2. Titik Merah Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kami datang saat semua orang memasang wajah pucat pasi. Di balik wajah kalem guru-guru, bisa kulihat kekhawatiran menggelora di mata mereka. Satu-dua berlari kecil, saling membisiki kemudian lanjut berlari kecil melewati kami tergesa.

Dari belakang, Sera langsung berlari menerjang Nora. "Kenapa ini?" Pertanyaannya disambut gerakan bahu Nora. Alam dan Nusa melakukan hal serupa, bedanya mereka tidak perlu mengucap kata untuk saling memahami tatapan mata.

"Perhatian!" Kami semua menoleh serentak. "Kalau nama-nama yang ibu sebutkan tadi sudah lengkap ada di sini, segera menuju ruang BK. Tunggu di sana, jangan ke mana-mana." Guru berpakaian cokelat itu menuntun kami ke arah koridor lain, melewati cafetaria dan lab biologi yang kosong.

Bisik-bisik terus terdengar sepanjang jalan, tentang alasan mengapa kami bersembilan dipanggil. Bahkan meski sudah menunggu lima belas menit di ruangan dingin bimbingan konseling, belum ada orang yang bisa memberi tahu kami sedang berada dalam situasi apa.

Sejenak kulupakan pesan yang dikirim nomor anonim beberapa menit lalu. Hanya sesaat sebelum suara lain menginterupsi benakku yang kacau. Sirine. Ambulan atau polisi.

"Er, kau udah liat berita baru?" Illxa menggeser duduknya lebih dekat denganku dan menyodorkan ponsel.

Aku menggeleng sebelum memusatkan perhatian pada layar berisi sebuah artikel.

Balikpapan, Oktober 2020

...

Pihak forensik menyatakan bahwa terdapat sebuah luka sayat dalam di bagian arteri tangan kanan, dan beberapa luka memar pukulan benda tumpul di sekujur tubuh korban. Pelaku pembunuhan diduga melakukan kekerasan fisik sebelum menyayat nadi korban hingga kehabisan darah. Senjata tajam yang diduga digunakan pelaku untuk menghabisi nyawa korban masih belum ditemukan sampai sekarang.

Selain jasad korban, tidak ada bukti yang mengarahkan tim penyidik pada pelaku pembunuhan. Tidak ditemukan sidik jari pada tandon tempat ditemukannya korban. Belum diketahui pula apa motif pelaku menghabisi nyawa korban.

Sumber: Pandom.com:v

Jadi itu yang membuat kami dipanggil kemari. Kalau diingat-ingat, aku memang pergi ke kamar mandi sebelum Nusa datang ke kelas, cuma memperbaiki rok dan seragamku yang keluar, aku tidak menyentuh air sama sekali.

Kujauhkan wajahku dari ponsel Illxa dan memeluk diriku sendiri di bawah dinginnya air conditioner. Tak pernah sekalipun terpikir olehku bahwa kematian akan terus berada di dekatku seperti lima tahun lalu. Ini tidak mungkin teror yang sama. Hanya kebetulan aku baru memulai game keramat, mendapat pesan misterius, dan kasus pembunuhan di hari yang sama.

Kepalaku memproses beberapa informasi sepersekian detik; kalau beritanya sudah ada di koran digital, itu artinya sejak tadi media sudah berada di sekolah ini. Tapi kapan?

"Halo semua!"

Lagi, kami menoleh serentak ke arah pintu. Sosok pria bertubuh besar berseragam polisi berdiri di ambang pintu, di belakangnya seorang presiden SMA mengekor dan menatap kami secara cepat. Mereka masuk bersama beberapa pria lain berseragam serupa, sehingga ketua OSIS itu menjadi orang paling nyentrik di antara kumpulan polisi.

Dugaanku, kami pasti akan diperiksa dan dimintai kesaksian. Ahmad Fauzi, ketua OSIS itu mungkin orang pertama yang membuka keran air di kamar mandi dan melaporkan kecurigaannya. Tatapan matanya tajam tanpa ekspresi ke arah kami yang duduk mengelilingi meja panjang ruang BK. Anak itu berkemungkinan melapor pada staf dan menemukan jasadnya, kemudian memeriksa CCTV sehingga mendapatkan sembilan nama kami sebagai tersangka yang pernah masuk ke kamar mandi pagi itu juga.

Guru-guru mengambilkan kursi dan mempersilakan para tim penyidik itu duduk. Mereka menjelaskan beberapa hal terkait pembunuhan itu. Semua orang berseru tertahan saat mengetahui korbannya adalah Jonathan XII IPA 6, terutama Cassey yang sekelas dengannya. Mudah mengenali identitas korban dengan nama di seragam PSL hari Selasa-nya.

Kami semua mengenal Jonathan, anak basket yang tak pernah absen mencetak poin di kejuaraan DBL. Terlebih Illxa sebagai teman satu timnya. Jonathan teman SMPku, juga termasuk salah satu orang yang pernah membullyku dan Talia lima tahun lalu. Tapi itu sudah lama sekali, dan ... astaga. Kalau benar si pengirim pesan itu Talia, apa mungkin anak itu balas dendam?

"Ersa?"

Aku mendongak. "Ya?" Jangan sampai mereka tahu tentang pesan itu.

"Kau dipanggil buat interogasi, bah." Illxa menepuk pundakku, menyuruhku berdiri dengan tatapan matanya.

Tatapanku menelaah sekitar. Sepertiga dari kami sudah hilang di bilik khusus BK, dan aku segera menyusul ketika melihat seorang petugas melambaikan tangannya ke arahku.

Tidak setegang yang kuduga, pertanyaan-pertanyaan darinya mampu kujawab dengan mudah. Seputar seberapa dekat aku dengan korban, siapa saja yang kulihat saat berada di kamar mandi, dan apa yang kulakukan di sana. "Saya pakai rok, tandon di atas kamar mandi. Naik tangga memang oke buatku, tapi membawa mayat seberat Jonathan? Perempuan seperti saya mana kuat, Pak. Yang ada saya ikut mati kegencet."

Petugas itu menahan tawa, kulihat dia menggigit bibir saat mendengar jawabanku. "Saya cuma minta kesaksian, bukan nuduh kamu yang bunuh."

"Iya." Kujawab demikian karena tidak tahu harus mengucap apa untuk merespon. "Pak, kalau boleh tahu, apa media udah sampe sini?"

Pria itu menggeleng sambil mencatat beberapa hal di kertas. "Belum. Laporannya baru kami terima beberapa sekitar setengah jam lalu. Yang datang baru medis dan tim forensik. Jasadnya juga belum dipindahkan karena sudah kaku dan sulit dikeluarkan dari tandon." Gerakan tangannya terhenti sejenak, dia mendongak dan menatapku seperti melihat berlian. "Kecuali temanmu yang membuat berita itu."

Aku menggeleng. "Sumbernya Pandom.com:v lumayan terpercaya meski nggak begitu terkenal. Dan media itu sudah ada dari dulu."

Hening meliputi kami sejenak, sebelum pria itu mengembuskan napas panjang. "Naira Ersa, ya?" katanya, membalik-balik kertas berisi catatan. "Mukamu kayak nggak asing. Kita pernah ketemu sebelumnya?" Itu bukan pertanyaan om-om polisi yang genit dan mencoba ramah pada gadis SMA. Tatapannya serius dan tidak ada sorot genit di sana.

"Saya nggak inget punya kenalan polisi. Atau penyidik." Apa yang dia lihat itu Talia? Umur kami hanya selisih satu tahun, dan kami lumayan mirip kecuali dia yang senang dikuncir dua sedangkan aku kebalikannya.

"Ersa beneran nggak lihat orang lain pas masuk kamar mandi?" tanyanya sekali lagi dan kujawab dengan gelengan. "Atau sesuatu yang mencurigakan?"

"Nggak ada. Saya cuma masuk kamar mandi, benerin seragam di luar bilik, terus balik ke kelas. Pas itu masih sepi dan nggak ada orang sama sekali." Mendapati sorot matanya yang tidak puas dengan kesaksianku, aku melanjutkan. "Kalo gitu ... boleh saya lihat mayatnya?" tanyaku ragu-ragu, takut kena semprot atau dipelototi.

Dia terdiam sejenak memandangku. "Kuat?"

Garis polisi sudah dipasang melintangi sekitar kamar mandi di belakang kelas 12. Satu-dua petugas bersarung tangan dan masker masih berpatroli memeriksa sekitar. Sekarang aku tahu kenapa hanya kami yang dipanggil, tanpa ada adik kelas lain; karena toilet ini jauh dari gedung angkatan lain bahkan ruang guru.

Pria tadi mau membawaku ke TKP, dengan syarat aku tidak menyentuh apapun tanpa sarung tangan. Sedikit mengherankan kenapa dia membolehkanku yang tidak begitu berkepentingan untuk masuk ke TKP, bahkan naik ke dekat tandon.

Dari atas sini, angin berembus sedikit kencang. Bisa kulihat jalanan di belakang SMA dari balik dinding terluar. Pembunuh itu mungkin saja melompat dari sini dan mendarat di depan warung bakso sebelah SMA. Aku menoleh ke arah tabung oranye super besar itu. Di sekitarnya ada dua orang petugas berseragam berbeda dari polisi, mungkin forensik, yang membawa papan scanner.

Aku lagi-lagi memantapkan diri untuk berani bertanya. "Pak, boleh lihat ke dalam?" Kutunjuk tandon itu.

Mereka berdiskusi sebentar, menentukan apa saja yang boleh dan tidak boleh kulakukan, kemudian mengangguk. Dengan cepat aku menaiki tangga besi yang mereka bawa untuk melongok ke dalam tandon dari atas.

Bau menyengat langsung menyerang hidungku sampai aku harus menarik kepala sejenak dan terbatuk. Tiga orang itu menghawatirkanku dari bawah, tetapi saat aku mengacungkan jempol dan melongok ke dalam lagi, mereka mengembuskan napas lega. Di dalam genangan darah keruh, sosok Jonathan berenang mengambang dengan seragam abu-abu merah khas SMA kami. Lengannya yang terekspos pucat mati dengan semburat kebiruan di beberapa tempat, sementara pergelangan tangannya sedikit terbuka dan tak lagi mengeluarkan darah.

Tidak seperti bayanganku, Jonathan tidak benar-benar tenggelam. Air yang ada di tandon itu cukup surut sehingga hanya menggenangi tak lebih dari separuh tubuhnya. Setelah kurasa tidak ada yang perlu kulihat, aku turun perlahan dan kembali melihat-lihat sekeliling. Cukup aneh melakukannya seolah punya hak istimewa berkeliaran di dekat mayat.

Ada yang mengganggu pikiranku di sini, ada yang tidak beres. "Gimana caranya pembunuh bawa mayat ke sini? Di lantai nggak ada bercak darah, atau tanda-tanda disiram air dari beberapa jam lalu, berarti korban baru disayat setelah masuk tandon. Meski pelakunya cowok, kalo disuruh ngangkat Jonathan yang beratnya 60 kg lebih, bakal susah juga kecuali pembunuhnya udah terlatih, apalagi naik tangga dua kali buat nyeburin mayat ke tandon," gumamku tanpa sadar. "Jonathan nggak mungkin sukarela masuk ke tandon kalo disuruh orang, apalagi abis dipukulin. Dia bukan tipe orang yang pasrah, dia pasti ngelawan. Apa mungkin anak itu pingsan abis dipukulin?"

Kuseret langkahku ke arah dinding terluar SMA. "Kalo dari sini aku lompat, terus mendarat di tumpukan daun itu, mungkin aja bisa selamat. Mentok-mentok keseleo kalau kurang pemanasan." Aku berjongkok, mengamati ujung dinding yang bisa dilangkahi dari atas sini. Mataku melebar saat mendapati noda di sana.

"Pak! Ini noda apa?" seruku pura-pura bodoh menunjuk ujung dinding.

Salah satu dari tim forensik itu berderap ke arahku, ikut berjongkok dan memeriksa. "Periksa yang ini!" Dia berseru pada rekannya, kemudian menoleh padaku. "Makasih, ya. Saya nggak sadar ada clue yang terlewat di sini. Siapa namamu?"

"Ersa. Naira Ersa."

Polisi yang tadi mengantarku ikut mendekat. "Deduksi yang bagus. Kayaknya Ersa udah biasa ada di TKP." Dia menatapku, dan kalau dilihat-lihat lagi, usianya tak jauh dariku. Mungkin dua atau tiga tahun lebih tua dari Talia. "Belajar dari mana?"

Rambut di leherku berdiri mendadak. Keceplosan! "Belajar di sini, sih, kebetulan," jawabku asal.

Pria itu rupanya mendengarku sejak tadi. Begitu beberapa orang lain naik kemari, dia menyampaikan apa yang kugumamkan. "Ersa yang bilang," katanya seakan bangga denganku padahal kami baru bertemu. Berkat ucapannya, semua kini memandangku dengan mata melebar. Mungkin yang ada di pikiran mereka, "Nggak heran, wong anak SMA bergengsi yang otaknya encer-encer."

Di tengah euforia tegang, ponselku bergetar lama di saku baju. Kupikir Illxa meneleponku sebab tak kunjung kembali setelah lima belas menit menghilang dari ruang BK. Nyatanya, yang kutemukan justru pemberitahuan dari aplikasi yang baru kudownload pagi ini; Clade.

[Event spesial!]
[Temukan titik merahmu kurang dari 15 menit dan jalankan misi rahasiamu!]

Saat notifikasi itu tersentuh oleh jemariku, sebuah maps besar langsung terpampang di layar, beserta titik berwarna merah dan tiga titik hijau yang menandakan posisi tiga pemain. Dua titik hijau itu berdekatan, menandakan Nusa dan Illxa masih tertahan di ruang BK, sementara titik satunya lagi terpisah yang menandakan diriku.

"Ersa, sekali lagi terima kasih bantuannya—meski agak aneh dibantu sama anak SMA," pria berseragam polisi tadi tersenyum seperti anak kecil yang baru mendapat permen. "Ersa boleh kembali ke ruang BK sekarang. Saya baru dapat informasi sekolah akan ditutup hari ini dan pemeriksaan TKP akan terus dilanjutkan."

Aku mengangguk, merasa tidak ada lagi yang bisa kulakukan di atas sini, lantas turun perlahan dan mendarat di tanah, di bawah tatapan beberapa pria bersarung tangan dan masker medis. Polisi itu tidak mengantarku ke ruang BK karena ada yang harus dia urus di atas. Saat berjalan sendirian di koridor kelas, huru-hara terdengar dari hampir semua kelas. Bahkan di tengah keramaian itu, kepalaku rasanya jauh lebih riuh dan padat.

Pembunuhan serapi itu, terbatasnya saksi mata, dan strategi penempatan korban ... si pembunuh jelas bisa melakukan lebih dari itu. Misalnya menyembunyikan jasad hingga tak teraba, seakan lenyap dari dunia tanpa ada yang sadar. Namun, dia tetap memilih meletakkannya di tandon sekolah menengah atas, seolah memang ingin kami menemukan mayatnya. Dari cara pembunuh memposisikan korban, menjebaknya mungkin, kenapa dia justru meninggalkan bercak ceroboh yang kutemukan di ujung dinding?

Pertanyaan yang sebenarnya, adalah alasan orang itu melakukannya. Siapa sebenarnya yang ingin dia kelabui? Motif pembunuhan pun nyaris tertutup sama sekali. Jonathan bukan tipe laki-laki yang suka mencari masalah sejak masuk SMA. Tiga tahun terakhir isi kepalanya hanya bola basket dan rumus fisika gerak parabola untuk menentukan keberhasilannya mencetak poin. Masalah asmaranya juga bisa dibilang mulus—iya, karena dia memang tak pernah punya pacar lagi setelah masuk SMA.

"Ersa!"

Aku menoleh cepat, mengenali jelas suara yang memanggilku barusan. Seorang lelaki membuntut di belakangnya, menyusul segera ke arahku. Kami bertemu di tengah lorong, dan aku masih diam saja saat Nusa mulai memasang wajah panik.

"Ini semua bukan gara-gara kita main Clade, 'kan?" pertanyaannya sukses membuat Illxa memukul bahu Nusa kuat-kuat. "Ya, aku panik aja. Wong abis aku login, tiba-tiba ada yang mati."

"Jonathan udah mati dari subuh, bah," timpalku menjajari langkah kami ke arah yang sama: kelas. "Fauzi kebetulan aja baru nemu pas-pasan kau login."

Illxa mendelik curiga padaku. "Kau tau dari mana?"

"Dari pada itu," kataku mengalihkan topik, "mending kita selesaikan quest baru Clade." Cepat kuraih ponselku dan membukanya sambil jalan. "Noh, masih ada sepuluh menit lagi. Titiknya juga deket banget, di dalem sekolah kayaknya."

Mereka berdua ikut membuka ponsel dan mengamati maps yang sama denganku. "Woh, bener. Ini ruang BK nggak, sih?" Nusa berhenti, menarik kami menepi agar tidak menghalangi jalanan. "Liat, ini kita sekarang, persegi yang lebar ini lapangan 1, sebelahnya yang kotak petak-petak itu ruang kayu, sebelahnya lagi cafetaria, lab biologi, terus ruang BK."

Kami bertiga menunduk, membuat lingkaran mengelilingi layar ponsel Nusa. Sekali lagi kulirik ponsel dalam genggaman, melihat jam dan beberapa notifikasi yang sengaja tak kubuka dari SMS. "Ayo, sebelum questnya habis!"

Sepakat denganku, kami berlari kecil membelah lapangan dan hangat sinar matahari pagi. Tidak perlu waktu lama, cukup beberapa detik kami menjangkau keramaian yang masih bertahan di depan ruang BK. Lorong-lorong khusus laboratorium tampak lebih lembab dan dingin dari pada lapangan, ditambah lagi lirikan beku beberapa pria kepala tiga yang menyadari kehadiran kami di ujung lorong lain.

"Kalau begitu, boleh saya pergi sekarang?" kata sosok itu dingin, enggan diganggu lagi. Di antara kami bertiga, tidak ada yang tidak mengenal guru itu. Sosok berperawakan tinggi jangkung, berwajah khas orang Batak dengan kulit putih dan kumis tipis itu adalah pembina ekskul SMAC.

Kenapa ada Pak Aldy di sini? Apa dia ikut diwawancarai?

Tidak ada orang yang mencegahnya pergi. Sosok itu berjalan santai ke arah kami kemudian berhenti beberapa langkah dari tiga orang siswanya (kami) yang mematung tolol. "Kalian kenapa masih di sini?"

Illxa yang menanggapi pertanyaan basa-basinya, sementara kepalaku masih dipenuhi pertanyaan. Raut wajah Pak Aldy memang seperti biasa di mata orang awam, tetapi hampir tiga tahun dibina olehnya membuatku hafal bahwa saat ini beliau sedang tidak senang hati dan khawatir.

"Bapak dipanggil karena hampir semua tersangka di sini anak SMAC," katanya, menumpukan berat tubuh di salah satu kaki. "Kalian kalau ada apa-apa, bilang ke saya. Nggak usah sok rahasia-rahasiaan, karena kalian semua saya yang nanggung."

Aku berusaha tersenyum manis dan mengangguk patuh. Sejak awal, memang tidak ada anak SMAC yang menyukainya. Sikap arogan dan sok pentingnya membuat kami muak meski beliau tidak pelit nilai di mata pelajaran seni budaya.

Pak Aldy bertanya beberapa hal terkait SMAC, mengingat sudah saatnya melepas jabatan anak kelas dua belas, juga projek akhir bulan depan. Terakhir, setelah dia menghabiskan lima menit waktu kami, Pak Aldy mengumumkan bahwa ekskul tidak akan jalan sebulan ke depan, setelah kejadian mayat Jonathan itu.

Saat punggungnya menjauhi kami, aku mendesis sebal, "Sok cool banget tu anak, mana buang-buang waktu." Tersisa lima menit lagi, meski memang waktu yang cukup banyak untuk jalan beberapa langkah saja menuju titik merah. "Ayo."

Pertama-tama, kami mengintip dari jendela ruang BK yang luarnya sepi. Polisi-polisi dan beberapa teman kami yang tadi dipanggil sudah bubar.

"Bagus, dah sepi." Nusa menegakkan tubuh, maju paling depan untuk memutar daun pintu. Kami masuk ke dalam, menyisakan hening menyerang. "Terus apa?"

Bertepatan dengan itu, ketiga ponsel kami bergetar bersamaan. Notifikasinya masuk pada detik yang menyeramkan. Aku berderap mendekati Illxa dan membuat lingkaran kecil di tengah ruangan. "Ini teka-teki?"

[Selamat! Titik Merah Ditemukan!]

Bawang Putih yang malang, dibutakan rasa iri terhadap kakaknya. Membalik fakta seakan Bawang Merah adalah sosok antagonis. Nyatanya, baik tidaknya seseorang tergantung dari siapa dia diceritakan.

[]

Misi Utama: Lengkapi Puzzle
Sub Misi: [Bawang Putih]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro