5. Tentang Lima Tahun Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lima tahun lalu, nama Naira Ersa masih diberi label murid baik-baik. Aku lebih pendiam dan tertutup ketimbang Talia. Sebuah perbedaan yang begitu mencolok di antara kami, adalah sifat yang sangat bertentangan. Talia sosok periang, murah senyum, ramah, tomboi, dan cerdas. Sementara diriku sosok pendiam, membenci keributan, cenderung menghindari suasana sosial, dan lebih feminim. Gambaran ini membuatku menjadi versi perempuan dari Talia.

Lima tahun lalu, aku mendapatkan akses menuju kedewasaan yang semua gadis pasti dapatkan. Hormon bertumbuh cepat dan aku tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Mari bicara secara terang-terangan bahwa bentuk tubuh remaja yang baru saja balig bisa tumbuh pesat, dan untuk perempuan khususnya, bentuk jam pasir itu sangat umum terjadi.

Lima tahun lalu, saat semua isi kepala remaja adalah kecantikan dan popularitas di sekolah, aku menjadi korban. Baru-baru saja kusadari bahwa diriku versi SMP jauh lebih cantik ketimbang diriku saat ini. Naira Ersa yang feminim dan manis itu sudah hilang setelah gosip abadi antara diriku dan salah satu orang yang sudah meninggal saat ini.

Lima tahun lalu, sekelompok remaja yang mengaku paling populer seantero SMP, merundungku habis-habisan. Tidak ada orang yang menyukai cewek kalem, cantik, dan memiliki bentuk tubuh bagus sepertiku lima tahun lalu. Maka, dibuatlah rencana jahat untuk menyingkirkan diriku.

Lima tahun lalu, di gudang marching band, aku dijebak. Panggilan dari toa sekolah menyerukan namaku agar segera datang ke sana, tetapi yang kudapatkan justru siswa laki-laki yang paling banyak disukai anak perempuan. Penampilannya tak keruan dengan celana dan baju seragam yang nyaris lepas seutuhnya dari badan. Waktu itu aku bertanya, siapa yang melakukan ini padanya, tetapi tangannya keburu mendekapku. Kakinya melingkar di pinggangku dan dia mulai berteriak kesurupan.

Lima tahun lalu, aku berhasil lolos dari jeratan anak laki-laki paling ganteng di SMP dan berlari menghampiri pintu karena takut. Seperti di film horor, pintu tidak mau terbuka dan suasana semakin gelap di dalam menjelang petang. Anak laki-laki yang tidak mau kuingat lagi namanya itu menghampiriku dan memeluk tubuhku dari belakang. Pakaiannya nyaris tanggal seutuhnya, sementara jemari kotor itu berusaha melepas dasi biru milikku.

Lima tahun lalu, aku sekali lagi meronta. Anak laki-laki itu membalik tubuhku agar menghadapnya dengan kasar, kemudian membekap mulutku dengan telapak tangannya agar tidak menjerit. Kepalanya mendekati telingaku dan berbisik dengan suara sejahat Fir'aun sebelum tenggelam. Kami jatuh berdebum di lantai dengan tubuhku di atasnya.

Lima tahun lalu, pintu gudang marching band dibuka oleh sosok guru yang kukira malaikat. Wanita itu nyaris mengeluarkan bola matanya melihatku. Dalam hati, aku sungguh berterima kasih beliau datang dengan harapan aku bisa disingkirkan dari laki-laki gila itu. Namun, di manapun berada, bagaimanapun kondisinya, seberapa besar usaha agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, perempuan akan selalu salah.

Lima tahun lalu, aku dipanggil ke ruang kepala sekolah bersama anak laki-laki paling ganteng tadi yang sedang menangis tersedu-sedu. Mereka bertanya apa yang kulakukan di gudang itu, dan aku menjawab sebagaimana adanya. Si anak laki-laki menyanggah bahwa aku sengaja ke sana untuk menemuinya karena sudah berjanji. Dia menyatakan bahwa aku melakukan kekerasan seksual padanya, dan semua orang percaya dengan bajunya yang nyaris tanggal sempurna saat ditemukan bersamaku.

Lima tahun lalu, surat panggilan pertama orang tua jatuh padaku. Ibu dan Ayah tidak percaya pada apa yang kulakukan, demikian pula Talia. Kami sekeluarga datang dan menghadap kepala sekolah. Surat drop out menyusul beberapa menit kemudian yang membuat air mataku nyaris membuat sungai Mahakam tambah panjang.

Lima tahun lalu, tidak ada yang menyangka bahwa sosok anak laki-laki lain akan datang dan membantuku keluar dari masalah ini. Nusa datang dengan kacamatanya yang lebih tipis dari saat ini. Anak itu memberikan kesaksian bahwa dia mendengar panggilan dari toa yang menyerukan namaku, memberitahu bahwa aku adalah korban sebenarnya di sini. Buktinya ada pada si anak paling ganteng seantero sekolah. Dia memiliki kunci gudang marching band yang seharusnya hanya dimiliki Nusa dan ketua marching band.

Lima tahun lalu, surat drop out itu hangus dan aku dibebaskan tanpa syarat, sementara si anak paling ganteng seantero sekolah itu menghilang. Semua orang mulai membicarakanku sebagai gadis yang rela menjual tubuh demi laki-laki tampan. Talia bilang, anjing memang suka menggonggong sendiri, tetapi aku adalah manusia yang membenci anjing karena pernah dikejar dan digigit olehnya.

Lima tahun lalu, kekasih si anak paling ganteng mulai merundungku habis-habisan. Ikat rambut yang diberi Talia dan rambutku yang sudah ditata rapi, dijambak tanpa belas kasih. Tidak ada yang berani menolongku, apalagi melawan sekelompok remaja paling populer di SMP. Semua orang memilih menghindar dari pada terseret masalah bersamaku. Aku sempat mogok sekolah beberapa minggu karena takut diganggu lagi. Aku sempat membenci anak laki-laki dan nyaris takut kepada Ayah seandainya Ibu tidak sabar menghadapiku dan mendengarkan semua ucapanku tentang yang sebenarnya terjadi.

Lima tahun lalu, Nusa menjadi satu-satunya teman yang masih mau bicara padaku. Aku sempat takut berada di sekelilingnya akan berdampak buruk pada Nusa, tetapi anak itu mungkin terlalu iba padaku. Dia dan Talia yang menyarankanku untuk menggunakan korset dada dan aku menuruti mereka hingga saat ini.

Lima tahun lalu, tidak ada anak gadis yang berani bicara padaku. Aku juga masih benci kepada laki-laki kecuali Nusa yang sudah membantuku. Jadi, sempurnalah sudah diriku menjadi gadis yang terisolasi. Talia menyeretku untuk masuk dalam ekstrakurikuler kepramukaan yang berisi kakak kelas delapan baik hati.

Lima tahun lalu, adalah kali pertama aku bertemu Illxa sebagai ketua diktator yang tak segan memarahi kakak kelas di regunya. Aku belajar banyak dari Talia. Tentang membela diri, menghadapi situasi seperti dulu, cara membanting anak laki-laki, sampai simpul-simpul kepramukaan.

Lima tahun lalu, aku berusaha baik-baik saja dengan diriku sendiri. Talia, Nusa, dan anggota kepramukaan sudah lebih dari cukup untuk menemaniku. Namun, tidak ada kebahagiaan yang bertahan lama.

Lima tahun lalu, bahkan temanku yang menjadi sahabat Talia ikut menjauh karena laki-laki. Alexa mulai tidak suka pada Talia karena kakakku mendapatkan sosok pujaan hatinya: Fauzi.

Lima tahun lalu, sebuah permainan rilis dan laku keras di pasaran. Hampir semua orang memainkannya, jadi Talia mengajakku bermain, hanya berdua. Saat itu kami tidak tahu ada bahaya yang mengintai dari balik dinding sekolah menengah pertama kami.

Lima tahun lalu, si anak paling ganteng seantero sekolah ditemukan tewas di pesisir pantai dekat sekolah. Jasadnya tersangkut di antara batu pemecah gelombang dengan seragam SMP kami yang khas. Berita itu sukses membuat para gadis menangis, terutama kekasihnya. Publik dikagetkan dengan maraknya kasus pembunuhan misterius dengan korban yang diketahui terakhir kali sedang memainkan game bernama CLADE.

Lima tahun lalu, pembantaian besar-besaran menyerang Indonesia. Banyak masyarakat dari Sabang sampai Merauke diculik, jasadnya ditemukan beberapa hari, bahkan beberapa bulan kemudian di tempat titik merah game CLADE berada. Nyaris seluruh anggota kelompok remaja paling populer di sekolah ikut menghilang. Sekitar seperempat siswa di SMPku menjadi korban game itu. Termasuk Talia.

Lima tahun lalu, aku mengikuti Talia ke hutan milik Pertamina, tersesat hingga tiba di hutan kota milik pemerintah. Napasku tersengal menjajari langkahnya. Sedetik saja meleng, Talia menghilang. Aku mencoba berlari lebih cepat lagi saat itu, menyerukan nama Talia keras-keras tanpa balasan dari sang empunya nama.

Lima tahun lalu, aku bukan gadis bodoh yang tidak tahu bahwa genangan di bawah kakiku adalah darah. Ikat rambut toska kesukaan Talia mengapung di antaranya.

Lima tahun lalu, dengan derai sesenggukan, aku berlari pulang menerjang hujan. Membawa kabar bahwa satu-satunya kakakku sudah lenyap selamanya.

Illxa benar-benar menyimak semua kata-kataku selama sisa sesi Nora dan Sera. "Bukan salahmu, Bung." Dia mengambil napas panjang, melirik ke bawah seakan dia tahu persis masalahku. "Yah, seenggaknya kau kudu berterima kasih sama aku yang udah bikin semua anak cowok nggak deketin dirimu."

"Iya, tapi kau yang bikin aku depresi," ketusku.

Sesi terakhir adalah milikku, Illxa, dan Nusa. Tiga orang. Illxa dan Nusa dengan dua kakak perempuan, maka aku ditarik oleh polisi pria yang sejak tadi menulis sesuatu di mejanya sendiri. Saat aku mendekat, wajahnya seperti tidak asing di mataku.

Pria itu mendongak dari dokumen-dokumennya, kemudian raut seriusnya berubah ceria sepersekian detik. "Naira Ersa, ya." Polisi itu tersenyum manis, bukan senyum om-om yang sedang memandangi gadis cantik, tetapi senyum yang benar-benar senang.

Aku bahkan lupa siapa orang ini meski wajahnya familiar. "Iya, Om."

Dia berdecak, menutup dokumennya dan fokus padaku. Tangannya terulur, mengajakku bersalaman. "Zulkifli Hasan. Jangan panggil Om, kita cuma beda tiga tahun."

Kusambut uluran tangannya. "Oke ... Zul?" Sedikit canggung saat dirimu harus berjabat tangan dengan sosok yang sering dituduh pecinta anak gadis (polisi muda di sini sering dituduh demikian). Lagi, kupikir pendidikan polisi harus empat tahun. Bagaimana bisa dia hanya lebih tua tiga tahun dariku yang duduk di akhir kelas 12?

"Kipli, Jul, Zul, Zulfi, Hasan, terserah." Dia menurunkan tangan, beralih dengan tatapan yang lebih serius. "Nah, kali ini kau terlibat kasus apa lagi, Naira?"

Kugaruk pipiku meski tidak gatal. "Kupikir semua orang di sini sudah tahu." Ini konyol, bagaimana bisa dia memperlakukanku seperti adiknya sendiri? Memanggilku dengan nama Naira ketimbang Ersa.

Zulfi menarik map paling bawah, membukanya di antara kami. "Oke, di mana dirimu waktu tengah hari tadi?"

"Di kelas."

Dia lagi-lagi terdiam sejenak. "Kau tau mayat itu ada di sana?"

Aku menggeleng. "Kalau tau, aku pasti sudah lari dan teriak-teriak." Kepalaku berpikir ratusan kali, memastikan bahwa itu adalah jawaban aman dan tidak berpotensi dicurigai pernah melihat korban.

"Tapi kau nggak lari waktu di tandon kemarin?"

Kuangkat kedua bahuku. "Banyak orang, dan tahunya nggak bikin kaget."

Selanjutnya Zulfi memintaku menjelaskan kronologi bagaimana kami bisa tiba di hutan kota. Kubilang kami sedang survey tempat untuk pengambilan video, itu tidak bohong. Kemudian aku turun ke arah lain bersama Illxa. Itu juga tidak bohong. Lalu kami bertujuh berkumpul di gazebo utama dan pulang bersama. Semua tampak tidak ada yang mencurigakan, tetapi mengingat kami bertujuh adalah satu-satunya rombongan pengunjung hari ini, mau tidak mau semua yang kami bicarakan saat ini menjadi bukti yang sangat penting.

Zulfi kembali menanyakan beberapa hal padaku. Tentang apakah ada sesuatu yang mencurigakan dan sebagainya. Aku kembali menjawab seadanya, seolah aku berada pada posisi lima orang lain yang tidak bersama Illxa.

"Memang gimana hasil autopsi korban?" Aku bertanya penasaran. Ini sekitar pukul sembilan malam, kalau dihitung dari kami pergi dan berita dari Pandom.com:v itu muncul, artinya hanya butuh waktu tiga jam memeriksa mayat. Seharusnya sudah keluar satu jam lalu.

"Kemungkinan korban meninggal sekitar tengah malam sampai subuh hari ini. Tangan dan kakinya dimutilasi saat dia masih hidup, terus dibiarkan hingga mati tercekik dan kehabisan darah."

Bulu kudukku berdiri seketika. Kurapatkan jaketku sambil menunduk. "Kalo dia masih pake seragam PSL, berarti dia nggak pulang dari Selasa kemarin. Kalo waktu meninggalnya tengah malem, sementara Cassey hilang sejak pulang sekolah ... kenapa pembunuhnya harus nunggu beberapa jam buat ngebunuh Cassey?"

"Tim penyidik juga lagi nyari petunjuk dan motif apa yang menyebabkan pembunuhan." Merasa dipandang dengan kedua matanya, aku mendongak. Zulfi melanjutkan, "Tau dari mana mayat masih pake seragam PSL?"

ADUH! Padahal aku yakin sudah bisik-bisik sendiri! Bagaimana dia bisa mendengarku bergumam?!

Aku memandangnya beberapa detik, kemudian sadar bahwa dia adalah pria yang sama yang meminta keterangan dariku saat di sekolah kemarin. Dia yang memberiku akses melihat jasad Jonathan di tandon. "Habisnya Cassey nggak pulang dari kemarin sore. Orang tuanya bahkan nyariin. Kalo dia emang nggak pulang ke rumah, berarti dia kemungkinan besar masih pake seragam sekolah hari Selasa." Itu jawaban bernalar yang benar, 'kan?

Kami terdiam masing-masing, memandang satu sama lain dengan heran. Aku memelototi keningnya yang mulus, bertanya dalam hati sabun cuci muka apa yang pria itu pakai.

"Naira nggak inget kita pernah ketemu sebelumnya?"

Kugelengkan kepalaku mantap. "Kecuali maksudnya kemarin Selasa di ruang BK." Aku tidak pernah ingat punya kenalan seorang polisi, atau aparatur sipil negara.

Dia mengempaskan punggungnya, memainkan ujung pulpen di bawah bibirnya sambil berpikir. "Harusnya aku nggak salah orang." Itu percakapan santai terakhir kami. Setelahnya Zulfi memintaku untuk menjelaskan sedikit lagi tentang kronologinya, apakah aku mengenal kawasan itu dengan baik, dan bagaimana jalur belakang hutan yang terhubung dengan Pertamina.

Dalam diam, aku kembali berpikir. Apakah yang Zulfi lihat waktu itu bukan aku, tetapi Talia? Kami memiliki wajah yang cukup mirip. Talia lebih lonjong seperti Ayah, sementara aku mewarisi wajah bulat Ibu. Perbedaan seperti itu tidak akan disadari orang yang baru mengenal kami.

Sesi interogasi selesai, dua kakak polwan itu memberi kami sedikit arahan, beberapa peringatan dan larangan. Semuanya masuk ke telinga kanan dan meluncur dari telinga kiriku begitu saja. Kepalaku sedang dipenuhi ribuan pertanyaan yang tak kunjung kudapat jawabannya. Aku memasang wajah serius seperti yang lain seolah mendengarkan padahal tidak. Aku mengangguk saat mereka mengangguk, dan ikut bubar saat kami dipersilakan pulang.

Illxa langsung menyambar tanganku dan Nusa segera setelah keluar dari pintu utama kantor polisi. "Kita masih harus rapat," katanya setengah serius.

Nusa segera mengamini, dan aku membuka ponsel untuk mengabari orang di rumah bahwa anak gadis mereka akan pulang sedikit terlambat. Sejak masuk SMA, Ibu dan Ayah sedikit melonggarkan jam pulang malamku hingga jam sebelas malam. Itu hal paling membanggakan mengingat selama ini aku selalu patuh duduk manis di rumah.

Kami menetapkan taman Bekapai yang tak jauh dari kantor polisi untuk berdiskusi. Sekitar sudah sepi, pedagang kaki lima mulai menggulung spanduk dan angkat kaki dari trotoar jalan. Illxa menarik kami ke salah satu bangku yang langsung menatap air mancur mati.

"Menurutmu," Nusa meletakkan pantat di sebelahku, mengembuskan napas berat yang sejak tadi dia tahan di kantor polisi, "Talia betulan masih hidup?" Beberapa detik anak itu terdiam, kemudian sadar dengan apa yang dia ucapkan. "Bukan maksudku mau ngingetin dirimu sama kakakmu, Er. Dari dulu kau selalu percaya kalo Talia masih hidup. Dan sekarang, bukan sulap bukan sihir, teka-teki yang dikasih dari game Clade malah kesannya mirip sama cerita kita waktu SMP."

"Bener. Aku juga ngerasa kayak gitu," kataku sambil menunduk. Aku tidak memberitahu Nusa tentang SMS yang masuk ke nomorku. Hanya Illxa yang tahu, dan sekarang anaknya paham maksudku untuk tidak mengatakan hal itu pada Nusa.

Illxa mengamini di sebelah Nusa yang berada di tengah kami. "Kalo emang ceritanya kayak yang kau bilang, dan apa yang diomongin Reno di kantor polisi itu bener, Bawang Putih dan Bawang Merah itu lebih cenderung ke arah Cassey sama Kaysha."

"Aku kepikiran ini dari awal, kalo semuanya berhubungan sama cerita kita waktu SMP. Tapi aku nyangka kalo Bawang Putih itu Ersa atau Talia." Jemari Nusa memainkan ujung lengan kemejanya. Sesekali dia memperbaiki posisi kacamatanya dengan dua jari. "Tapi jujur aku kaget banget sama yang dibilang Reno."

Jangankan mereka. Aku yang mendengarnya dari Illxa saja ikut merinding. Hubungan saudara kembar itu tidak semulus kelihatannya. Cassey dan Kaysha hanya terlihat akrab di muka publik, kenyataannya mereka hanya seperti boneka di rumah mainan. Ketika waktu bermain berakhir, permainan mereka yang sesungguhnya baru saja dimulai. Itu kabar burung yang hanya satu kali melintas di telingaku, bahwa kakak beradik itu menyimpan dendam yang lebih dalam dari samudera.

Baik tidaknya seseorang, tergantung dari sudut pandang siapa dia diceritakan.

Bagiku, Cassey yang masih dilabeli siswi SMP, membunuh saudarinya sendiri di tengah istirahat ke-dua, itu tidak masuk akal. Kecuali anak itu menyewa pembunuh bayaran dan dia hanya tinggal menjebak Kaysha ke lokasi yang sudah ditentukan. Namun, tetap saja. Sebesar apapun kebencian sesama saudara, mentok-mentok cuma menjahili mematikan lampu saat yang lain ada di kamar mandi sambil menyalakan suara kuntilanak.

"Pembunuhnya lebih ngeri," celetuk Illxa asal. "Untuk apa Cassey dimutilasi kalo nemuin potongan badan yang lain segampang nyari uban nenek-nenek? Biasanya pembunuh mau repot-repot motong badan korban biar susah diidentifikasi dan mempersulit pencarian. Tapi ini?"

Cassey dibunuh setelah anggota geraknya dipereteli. Perlu dicatat kalau memutuskan tulang dan sendi manusia tidak semudah makan sayap ayam goreng. Bahkan dengan kapak biasa pun, mematahkan kerangka itu sangat sulit. Memotong sapi saat hari raya kurban misalnya.

"Cuma psikopat yang nyiksa korbannya kayak gitu." Kedua tangan Nusa memeluk dirinya sendiri. "Kita perlu satu kali pembuktian lagi buat mastiin kalo teka-teki dari Clade ini emang beneran dari cerita kita waktu SMP. Dan kalo emang bener, itu artinya orang yang bikin teka-teki ini, bahkan kemungkinan pembunuhnya sendiri, berasal dari SMP yang sama—"

"Kau curiga sama kakaknya Ersa, 'kan?" Kalimat Illxa sukses membuat Nusa menahan suaranya. "Gimanapun, semua orang mikir kakak yang adeknya pernah dijadiin bahan bullyan sama temennya pasti nggak akan tinggal diem. Tapi dilihat dari sikap Ersa, kemungkinan kakaknya bakal diem aja dan ngebantu adeknya secara emosional. Ini bukan cerita laga yang kakaknya bisa bales dendam seenak jidat. Talia pasti punya perhitungan waktu itu. Dia setahun lebih tua dari kita."

Aku tidak tahu harus berkata apa, tetapi Illxa benar seratus persen tentang Talia. Dia hanya membantu menenangkanku karena Talia tahu meskipun kami melawan, dua orang banding seangkatan itu jelas kalah jumlah. Mencari pengakuan pun tak berguna.

Intinya di sini, kami akan melihat clue Clade sekali lagi untuk memastikan pola dari tiap clue setelahnya.

"Lagian, aku nggak liat korelasi Talia dendam sama Cassey," Illxa menambahkan. "Yang bikin penasaran justru Reno. Dia tau Kaysha dibunuh sama sodaranya sendiri, tapi kenapa baru ngaku sekarang? Setelah pelakunya meninggal secara tragis."

"Ini cuma masalah kisah cinta anak SMP yang alay," kataku pada akhirnya. "Aku malu kalo bilang ini, tapi agaknya bakal berguna.

"Dari awal masuk SMP, Reno naksir aku duluan. Jangan ketawa! Nah, setelah dia liat Talia yang kayak bidadari kesiangan, targetnya berubah. Sayangnya dia kalah cepet sama Fauzi, jadilah anak itu patah hati dan melarikan diri ke Kaysha. Talia cerita semuanya ke aku dari gosip-gosip temennya. Selama Kaysha pacaran sama Reno, saudarinya cemburu buta. Cassey ngerebut Reno, Alexa ngerebut Fauzi, dan cewek yang cowoknya direbut langsung mati."

Klise memang, tetapi hubungan anak SMP apa yang kau harapkan? Pulang sekolah naik motor gede sambil pamer paha dan pacar? Ini bukan cerita fiksi remaja romansa yang mempermasalahkan perjodohan paksa tidak masuk akal.

Diamnya Nusa mengklarifikasi pernyataanku, sementar Illxa nyaris menyembur tawa. "Untung di SMPku nggak kayak gitu. Dan masalah Reno naksir Ersa? Matanya nggak minus?"

Aku melotot tidak terima. "Aku emang cantik, makasih. Dia, mah, yang minus akhlaknya."

"Yah, tetep aja aku nggak ngeliat korelasi Talia sama Cassey dan Reno." Illxa mengangkat bahu.

Nusa menaikkan lagi kacamatanya dengan telunjuk dan jari tengah. Kembali mendekap tubuhnya di tengah dinginnya udara malam.

Jeda sejenak, kami lelah berpikir. Merasa buntu dengan clue yang diberikan hanya sebatas itu.

"Kau udah liat grup alumni, Er?" Kali ini Nusa yang menceletuk. Illxa sampai melongokkan kepala penasaran ke arah layar ponsel Nusa.

Berkatnya, aku jadi membuka ponsel dan menangkap notifikasi yang kubisukan dari grup kelas semasa SMP. Beratus-ratus bubble chat dari para orang penting dan warga kelas yang lain. Kubaca semuanya secara cepat dan singkat dengan mengabaikan emoji-emoji tak penting.

Kesimpulan yang bisa kuambil: besok, sepulang sekolah, akan diadakan acara melayat ke rumah almarhumah Cassey. Berita itu ternyata menyebar dengan cepat.

"Aku nggak mau dateng," putusku cepat, memasukkan lagi ponsel ke dalam saku jaketku. Dalam kepalaku, sudah terbayang skenario di mana semua orang-orang yang pernah mengenal Cassey selama SMP akan berkumpul. Mereka akan memandangku dengan cara pandang yang berbeda. Dan meski tak lagi melontarkan kata-kata ejekan, aku tetap membenci tatapan mereka.

Nusa juga paham apa alasannya. "Nanti kuwakilin. Mau nitip amplop nggak?"

Aku mengangguk cepat. "Pulang sekolah kukasih." Kuangkat pantatku dari kursi besi taman yang mulai terasa menyiksa. "Nah, sekarang ayo pulang sebelum besok kita terlambat bangun."

Nusa dan Illxa ikut bangkit dan merenggangkan tubuh, tanda setuju padaku untuk segera pulang. Diskusi kali ini cukup sampai di sini saja. Menyerahkan kasus ini pada pihak berwajib terdengar lebih mudah ketimbang harus mengerjakannya sendiri, tetapi mereka tidak akan tahu apa jawaban dari teka-teki itu kalau memang berhubungan dengan masa SMP kami. Illxa setuju membantuku dengan semua permainan ini dengan satu syarat. Sementara Nusa ... anak itu jelas menyembunyikan sesuatu.

Memikirkan hal itu, tanpa sadar aku melirik ke arahnya. Dia terus memperbaiki posisi kacamatanya sejak tadi, gelagat yang cukup aneh. Normalnya, orang yang tidak tahu kasus apa yang dihadapinya akan meminta perlindungan pada polisi. Namun, Nusa tidak menunjukkan tanda-tanda akan melaporkan clue dari Clade. Kalau anaknya tidak melakukan hal itu, artinya memang ada sesuatu yang dia sembunyikan.

Menyadari tatapanku, Nusa menoleh. "Kenapa, Er?"

Aku menggeleng pelan. "Tiba-tiba kepikiran, kok bisa rambutmu tambah ikal."

Yang masih mengganggu pikiranku, hal apa yang dia sembunyikan sampai sebegitunya. Apa yang harus dia lindungi, rahasia apa?

[]

Misi Utama: Lengkapi Puzzle
Sub Misi: [-]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro