentar, Bu. Ini saya lepas dulu."

Tangannya yang terikat di belakang kursi menampilkan bercak darah yang sudah mengering di atas pergelangan tangannya. Tali putih yang mengikatnya serupa dengan yang digunakan tali-temali anak Pramuka. Ada tanda-tanda perlawanan dari wanita ini, dan melihat darahnya yang mulai mengental kering, sudah lama sejak dia diikat di sini.

Pelan-pelan kulepaskan kain yang menutup mata dan mulutnya. Ketika indranya kembali berfungsi, wanita itu menjerit, "TOLONG!" Tubuhnya kembali meronta panik.

"Bentar, Bu. Ini kalo ibu gerak-gerak terus, ntar tambah berdarah!" bentakku setengah kesal. Aku kembali menutarinya, berjongkok untuk melepaskan ikatan di kakinya.

Belum selesai aku melepaskan, wanita itu rupanya menatapku dan mengingat siapa diriku. "Kau!" pekiknya. Aku yang tak menduga akan dihempaskan, tak sempat memasang kuda-kuda.

Tubuhku tersungkur di antara suling-suling. Apa-apaan itu?! Aku balas menatapnya, berusaha mengindahkan rasa sakit yang menjalar di punggung.

"Jangan sentuh saya lagi!" Bahunya gemetaran, tatapan matanya nanar melihatku seperti bertemu setan. "Kau pasti mau balas dendam sama saya. Jangan sok jadi pahlawan!"

Kutepuk dahiku pelan. "Bu, ayo keluar dulu. Ada orang lain yang mau ngebakar tempat ini, kita keluar dul—"

"Siapa yang mau bakar tempat ini?!" serunya tambah murka. Otot-otot lehernya sampai menonjol di balik rambut panjang yang tergerai kusut itu. "Pergi dari hadapan saya!"

Eh buset, guru ini kepala batu juga. "Kalo saya dendam sama ibu, dari dulu ibu udah saya santet!" jeritku emosi. Punggungku bangkit, setengah perasaan kesal dalam hatiku meminta untuk pergi saja dari hadapannya, karena jujur akupun muak melihat wajahnya. "Lepasin sendiri iketan yang di kaki, sama-sama." Aku memilih mematikan flash dan menyimpan ponsel dalam kantong celana untuk melenggang pergi meninggalkannya dalam gelap.

Dadaku bergemuruh. Wanita sialan yang tidak pernah berterima kasih. Dengan langkah kaki menghentak, aku keluar dari gudang marching band. Mati aja sana, sialan!

Beberapa langkah menjauh dari gudang, aku tersadar bahwa aku memerlukan wanita itu untuk clue Clade. Maka, aku berbalik. Tepat sedetik sebelum ledakan besar menghempaskanku hingga tubuhku benar-benar memiliki waktu beberapa detik di udara. Tak mampu mengkondisikan pendaratan yang tiba-tiba, punggungku telak menghantam lantai dengan keras.

Rasanya seperti seluruh organ dalamku terpelanting tiba-tiba dan menghantam perut bawahku. Telingaku berdenging merespons suara ledakan yang terlalu dekat. Sensasi ingin muntah menyelimutiku, tetapi tak bertahan lama saat percikan api mulai meletus-letus di hadapanku.

Sekitar mendadak menjadi terang. Nyala api penyebabnya, dan jago merah itu menyebar dengan cepat melalap seluruh gudang marching band yang berdiri sendiri. Di tengah kobaran api, dapat kudengar suara jeritan tertahan sosok wanita.

"TOLONG!" Terlalu menyakitkan untuk kudengar, aku menutup telinga dan mata, memeluk diriku sendiri beserta seluruh rasa memar di tubuh.

Sosok itu mati. Bu Ratna mati terbakar hidup-hidup. Alih-alih merasa bersalah, satu sisi dalam hatiku mendadak lega. Aku senang, tetapi tidak senang. Aku senang wanita sialan itu mati, di saat bersamaan aku ketakutan.

Suaranya seakan menjeritkan namaku dalam penyesalan.

"Ersa!"

Tubuhku bergetar tak keruan. Oh astaga, aku tidak percaya hantu, mereka cuma jin.

"Ersa!"

Kupejamkan mataku semakin erat dan menutup telingaku sekuat mungkin. Bu Ratna tidak mungkin hidup lagi setelah terbakar untuk balas dendam padaku. Atau dia jadi manusia tak berkulit seperti monster raksasa di anime.

"ERSA!" Sesuatu mengguncang bahuku keras-keras. "KAU KENAPA?!" Satu tangannya menyingkap rambutku yang tak beraturan di depan wajah.

Hantu tidak bisa menyentuhku, dan suaranya menjadi berat. Jadi, aku membuka mata dan mendapati Illxa berjongkok di sebelahku dengan kening berkerut menatap panik. Oh astaga, anak itu berdarah! "Kau yang kenapa?! Bibirmu berdarah!"

Illxa menyeka sudut bibirnya singkat, kemudian melihat darah yang menempel di tangan yang tadi dipakai untuk menyeka. "Ini sambel." Dia menoleh pada api yang membesar. "Mana korbannya?"

Aku melirik pada pintu gudang yang mulai reyot menghitam digerogoti api. "Dia sendiri yang nggak mau keluar." Kuusap wajahku kasar, baru menyadari betapa bodohnya aku karena terbawa perasaan. "Maaf, Bu Ratna nggak sempet keluar. Ibunya emosi pas aku nyoba ngelepasin iketannya. Kayaknya ibunya masih inget aku waktu kelas 7 dulu."

Kepalaku menunduk lesu. Baru sekarang aku merasa bersalah. Gara-gara aku, petunjuk dan kode lain yang harusnya dibawa Bu Ratna jadi ikut hangus terbakar. Melihat besarnya api, tak mungkin benda seperti kertas bon dan ponsel bisa selamat. Bahkan dari sini, bisa kulihat telapak tangan Bu Ratna menghitam mencoba keluar.

"Nggak papa. Kita udah tau kalo semua teka-teki dongeng itu beneran ngarah ke masa lalumu." Tangan Illxa hinggap di puncak kepalaku, menarikku dalam dekapannya yang hangat dan berbau khas Illxa. "Teka-teki selanjutnya, kita harus lebih yakin."

Beberapa detik yang terasa menenangkan, aku mendorong bahunya untuk menjauh. "Apinya makin gede," aku tersadar, merogoh saku untuk mencari ponselku, tetapi Illxa menahannya.

"Udah kutelpon pas denger ledakan. Kau oke?"

"WOI!" Kami serentak menoleh ke arah kami datang sebelumnya. "KALIAN NGAPAIN DI SINI?!"

Gawat!

[]

Misi Utama: Lengkapi Puzzle
Sub Misi: [-]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro