4. Benang Merah Dongeng Talia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Aduh! Kalian gagal menyelesaikan misi!]

[Nantikan titik merah selanjutnya untuk mendapat misi baru!]

Illxa bilang, akan berbahaya buat kami kalau sampai polisi tahu dari mulut sepasang remaja pulang sekolah. Maka dari itu, kami memutuskan pergi dari sungai detik itu juga, memasang sepatu, dan menyusul yang lain melakukan survei tempat pengambilan video.

Saat kami kembali, Reno dan Fauzi tampak seperti sahabat karib, berangkulan sambil tertawa. Aku mengernyit geli melihat mereka seperti pasangan belok di mataku.

"Buset, Er. Kau sama Illxa abis dari mana?" Sera menghampiri, masih ada sisa tawa dari nada suaranya. Anak itu memperhatikanku dari atas sampai bawah dan berakhir di rambutku lagi. "Sampe keringetan gitu?"

"Bikin curiga, sih," celetuk Reno, masih merangkul Fauzi.

Aku lupa sejak kapan mereka berbaikan. Setelah gosip tidak mengenakan tentang perkelahian mereka berdua semasa SMP dulu, belum pernah kulihat dua anak ini tampak begitu mesra. "Kau sama Fauzi yang bikin curiga. Belok ya?" Tudingku tidak terima, mengelap peluh di leher. Angin yang berembus membawa sensasi beku di kulitku.

Fauzi terkekeh dingin. "Sama dongo ini?" dengkusan keras itu lebih terdengar seperti merundung. "Najis."

Yang diejek tidak terima, kemudian melepas rangkulan itu dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya-entah anak itu masokis atau bagaimana. "Illxa, udah dapet angel kameranya?" Setelah mendapat anggukan dan acungan ibu jari, Reno melanjutkan. "Kalo gitu Ersa dah bisa kira-kira properti tambahan apa aja yang bakal dipake? Selain dari skrip, buat jaga-jaga kalo ada situasi yang nggak diinginkan."

Aku ikutan mengangkat ibu jari gugup. Semoga mereka tidak ada yang melirik sungai itu. Atau saat pengambilan video nanti kamera Illxa tidak menangkap sesuatu yang menyeramkan. Mayat misalnya.

Reno sibuk memanggil Alexa dan Nusa yang masih cuci mata dengan daun-daun juga golden hour yang menerpa gazebo. Kami kembali membahas film pendek yang akan menjadi kenang-kenangan terakhir angkatanku. Sesuai divisi, kami memiliki tugas masing-masing. Di antara kami, hanya aku yang bertugas di divisi perlengkapan, sisanya adik kelas yang jelas tidak bisa ikut sekarang. Divisi dokumentasi ada Illxa dan Nusa yang lihai mengambil gambar. Sera bekerja di bidang wardrobe, riasan-riasan dan sebagainya. Alexa dan Fauzi divisi aktris, dan Reno sebagai sutradara kali ini.

"Orang kayak dirimu cuma beruntung doang dapet muka ganteng. Nggak perlu usaha lebih buat nyusun skrip atau punya skill keren di satu bidang." Desisan itu membuatku tersadar dari lamunan. Reno tengah memandang Fauzi tak senang, tetapi bibir anak itu tetap tersenyum. "Yah, nggak salah sih kalo banyak cewek yang kelepek-kelepek liat dirimu. Kakaknya Ersa aja sampe gagal move on-"

Ucapannya terhenti, aku mendongak karena penasaran apa yang membuatnya membisu. Kini semua orang memandangku. "Apa?"

Sera orang pertama yang menyikut tulang rusuk Reno sambil melotot. "Stop ngomongin masa lalunya Ersa. Mulut anak ini emang nggak ada remnya."

"Ha! Kau aja yang iri nggak bisa dapet cewek secantik Talia!"

Suara BUG! renyah beserta ringisan terdengar bersamaan dari arah Fauzi. "Ni anak malah ikutan. Sudah kuduga tadi itu kalian senyum-senyum adem ayem sebelum badai." Alexa mengibas-ibaskan telapak tangannya yang merah sambil merengut. "Lagian, kau udah punya aku. Ngapain masih inget-inget cewek lain?"

"Wah wah, skandal apa ini?" Illxa menginterupsi, menyenggol-nyenggol lenganku dengan sikunya.

Benar juga. Di antara kami bertujuh, hanya Illxa yang tidak tahu kejadian asli di SMP kami dulu. Anak itu seperti penyusup di antara alumni teman SMP.

"Kau nggak tau?" Nusa pelan-pelan mendekati Illxa dari belakang, berbisik yang masih bisa kudengar karena bersebelahan dengannya. "Ersa sama kakaknya, Talia, itu cewek paling terkenal di SMP."

"Terkenal jalur open BO," kusuarakan itu keras-keras sambil bersedekap. "Talia kadang goblok kalo urusan cowok, sampe mau sama kau." Aku menyeringai jahat ke arah Fauzi. Namun, ketika melihat tatapan tak terima Alexa, aku cepat-cepat melanjutkan, "nggak maksud ngejelekin dirimu. Talianya aja yang tolol."

Illxa menyenggol lenganku. "Cewek cantik nggak boleh ngomong kasar." Anak itu ikutan menyeringai sambil sedikit menunduk karena perbedaan tinggi kami.

Kukibaskan tanganku tidak peduli. "Berhubung aku nggak cantik, terobos aja lah."

"Lagian gosipnya kan udah terbukti nggak bener, Er." Sera tetap membela, seolah dia yang direndahkan padahal itu adalah aku. "Maaf, jadi ngungkit-ngungkit almarhumah kakakmu."

Aku terdiam sejenak, lantas tersenyum. "Gapapa, dah biasa." Mereka tak perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Rahasia ini cukup berada di antara aku dan Illxa.

Balikpapan, Oktober 2020

Kematian seorang siswi di hutan kota Balikpapan kembali menggemparkan masyarakat setempat setelah kasus pembunuhan sehari sebelumnya. Korban dibunuh secara sadis dengan cara digantung menggunakan sebuah selendang pada sebuah batang pohon besar di atas sungai setelah beberapa bagian tubuhnya dimutilasi.

Belakangan diketahui korban Nacassey merupakan siswa sekolah menengah atas nomor satu se-Balikpapan yang aktif di beberapa ekstrakurikuler dan duta anti narkoba. Barang bukti berupa senjata tajam dan selendang merah yang digunakan mengeksekusi korban telah diamankan dari TKP dan sedang dalam proses penyelidikan.

"Saya datang sekitar jam 5, buka gerbang terus patroli kayak biasa dari pintu masuk terus ke gazebo utama. Pas muter ke pos lain, saya nyium bau aneh. Saya kira ada tikus atau kucing mati, waktu dicari-cari saya malah nemu kaki cewek masih pakai sepatu sekolah. Tinggal kakinya aja," ungkap Ponaji, satpam hutan kota Balikpapan. "Saya lari ke gerbang depan dari pos paling belakang, begitu sampai di pos yang dekat sungai, itu kayak ada yang gelantungan, pas saya nengok ke atas, yang sisa cuma badan sama kepalanya aja."

"Dari hasil penyidikan, belum diketahui motif sebenarnya dari pelaku membunuh korban. Terlalu abu-abu karena pelaku mengarahkan korban di tempat yang telah ditentukan," ucap Kapolres Balikpapan Kombes Hahadi Ketiga, Rabu.

Dilansir dari Pandom.com:v

Pintu rumahku diketuk kencang saat ruang makan sedang dihuni tiga manusia termasuk aku. Suaranya menggema tegas di langit-langit ruangan, nyaris membuat jantungku meloncat kaget. Ibu langsung ngacir ke ruang depan dan membukakan pintu.

Dari ruang makan, bisa kudengar percakapan serius dengan intonasi yang membutat bulu kudukku berdiri seketika. "Apa benar ini kediaman Naira Ersa?"

Jantungku sukses melompat, pun diriku dari bantalan kursi. Semua orang tahu, yang bicara dengan suara bariton tegas nan penuh wibawa seperti itu hanya seorang polisi.

Ayah mengangkat sebelah alis, menghentikan makannya di detik yang sama denganku. Begitu aku balik kanan hendak menyusul Ibu, Ayah mengekor dari belakang. "Ada urusan apa ya, Pak, dengan putri saya?" Baru kali ini aku bangga dengan Ayah yang tampak punya wibawa juga.

"Selamat malam, Pak. Saya minta waktunya sebentar untuk Naira yang berpotensi menjadi saksi pada sebuah kasus sore tadi." Mata Pak polisi itu melirikku. "Apa benar Naira berada di hutan kota pada pukul 4 sampai 5 sore tadi?"

Aku spontan mengangguk. "Betul, Pak. Saya di hutan kota sama teman untuk survey tempat pengambilan video ekstrakurikuler. Kalau boleh tahu, kasus apa, ya?" tanyaku pura-pura lupa. Semoga Pak polisi di depanku dan rekan-rekannya di belakang tidak curiga.

Pak polisi itu menjelaskan singkat tentang apa yang sudah kutahu: seorang jasad ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Kedua orang tuaku melongo, aku juga mau tidak mau ikut membelalakkan mata tidak percaya agar dianggap tak pernah mendengar kabar itu.

Namun, dari mana polisi tahu aku yang berkunjung ke sana-oh! Temannya Illxa! Ayahnya pasti menemukan mayat itu, anaknya memberi kesaksian Illxa dan enam temannya masuk ke hutan kota.

Polisi itu memintaku agar ikut dengan mereka. Ibuku panik, tetapi Ayah bilang aku tidak mungkin membunuh orang, jadi seharusnya aku hanya dimintai keterangan bersama yang lain. Mereka meminta agar dibolehkan ikut, tetapi ditolak karena aku dianggap sudah dewasa dan cukup membela diriku sendiri.

Aku berlari ke dalam untuk mengambil jaket dan ponsel, kemudian mengikuti tiga orang polisi berjalan menyusuri gang di bawah tatapan para tetangga, meninggalkan makan malamku yang belum habis. Ibu pasti harus menjelaskan panjang lebar agar anaknya tidak disangka pengedar narkoba. Jantungku berdebar-debar, takut semuanya akan terbongkar. Tentang Clade, Talia, dan semua teka-teki itu.

Sepanjang perjalanan di mobil polisi, benakku tak kunjung tenang. Mereka membawaku dalam senyap, tanpa basa-basi, dalam keheningan yang seolah lebih mengintimidasi. Kenapa mereka harus repot-repot membawaku ke kantor polisi? Bukankah cukup bertanya dan meminta kesaksian dariku di rumah? Atau jangan-jangan mereka sudah menemukan pembunuhnya? Apa yang lain sudah di sana?

Mobil tiba-tiba berhenti, kupikir kami sudah sampai, tetapi nyatanya dua orang polisi selain yang menyetir mobil itu turun. Aku melirik dari jendela, ini bukan kantor polisi, tetapi kantor kecamatan. Mereka berbicara sebentar dari jendela supir, sesuatu tentang garuda dan pancasila.

Aku tak begitu tertarik hingga Pak polisi itu menjalankan lagi mobilnya. Pertanyaan dalam benakku hampir semuanya terjawab kala mobil memasuki halaman parkir kantor polisi sepuluh menit kemudian. Pria kisaran kepala empat itu membukakanku pintu, memintaku mengikutinya ke dalam tanpa banyak bicara.

Dalam hening aku menganalisa kantor bernuansa krem biru ini. Jarang-jarang, bahkan mungkin ini pertama kalinya aku masuk ke kantor polisi setelah lima tahun terakhir. Meja-meja kayu cokelat senada dengan warna krem dinding, juga pintu-pintunya.

Terus kuikuti pria itu sampai kami berhenti di ujung lorong, dan aku menunggu dibukakan pintu. Dari dalam bisa kudengar percakapan yang sedikit emosional. Begitu kunci diputar dan pembatas di antara kami tersingkap, semua orang di dalam menoleh ke arahku. Kecuali sosok yang auranya tercium hendak baku hantam dengan lawan bicara di seberangnya.

"Bukannya itu dirimu sendiri?" Nada suaranya meninggi. Reno mengepalkan telapak tangannya, dia berdiri dengan posisi siaga seolah siap menerjang apapun di depannya. Aku langsung bergidik ngeri, merasakan tanda bahaya kalau mencoba ikut campur. "Kau yang dari dulu nggak suka Cassey, 'kan? Jangankan gitu, deh. Waktu di ruang BK juga kau ogah balesin Cassey."

Dua wanita berseragam polisi berusaha menenangkan para remaja yang kesabarannya setipis tisu dibagi dua dengan menahan lengan mereka dari belakang. Sementara seorang pria lain duduk mencatat sesuatu tak jauh dari mereka. Yang satu itu rasanya tidak asing di mataku.

Semuanya ada di sini. Tujuh orang termasuk aku yang tadi sore mengunjungi hutan kota dipanggil untuk dimintai kesaksian terkait kasus kematian Cassey-setidaknya begitulah yang kutangkap dari suasana canggung ini. Semua-kecuali Reno dan Fauzi-memilih duduk sambil berusaha menenangkan diri sendiri.

Polisi yang mengantarku ke sini membentak. Jantungku nyaris melompat lagi ikut terkejut. "Ini kantor polisi, kalau mau ribut sana di habitat masing-masing!" Semuanya bungkam, termasuk aku yang ada tepat di balik punggungnya. Setelah kondisi lebih kondusif, pria itu menoleh padaku. "Silakan, Naira Ersa. Ikuti arahan dua kakak di sana untuk dimintai keterangan."

Aku mengangguk patuh, takut duluan sebelum dibentak lagi. Tubuhku menyelinap ke balik pintu, melirik ke kursi kosong yang tersisa satu. Di sana Illxa melambaikan tangan, menyuruhku mendekat dengan wajah datarnya. Anak itu masih dibungkus hoodie hitam kesayangannya, dan helai-helai di kepalanya masih semerawut.

"Kau kelewatan killing part Reno sama Fauzi tadi," katanya setelah aku duduk tepat di sebelah kursinya. Sedikit tak kugubris dirinya dan menilai situasi lebih dulu.

Sera bergandengan tangan dengan Alexa di sudut lain, sementara Nusa menunduk di sisi lain Illxa dengan tangan bertaut di antara lutut. Mungkin ini belum giliran mereka, dan alasan kami dikumpulkan menjadi satu di sini, adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan kesaksian satu sama lain.

"Udah lama di sini?" tanyaku, sekali lagi melihat sekitar. Dua laki-laki serampangan itu kembali duduk di kursi masing-masing yang berada di tengah ruangan, cukup jauh dari kami.

Lelaki di sebelahku menggeleng. "Lima belas menit lalu kayaknya. Mereka orang pertama yang dimintai kesaksian sebagai ketua OSIS dan orang yang ngusul ke hutan kota." Illxa bersedekap dan bersandar pada sandaran kursi, membiarkan telapak tangannya tengelam dalam hoodie oversize kebanggaan. "Jangan sampe mereka tau tentang Clade," bisiknya dengan raut pura-pura menggodaku sambil menaik-turunkan alis.

Aku nyaris ingin memukul wajahnya, tetapi mengingat tempat ini adalah kantor polisi, aku hanya mengangkat jempol. "Emang killing part mereka ngapain?"

"Harusnya kau udah tau, sih. Tentang Reno sama Cassey pas masih SMP."

"Apa? Sejak kapan mereka punya hubungan?"

Illxa menggeleng kecil. "Bukan Cassey sama Reno yang punya hubungan. Tapi Reno, Cassey, sama sodara kembarnya."

Bibirku seketika membentuk lingkaran. Ingatan lamaku seketika timbul. "Iya, namanya Kaysha. Dia jadi korban yang hilang pas main Clade lima taun lalu. Dia pacarnya Reno waktu itu." Aku terdiam sejenak, berusaha menghubungkan antara pembunuhan Cassey dan Kaysha. "Pembunuhnya ngincer anggota keluarga?"

Dia menggeleng. "Belum ada yang tau, dan bukan itu killing part-nya." Illxa tersenyum kucing, meninggikan alis dan mencondongkan badannya padaku. "Coba tebak apa?"

"Apa?" Aku meringsut mundur sedikit, menjauhinya.

"Sebenernya Kaysha nggak mati dibunuh dari Clade." Dia melebarkan mata, kemudian duduk seperti semula masih sambil bersedekap. "Reno mengakuinya. Kalo Cassey yang membunuh sodaranya sendiri." Pandangan anak itu tampak santai melihat dua punggung yang membelakangi kami dari sini.

Keningku mengernyit. "Mana bisa?" desisku tak terima. "Kaysha hilang pas istirahat ke-dua, dan nggak balik sampe pulang sekolah, terus mayatnya ditemuin di hutan kota nggak lama abis pulang sekolah. Aku sama Cassey sekelas waktu kelas 7, dan dia nggak ke mana-mana."

Ingatanku tak mungkin salah. Hari itu aku ingat jelas Cassey membullyku secara verbal habis-habisan di jam kosong. "Pelacur kayak kamu nggak pantes hidup!" begitu katanya lima tahun lalu. Kata-kata itu masih membekas dan menggema di kepalaku setiap melihatnya melintas. Semenjak masuk SMA, Cassey berhenti merundungku. Kami berteman seperti kejadian itu tidak pernah ada di antara masa muda kami.

Mengingat hal itu, ujung mataku seketika melirik Alexa. Gadis modis di ujung sana juga pernah melakukan hal yang sama denganku. Meski terkesan lebih baik ketimbang apa yang dilakukan Cassey padaku, tetapi tidak menutupi fakta bahwa dia pernah menjadi sahabat Talia, dan itu lebih jahat lagi. Aku mengetahui fakta ini diam-diam, bahwa kedua sahabat itu menyukai orang yang sama: Fauzi. Padahal aku tidak melihat pesona atau bagusnya di mana anak itu. Ketika Talia dinyatakan meninggal, Alexa seolah merebut Fauzi darinya.

Sera nyaris menjadi satu-satunya anak perempuan yang tidak mau ikut mengata-ngataiku selama kami sekelas. Dia hanya ikut menjauh, tetapi tak jarang dia mau berkomunikasi denganku secara baik-baik. Sera menyukai novel sepertiku, kami sering sembunyi-sembunyi bertukar cerita dongeng di bagian belakang perpustakaan.

Cerita dongeng ... setelah dipikir-pikir lagi, ada yang aneh mengenai clue cerita dongeng dari Clade dan kasus yang terjadi-

"Er?"

Aku menoleh cepat, menyadari Nusa menotol lenganku dari seberang Illxa. "Apa?"

"Serin Naura, Alexa Putri, silakan." Suara salah satu wanita itu menggema tegas di langit-langit ruangan. Yang dipanggil terpanjat, sedikit gemetar untuk maju.

Dua gadis itu bertukar posisi dengan Fauzi dan Reno. Meski duduk bersebelahan, bisa kurasakan aura ingin membunuh di antara mereka.

"Kau ngerasa nggak, sih?" Nusa melanjutkan. "Kalo dendamnya Cassey sama Kaysha mirip Bawang Merah Bawang Putih?"

Aku menjentikkan jari pelan, nyaris tak berbunyi. "Itu, Bung!" Kucondongkan tubuhku ke arahnya, menjadikan Illxa sebagai pusat bisik-bisik kami. "Clue kali ini, nggak tau gimana caranya, bisa berhubungan banget sama masa lalu mereka."

"Aneh nggak, sih? Masa game kayak gini bisa tau masa lalu orang? Lagian itu udah lama banget dari kita kelas tujuh."

"Ekhem."

Aku dan Nusa mendongak bersamaan. Illxa memasang wajah masam. Kami baru ingat Illxa tidak tahu apa-apa tentang masa SMP kami karena berasal dari sekolah yang berbeda.

"Jangan di sini," dia melanjutkan dengan ekspresi datar yang seakan tidak senang. Tatapan matanya tertuju ke depan dingin.

Kami mengikutinya. Menegakkan punggung dan duduk senormal mungkin. Nah, jeleknya, kalau sudah mulutku diam begini, kepalaku yang berisik di dalam.

Apa maksudnya Talia mengirimiku pesan seperti itu? Kalau dia masih hidup, kenapa dia tidak menangkap langsung pembunuhnya alih-alih menjebakku dalam kasus pembunuhan. Talia tahu siapa korban selanjutnya, tetapi milih mengirim kode lewat Clade dan menyuruhku mencari mayatnya. Apa yang sebenarnya anak itu mau?

[]

Misi Utama: Lengkapi Puzzle
Sub Misi: [-]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro