6. Topeng Gagak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku bangun pagi-pagi buta setelah mimpi dikejar kertas ulangan kimia yang menggumpal membentuk seonggok mayat berjalan. Itu awalan yang lumayan jelek, mengingat hari ini beberapa orang akan ikut melayat ke rumah Cassey. Mimpi itu kesannya seperti aku sedang lari dari kenyataan.

Dan itu memang benar.

Hari ini ada ulangan harian kimia, dan aku mencoba untuk tidak mengingatnya sejak kemarin lusa. Alasannya karena; satu, aku tidak mengerti materinya; dua, karena gurunya setengah wibu; terakhir, aku tidak suka kimia. Jadi, aku berangkat ke sekolah dengan jampi-jampi sepanjang perjalanan, semoga bapaknya dapat uang kaget pagi ini dan ulangan kimia itu dibatalkan.

Atmosfer persaingan sengit menguar di langit-langit kelas begitu aku masuk. Beberapa anak perempuan duduk membentuk lingkaran dan membahas latihan soal yang pernah diberikan. Anak laki-laki termasuk Alam dan Illxa berbanding terbalik dengan contoh sebelumnya. Mereka benar-benar menikmati tahun terakhir SMA dengan main-main, bukannya membakar kepala dengan singkatan SNM dan SBM.

Kuletakkan tasku di kursi dan mulai duduk malas sambil menyisipkan kepala pada lipatan lengan di atas meja. Semalam, Ayah menjemputku nyaris pukul sebelas, dan sekarang aku masih mengantuk. Jangan samakan aku dengan anak remaja rata-rata, aku tidak pernah menyukai tidur larut malam karena itu berarti aku harus patroli keliling rumah dan mengunci semua pintu dan jendela.

"Bung, masih pagi dan kau udah rebahan?"

Tanpa mengubah posisi nyaman, aku mendengkus, "Cerewet kau, bangunin kalo ada guru."

Pemilik suara itu menggeret kursi di belakangku dan duduk. Beberapa detik kemudian, sesuatu menotol-notol punggungku. "Er, kau nggak belajar kimia?"

Aku berdeham sebagai jawaban. Astaga, anak ini tidak bisakah tidak menggangguku sebentar? Hargailah lima belas menit yang berharga sebelum pelajaran dimulai.

"Mending nanti pulang sekolah ikut Sera ke rumah Cassey," usulnya. Kurasakan rambutku bergerak sendiri, dan itu sudah pasti pekerjaan Illxa. Tak kunjung mendapat responsku, Illxa kembali membelai pelan kepala belakangku seolah segumpal rambut yang ada di tangannya adalah seekor kucing. "Er, denger nggak?"

"Iya, sampe napasmu juga. Diem dulu, Kai. Aku mau tidur sebentar."

Nah sialnya, jam pertama hari Kamis adalah Kimia. Baru saja aku merasakan tenangnya semesta berjalan pelan-pelan, sedetik kemudian lima belas menit telah berlalu dan dunia ini seolah jungkir balik di kepalaku.

Illxa mengguncang bahuku secara brutal, beberapa detik saat sosok pria kepala tiga yang terkenal paling wibu seantero sekolah melintas dari balik jendela. "Er, Sensei dateng."

Segenap tenaga kuhirup kembali jiwaku yang tercecer di awang-awang. "Iya iya." Kuangkat kepalaku, menyibak rambut yang saat ini mungkin terlihat seperti singa brand ambassador eskrim.

"Ichi!" Semua orang berdiri tegap di tempat duduk masing-masing. Sosok pria berkepala tiga itu memasuki kelas sambil menenteng map cokelat. Beliau berhenti di meja guru dan menunggu instruksi selanjutnya. "Ni!"

"Konichiwa, Sensei!" Seisi kelas berseru, membungkukkan badan, dan itulah sebabnya beliau menjadi wibu akut seantero SMA. Aku terpaksa ikut membungkuk, karena jika tidak tugasku bisa-bisa ditambah seperti anak kelas sebelah yang harus cosplay anime atau meng-cover lagu J-Pop.

"Konichiwa," balasnya, meletakkan semua barang bawaan dan menjatuhkan pantat pada satu-satunya kursi berbantal empuk di kelas ini.

"San!" Ketua kelas memberi perintah terakhir, dan kami semua duduk.

Dalam hati aku sudah bertawakal. Sejak tahun ajaran baru kelas 12, materi kimia adalah satu-satunya pelajaran yang sama sekali tidak masuk di otakku. Jadi, kalaupun gagal di ulangan kali ini, hatiku takkan sesakit saat gagal di ulangan matematika minat. Akan lebih mudah jika Sensei memberi rumus, menerangkan teori, atau mengajarkan kami dengan metode yang normal. Maksudku, alih-alih menggunakan bahasa Jepang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kimia!

Aku sudah mau membalikkan badan dan mengambil kertas untuk ulangan saat Sensei berseru tertahan. "Minna san! Tidak usah mengeluarkan kertas selembar. Hari ini kita tidak jadi ulangan." Sebaris pengumuman itu membuat seisi warga kelas berseru tertahan. "Loh? Mau ulangan?"

"Enggak, Pak!"

Sensei tersenyum, entah maksudnya apa. "Ulangan kali ini saya ganti dengan tugas kelompok saja." Kuperhatikan tangannya mengambil ponsel dan mengetuk sesuatu di sana. "Soalnya sudah bapak kirim di grup. Kelompoknya sesuai barisan duduk. Masing-masing ada empat orang, ya."

Kepalaku langsung melongok ke samping, berusaha melihat siapa saja yang ada di deretanku. Paling depan ada Alam, baris kedua Geby, aku, kemudian Illxa. Kuembuskan napas panjang setengah lega dan lelah. Selama ada Illxa dan Alam, harusnya kelompok ini oke-oke saja apapun soalnya.

"Sinting," Illxa berkomentar di belakang. "Kau udah liat soalnya, Er? Seratus, gila!"

Demi mendengarnya, aku langsung menyalakan ponsel tidak percaya. Illxa benar, bahkan dari jendela notifikasi saja langsung muncul nama filenya '100 soal kimia kelas 12 IPA 1'.

Beberapa orang langsung mengeluhkan tentang banyaknya jumlah soal. Mereka menuntut mengurangi soal, atau minimal mengerjakan nomor genap saja. Namun, Sensei menggeleng tak bisa diganggu gugat.

"Mau seratus soal, atau bapak tambahkan lagi?" Seisi kelas menutup mulut mereka dan berhenti mengeluh. "Nah. Tenggatnya Senin depan. Terserah mau dibagi bagaimana dengan kelompok—"

Alam menoleh ke belakang, mengamati siapa saja rekan kerjanya. Saat mata kami bertemu, dia mengacungkan ibu jari bangga. Aku ikut mengacungkan ibu jari tanpa ekspresi.

"Silakan berdiskusi dengan kelompoknya masing-masing."

Kami membuka barisan seperti semut pindah rumah, membentuk lingkaran kecil entah di meja siapa. "Ini seratus soal bagi empat aja, ya." Geby memulai. "Kerjakan semampunya di sekolah. Kalo nggak selesai, ntar lanjut di rumahnya siapa gitu."

Illxa bersedekap di sebelah Alam. "Enak di rumah Alam, sih."

Aku mengangguk setuju. Ayah pasti memberiku restu main ke rumah Alam—anak kesayangannya setelah Illxa. Dalam benakku, terbayang skenario di mana Ibu mengantarku ke rumah Alam. Aku akan mengerjakan tugas di ruang tengah seperti biasa, dan kedua orang tuaku dan Alam akan bergosip ria sambil mengenang masa muda mereka.

Semua orang setuju dengan pendapat itu dan kami mulai mengerjakan. Di tengah pekerjaan, aku takkan heran lagi jika Illxa menggangguku. "Er, kau kudu ikut ke rumah Cassey," Illxa berbisik, matanya tak lepas dari buku tulis sambil mencatat soal.

"Biar apa? Malu-maluin diri sendiri? Ogah." Aku melakukan hal yang sama, menyalin dua puluh lima soal bagianku.

Tangan Illxa berhenti sejenak, menjauh dari dua manusia lain dan mendekatkan duduk padaku. "Kau mau nangkep pembunuhnya, nggak?" Kali ini kepalanya menoleh terang-terangan padaku. "Percaya, deh, Cantik. Kau bakal nemu, seenggaknya sesuatu yang bisa diteliti dan berhubungan sama si pembunuh." Telunjuknya menyelipkan rambutku ke belakang telinga.

Kutangkis cepat tangannya. "Kenapa nggak kau aja? Dan berhenti pegang-pegang, Cabul." Aku kembali memfokuskan pandangan pada soal yang belum terjawab.

"Aku mau ke rumah Jonathan sama anak basket. Kalaupun Nusa ikut, dia nggak bisa masuk ke daerah privasi yang cuma bisa dijamah cewek." Jemarinya memaksa daguku untuk menatap netra gelapnya. "Aku juga butuh bantuanmu. Kita mutualisme di sini."

Jantungku seperti mau loncat sangking kagetnya. Mata gelap itu seakan menarikku ke dalam hampa. Sekali lagi, sebelum aku pingsan, kutepis tangannya. "Sensei! Illxa cab—"

Sebelum aku menyelesaikan kalimat, Illxa buru-buru membekap mulutku dengan telapak tangannya. "Iya iya! Aku nggak gitu lagi." Senyumnya mekar sampai dua pasang lesung pipi itu muncul.

"Kenapa, Ersa?" Dari depan, Sensei berseru dan memusatkan perhatian padaku

Aku memelototi Illxa, sementara anaknya masih cengir-cengir dengan muka yang seolah mengatakan, "Kan kau sendiri yang teriak." Mau tidak mau, aku terpaksa maju dan pura-pura bertanya dengan antusias.

Ketika aku mendekat, Sensei meletakkan ponsel yang tanpa sengaja kulihat layarnya. Halaman utama game Clade. "Sensei main juga?" tanyaku spontan. Sedetik kemudian, aku menyadari ucapanku barusan adalah hal bodoh yang kutanyakan pada guru modelan Sudiman—itu nama aslinya, kalau kalian penasaran.

Kupikir, reaksinya akan marah besar karena aku dengan tidak sopannya mengintip daerah privasi. Namun, yang kupikirkan itu ternyata terlalu jauh. Sensei tersenyum dan mengangkat lagi ponselnya. "Anak bapak dulu main ini. Bapak penasaran, gimana permainan kayak gini bisa merebut nyawa anak bapak. Ersa main juga?"

Tuh, 'kan! Harusnya aku tidak bilang apa-apa!

"Eh, nggak apa-apa, lho. Santai aja. Ersa mau nanya yang mana?" Agaknya beliau melihat ekspresi wajahku yang kentara rasa tidak enak.

Semua, Pak! Saya nggak paham sama sekali! "Yang ini aja." Aku mencoba tersenyum.

Sensei menjelaskan singkat. Sesuatu yang tak kupahami, menjadi semakin tak kupahami berkatnya. Aku tersenyum simpul sebagai formalitas, mengangguk pura-pura paham, kemudian mengucap terima kasih dan ngacir kembali ke bangku dengan pikiran kosong.

"Ersa! Sini dulu!"

Langkahku terhenti di tengah jalans sebelum mencapai bangkuku. Kepalaku menoleh patah-patah dramatis sambil menyipitkan mata tidak senang. Sedetik kemudian, kuubah ekspresi wajahku dengan senyuman semanis madu. "Ya, Sensei?" Kuhampiri meja guru dengan langkah tergesa.

Beberapa pasang mata memandangku, kemudian memilih mengerjakan soal lagi. Benakku berpikir cepat dalam perjalanan, kira-kira apa yang akan ditanyakan Sensei. Clade? Kimia? Atau sesuatu yang lain?

Begitu aku menghadapnya, Sensei meletakkan ponselnya lagi dan kali ini misi pertama Clade sudah akan dimulai. Tidak seperti milikku yang sudah memakai token dari Nusa, layar ponsel Sensei menampilkan peta Balikpapan beserta titik-titik avatar pemain aktif Clade yang lain. Aplikasi itu sedang mencari lawan yang akan diadu dengan avatar Sensei, alih-alih mencari titik merah mayat orang.

"Ersa anak SMAC?" Mendapat anggukanku, Sensei melanjutkan. "Kemarin bapak dapat laporan kalau tujuh anak SMAC jadi saksi kasus di hutan kota, apa benar?"

Aku mengangguk lagi. "Kenapa, Sensei? Ada masalah sama guru-guru?"

Sensei mengempaskan punggungnya pada sandaran kursi. "Pak Aldy yang marah-marah di grup guru." Beliau mengambil napas panjang. "Oh iya, Ersa pernah main Clade sebelumnya?"

Aldy Taher itu pasti bakal mencecar kami bertujuh saat istirahat ke-dua atau pulang sekolah. Tanpa sadar aku menggerakkan gigiku kesal dengan pria buaya darat itu. "Iya, Sensei. Ersa pernah main, sampai sekarang. Kenapa?"

"Ersa pernah denger tentang Gagak di Clade?"

Badanku tiba-tiba merinding. Bayang-bayang hutan Pertamina yang diguyur hujan saat Talia menghilang kembali mengambang di benakku. Pria bertopeng gagak di balik pohon, jubah hitamnya berbercak darah, dan saat petir menyambar seperti di film horor, Talia beserta sosok itu lenyap. "Pernah ...?" jawabku ragu.

"Bapak mau memburu Gagak. Tapi bapak nggak bisa sendirian."

Keningku mengernyit. "Kenapa harus saya, Sensei? Maksud saya, dari sekian banyak murid dan guru?"

"Tadinya bapak mau cari yang cowok. Tapi inget kalo cewek lebih jago stalking, dan bapak percaya Ersa bisa." Gaya bahasanya mendadak berubah lebih santai, tidak seformal biasanya. Sensei bersungguh-sungguh dengan permintaannya.

Aku menggaruk tengkuk kikuk. "Gimana caranya saya nangkep Gagak? Polisi saja nggak bisa, apalagi cuma siswa SMA?"

Sensei tersenyum, punggungnya bangkit. "Ersa punya nalar yang kuat." Aku mau mengelak dengan mengatakan bahwa itu tidak benar, tetapi Sensei lebih dulu mengangkat telunjuknya menyuruhku diam. "Waktu main werewolf, Ersa satu-satunya yang berhasil nebak dengan akurat, beserta alibi dan bukti yang tepat. Dari tiga puluh dua siswa, Sa."

Kutelan ludah kasar. "Itu cuma kebetulan, Sensei." Iya, lagipula itu cuma permainan sebagai reward karena kelas kami menyelesaikan materi dua minggu lebih cepat dari kelas lain.

"Dengan semua alibi? Memanipulasi teman lain dengan pertanyaan menjebak? Menganalisa gerak tubuh dan suara?"

Oke-oke, kuakui aku memang sedikit senang mengobservasi orang-orang di sekitarku. Itu karena aku tidak mau dianggap menyebalkan lagi, dan kalau aku mendapati seseorang menganggapku demikian setelah melihat gerak-geriknya, cepat-cepat aku menjauh. Aku cuma tidak mau mengulang masa SMP lagi.

Kali ini, aku kalah telak dan tidak bisa mengelak dari Sensei. Kutundukkan sedikit kepalaku. "Ersa coba bantu sebisanya, Sensei." Lagipula, kalau memang pelaku pembunuhan dua kali beruntun ini adalah Gagak yang sama, tidak ada ruginya buatku.

"Bagus. Nanti istirahat pertama datang ke lab kimia. Ada yang mau bapak kasih."

"Mau kutemenin?" Illxa menawarkan, menutup buku matematikanya dan mengikutiku ke luar kelas segera setelah bel berbunyi.

"Nggak usah."

"Oke."

Aku berjalan cepat, memotong jalur melewati lapangan demi mencapai lab kimia. Merasakan sesuatu yang aneh, aku menoleh. "Ngapain ngikutin?"

Illxa mengangkat sebelah alis sambil tersenyum. "Aku nggak ngikutin. Aku emang mau ke lab kimia, kok."

Halah, sebahagia dia saja, lah. Tanpa memelankan langkah, kami mencapai lab kimia beberapa menit kemudian. Sensei sudah di sana, duduk di meja khusus guru, memelototi laptopnya yang berisi sel-sel Excel dengan beratus-ratus nilai siswa kelas akhir.

Kuatur napasku sebisa mungkin sebelum memasuki lab. "Konichiwa, Sensei," sapaku, melangkahkan kaki ke dalam lab. Illxa masih mengekor di belakang, mengucap sapaan yang sama.

"Konichiwa. Masuk, Sa." Beliau menoleh, dan ketika mendapati sosok lain di belakangku, senyumnya semakin cerah. "Nah, semua sudah ada di sini. Bisa kita mulai?"

Tanpa disuruh, aku terkejut Illxa dua mengambilkan kursi lab. "Duduk, Er." Dia memulai lebih dulu, dengan raut wajah serius.

Apa ini? Ada apa dengan mereka? Kenapa semua orang terlalu antusias dengan masalah ini?

"Nilai kalian berdua hampir turun dari semester lalu." Pemberitahuan itu sukses membuatku menahan napas. "Tidak hanya kalian, sebenarnya. Sekelas, bahkan seangkatan. Hanya di mata pelajaran kimia."

Iya, itu karena cara mengajarmu yang tidak waras! Tidak kusuarakan pertikaian batin itu keras-keras. Aku memilih duduk diam dan mendengarkan apa yang sebenarnya hendak beliau bicarakan. Seingetku beliau memanggilku ke sini karena persoalan Gagak dan Clade.

"Bapak bukan mau minta saran ke kalian tentang cara mengajar bapak."

Guru ini sinting, batinku.

"Tapi bapak bisa bantu kalian buat dapet nilai bagus, atau setidaknya mempertahankan nilai kimia semester lalu."

Seandainya aku tidak sabaran, sejak beliau mulai bicara aku sudah teriak-teriak seperti orang tidak waras. Di SMA unggulan, haram hukumnya bagi seorang guru menurunkan nilai siswanya, kecuali memang terlalu signifikan yang dikarenakan kecurangan saat ujian.

Illxa menautkan tangan, tertarik dengan pembicaraan nilai. "Jadi, Sensei mau saya sama Ersa buat bantuin Sensei nangkep siapa pembunuh anak Sensei?" Mendapat anggukan kecil dari guru kimia itu, Illxa melanjutkan. "Imbalannya nilai kami naik?"

Sensei mengangguk sekali lagi. "Wahai, cerdas ya."

"Bukannya pesimis," kataku, "tapi kami cuma anak SMA ingusan yang baru mau fokus ulangan karena sudah mendekati semester akhir. Sensei yakin nggak mau laporan ke polisi saja?" Mataku tanpa sengaja melirik kertas-kertas setebal makalah di satu ujung meja. "Nah, Sensei sudah ada beberapa bahan untuk diajukan. Kenapa masih berharap sama anak SMA, yang bahkan nilai kimianya jelek?"

Disikutnya pinggangku oleh Illxa. Dari samping, anak itu melotot padaku, kemudian tersenyum ke arah Sensei. "Kalau boleh tahu, dari mana Sensei dapat data itu? Banyak banget, lho."

"Bapak nggak bisa lapor polisi. Kasus itu sudah terlalu lama untuk diusut sekarang. Nggak ada saksi mata, dan semua yang ada di sini cuma asumsi bapak saja." Sensei menunduk, menatap lembaran itu sambil tersenyum miris seperti di sinetron. "Lagian, guru honorer kayak bapak juga nggak punya banyak uang buat manggil penyidik banyak-banyak kayak kasus mahasiswa yang tenggelam itu. Makanya, bapak manggil kalian."

Sebenarnya aku tidak begitu tertarik dengan nilai yang dijanjikannya. Namun, apa yang ada di dalam lembar-lembaran kertas itu justru membuatku penasaran. "Konsekuensi kalau kami nggak berhasil tahu siapa Gagak?" tanyaku mendelik.

Lagi-lagi Illxa menyikutku, tetapi Sensei tetap tenang menjelaskan. "Tidak ada. Nilai kalian apa adanya. Enak, 'kan?"

"Boleh Ersa lihat dulu isinya?" Kutunjuk kertas-kertas itu.

Sensei mengangguk, mempersilakan kami mengambil sendiri. "Itu masih sebagian."

Kubuka-buka lembaran itu cepat. Isinya cuma tulisan tangan Sensei yang sedikit acak-acakan, beberapa nama yang beliau curigai, dan tempat-tempat yang ditandainya. "Sensei curiga sama salah satu guru di sini?" Beberapa detik, keheningan memerangkapku. Saat aku mendongak dari kertas, mereka berdua menatapku heran. "Apa?"

Illxa memilih kembali menunduk dan melirik kertas-kertas di tangannya, sementara Sensei tersenyum. "Sudah bapak bilang kalau Ersa mampu."

"Ini boleh kami bawa pulang?" Illxa mendongak, menata kembali kertas di atas meja.

Sensei bersedekap. "Hanya kalau kalian mau mengambil tugas tambahan ini."

Mataku masih menjelajahi beberapa kata-kata yang tidak bisa kumengerti dan mencari korelasi antara sosok Gagak yang sedang kami hadapi. Di sini dikatakan bahwa sosok Gagak sering muncul di hutan Pertamina yang berdekatan dengan hutan kota. Muncul beberapa kali peringatan bahwa jangan pergi sendirian, mungkin itu sebabnya Sensei membawa Illxa serta. Sampai sini, semuanya masih masuk akal.

Namun, apa maksudnya dengan topeng gagak itu? Seberapa penting peranan bentuk topeng dengan pembunuhan ini? "Maksudnya topeng, Sensei?" Kubalik kertas itu agar Sensei mampu melihat bagian mana yang kutunjuk.

"Topeng gagak. Mereka mengenakannya setiap membunuh korban. Tapi bukannya aneh? Kenapa nggak pakai topeng monyet? Kenapa harus gagak?" Sensei memajukan kepalanya, mengamati tulisan tangannya sendiri. "Coba tebak kenapa?"

Mana saya tahu! "Ada maknanya?"

"Plague Doctor? Saya pernah lihat beberapa kali di internet, tapi belum pernah lihat langsung," Illxa berujar. "Kau pernah liat?" Ditatapnya mataku serius.

Kuangkat bahuku. "Pernah, sekali agaknya." Diam-diam aku membenarkan pernyataan Illxa. Sosok Gagak itu lebih mirip dokter wabah di abad ke-16 sampai 17. Apa hubungannya dengan penculikan dan pembunuhan lima tahun silam? "Orang dulu percaya kedatangan Plague Doctor menandakan bahwa mereka sebentar lagi akan mati. Itu karena ada wabah, tapi ini?"

Aku sudah mendongak, meminta jawaban. Namun, Sensei hanya tersenyum diam.

[]

Misi Utama: Lengkapi Puzzle
Sub Misi: [-]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro