7. Ruang Pribadi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nusa terkejut saat kubilang aku akan ikut ke rumah Cassey. Dia melongo tak percaya pada awalnya, kemudian tersenyum simpul seakan bangga padaku. "Nanti berangkatnya sama aku, ya."

Orang-orang berkumpul di gerbang samping, menunggu yang lain tiba untuk berangkat bersama. Tidak seperti bayanganku, cacian serta tatapan menjengkelkan itu tidak keluar. Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing, mencari temannya yang belum datang dan menelpon beberapa nomor.

Setelah Nusa, Sera dan Nora adalah orang selanjutnya yang terkejut diriku mau ikut dalam acara seperti ini. Yah, semua karena terpaksa. Kalau bukan karena Illxa, mungkin aku sudah mendekam di kamarku yang dingin sambil membaca novel.

Kami berangkat lima belas menit kemudian. Aku pergi bersama Nusa dalam rombongan dengan motornya. Rumah Cassey tidak begitu jauh ternyata. Di pesisir pantai, memasuki gang-gang sempit dengan rumah panggung yang tiangnya sudah dilumuti. Kupikir, rumahnya benar-benar berhadapan dengan laut, atau bahkan mengambang di atasnya. Namun, setelah masuk lebih dalam, kami menemukan kompleks yang lebih terstruktur dan bersih ketimbang pesisir yang dipenuhi sampah. Ternyata kami memilih jalan pintas yang lebih cepat dari pada melewati jalan raya.

Beberapa motor sudah terparkir di halaman rumah bernuansa putih emas dua lantai. Tampak elegan bahkan saat kami dipersilakan masuk ke ruang tamu. Orang tua Cassey menyambut kami secara langsung. Ibunya menggenggam tisu sambil menyalami kami satu-satu. Gerakannya berhenti saat berada di hadapanku.

"Ersa, ya?" Air matanya mengalir lagi, cepat-cepat dihapusnya. "Tante banyak dengar tentang kamu waktu SMP. Maafkan anak tante, ya." Kedua tangannya menggenggam tangan kananku erat-erat. Kini air matanya mengalir tanpa ada yang mengusap. Wanita itu mengucap kata maaf beribu-ribu kali sampai rasanya lutut wanita itu bisa jatuh kapan saja.

Buru-buru kusangga sikunya sebelum dia jatuh. "Iya, Tante. Ersa juga sudah lupa, kok." Bohong. Mana bisa kulupakan ingatan jahat itu. Anakmu dua-duanya memang biadab. Dadaku berdebar, merasa diperhatikan banyak orang dalam kondisi seperti ini. "Tante, nggak papa." Pada akhirnya, aku terpaksa merengkuh pundaknya yang bergetar.

Wanita itu menggeleng. "Tante nggak tahu harus apa untuk menebus kesalahan anak tante sama kamu." Napasnya sesenggukan, terlihat jelas penyesalan dalam dirinya.

"Sudah lewat, Tante. Nggak papa." Sekali lagi, kuusap punggungnya berusaha menenangkan.

Beberapa orang memandangku ikut kasihan. Tidak ada lagi pandangan merendahkanku, atau menghina seperti tahun-tahun sebelumnya. Pemandangan itu lenyap seiring berjalannya waktu.

Ibu Cassey mengusap air matanya, kemudian mengucap maaf sekali lagi sambil memelukku. "Kalau ada, apapun itu yang bisa Tante bantu, Ersa tinggal bilang."

Aku tersenyum menguatkannya. Tiba-tiba terbesit di kepalaku sesuatu yang sudah diwanti-wanti Illxa sejak tadi pagi. "Boleh Ersa lihat kamarnya Cassey?"

Tanpa pikir panjang, wanita itu langsung mengangguk dan menggandeng tanganku. "Ayo, Tante antarkan."

Kuminta Nusa menjagakan tasku sementara dia duduk manis di sini dengan yang lain. Rumah mereka besar sekali. Setelah kematian Kaysha, Cassey seperti menjadi anak tunggal kaya raya yang kesepian. Orang tuanya hanya di rumah saat akhir pekan, dan Cassey sendiri seandainya dia masih hidup, sekarang sibuk dengan les dan bimbingan belajar.

Kami melewati ruang keluarga dengan furnitur elegan, meninggalkan keramaian di belakang. Ibu Cassey berbicara satu dua hal tentang kedua anaknya yang sudah meninggal sepanjang perjalanan. Penyesalan bahwa dia kurang meluangkan waktu untuk keluarga. Saat mencapai lantai dua, Ibu Cassey membukakan pintu berwarna pink pucat dan mempersilakanku untuk masuk.

"Tante sengaja nggak membersihkan barangnya Cassey." Dia mengusap ujung matanya. "Biar kesannya Cassey selalu ada di rumah."

Ucapannya membuatku teringat Talia. Kamarnya sampai sekarang juga tak kami sentuh. Ditinggalkan begitu saja seakan Talia akan pulang sewaktu-waktu dan membersihkan kamarnya seperti dulu. Aku mengangguk. "Terima kasih, Tante."

Wanita itu melenggang kembali ke bawah, meninggalkanku seorang diri di atas. Aku membalikkan tubuh, menghadap ruangan luas dengan nuansa feminim yang kental dan bau parfum Cassey yang khas.

Nah, sekarang mari ketepikan semua perasaan itu dan mulai bekerja.

Lima menit memeriksa satu sisi, aku masih tak mendapatkan apapun kecuali setumpuk buku pelajaran yang penuh kertas catatan warna-warni. Nakasnya, meja belajar, rak buku, tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Jadi, aku segera beralih ke sisi yang lain.

Sebisa mungkin kukembalikan semua barang yang sudah kuacak-acak pada tempatnya, supaya terkesan bahwa aku hanya datang untuk melihat-lihat. Skenario paling parah yang bisa kubayangkan, adalah aku bisa dianggap mencuri di sini—aku memang akan melakukannya kalau ada sesuatu yang kuanggap penting untuk dibawa pulang.

Lima menit lagi berlalu, waktuku semakin sempit. Semua orang bisa curiga kalau aku terlalu lama di sini. Sekali lagi, aku beralih ke sisi yang lain, di mana jendela bertengger dan meja putih kosong duduk manis di depannya. Kubuka lacinya cepat, memeriksa apakah ada sesuatu yang mengganjal dan berkemungkinan untuk menyimpan rahasia di baliknya, tetapi yang kutemukan hanya sebuah buku berdebu tebal. Aku melakukan hal yang sama pada lemari pakaiannya, dan yang kutemukan hanya gaun cantik yang membuat hatiku menjerit ingin memilikinya.

Hasilnya tetap nihil. Berkali-kali aku mencari di tempat-tempat tersembunyi, tetapi yang kudapatkan hanya struk belanja dengan nominal yang bisa dibilang besar untuk rakyat jelata sepertiku.

Aku berhenti di tengah-tengah ruangan, merasa putus asa dan tidak ada gunanya masuk ke sini. Illxa mungkin terlalu berlebihan dengan menganggap ada sesuatu yang bisa diselidiki di kamar Cassey. Kumantapkan tekadku sekali lagi. Kalau dalam lima menit ke depan tidak ada yang bisa kudapatkan, aku akan keluar dan mencari kamar mandi supaya tidak dikira maling.

Puas mencari di dinding, aku mulai mendongak dan menunduk seperti kucing melihat cicak kayang. Semenit pertama, aku sudah menyerah. Menit setelahnya, ponselku bergetar.

Illxa Hood

"Apa?"

"Kau di mana?" Suaranya nyaris teredam di antara keramaian yang jauh. Anak itu mungkin benar-benar ada di rumah almarhum Jonathan, atau berada di jalan bersama teman-teman basketnya.

"Di kamar Cassey. Kau nemu sesuatu?" Sambil menunggunya menjawab, aku kembali melihat-lihat sekitar dengan lebih santai. Benakku sudah menyerah mencarinya, jadi sampai Illxa menutup telpon, aku akan tetap berada di ruangan ini. Setelahnya baru aku akan keluar dan menjalankan skenario mencari kamar mandi.

Deburan angin menghantam mikrofonnya beberapa detik. "Kertas, Er. Struk transfer—" Lagi-lagi suara angin seolah meledak di ponselku. Anak ini pasti sedang berada di motor, dalam perjalanan, atau apalah. Samar-samar kudengar suara kendaraan dan orang-orang tertawa dalam kerumunan.

Suaranya terputus, tetapi langkahku dengan cepat menghampiri satu sisi dinding tempatku menemukan kertas-kertas itu. Ada lumayan banyak kertas licin yang Illxa maksud, sekitar belasan. Kuambil semuanya dan memasukkannya ke dalam saku rok abu-abu.

Kalau sudah begini, Illxa pasti tidak akan basa-basi atau bercakap manis, dan itu tandanya dia benar-benar sedang dalam mode serius. Apapun itu, meski aku belum paham korelasinya dengan struk belanja barang mahal, tetap kuikuti perintahnya. Panggilan kututup sepihak karena tahu Illxa pasti akan memanggil lagi jika sesuatu terjadi atau maksudnya belum tersampaikan. Lekas aku memutar tubuh dan keluar dari kamar Cassey perlahan.

Lantai dua benar-benar sepi seperti tidak ada kehidupan. Kali ini, aku sungguhan ingin buang air kecil. Langkahku menuntun ke tempat lain, menjelajahi lantai dua rumah mewah ini. Bentuk-bentuk lorong dan ruangan yang selama ini kulihat di cetak biru yang dibuat Ayah menjadi kenyataan.

Beberapa belokan menyesatkan diri, aku nyaris tersesat betulan. Aku menemukan beberapa hal yang tak kusangka ada di rumah ini. Misalnya taman mini dan kolam renang di satu sisi dalam rumah.

Pada akhirnya, aku kembali ke depan pintu berwarna pink pucat itu lagi. Rasa penasaran terus menuntunku untuk melirik pintu biru pucat di sebelahnya, yang aku yakin satu juta persen adalah kamar Kaysha. Kutarik napas dalam-dalam, melongok ke bawah sejenak dari dekat tangga.

Oke, kalau tidak sekarang kapan lagi. Lagian, hidup sekali doang. Aku tidak akan melakukan hal-hal yang aneh di sana, cuma melihat-lihat, kemudian keluar sebelum tiga menit.

Kubulatkan tekadku dan berderap meraih gagang pintunya. Tidak terkunci, semudah itu. Hawa yang menyambutku sedikit berbeda dari ruangan sebelah. Lebih dingin, gelap karena tirai dan jendela yang ditutup rapat, dan sedikit berdebu.

Kondisi kamarnya tidak jauh berbeda dari milik Cassey. Bahkan, beberapa benda dan susunannya sama persis, seperti kasur, meja belajar, dan lemari. Buku-bukunya lebih sedikit, tidak ada novel atau buku lain kecuali buku tulis yang dia tinggalkan saat kelas 7. Ruangan ini didominasi warna biru langit, lembut dan membuat hatiku terasa nyaman. Satu dua lukisan alam terpajang di dinding, benar-benar terasa seperti kamar sendiri.

Iseng, aku berkeliling mencari sesuatu. Barang kali ada struk pembelian juga di ruangan ini. Namun, yang kutemukan justru hal lain yang membuat keningku mengernyit.

Di depan jendela, terdapat meja pada posisi yang sama seperti di kamar Cassey, tempatku mendapati kertas-kertas itu, kutemukan buku bersampul biru gelap. Hal yang membuatku mengerutkan dahi, adalah debu di atasnya. Ruangan ini jelas sudah lama tidak dimasuki, atau dibersihkan, tetapi saat kusentuh, buku itu nyaris tak meninggalkan jejak debu pada jemariku.

Dadaku berdebar cepat, aku menoleh memastikan bahwa tidak ada orang yang akan masuk ke sini sebelum mengambil buku itu. Di bawahnya, terdapat jejak persegi panjang yang tidak dihinggapi debu. Itu artinya, sebelum ini ada benda lain yang menempati posisi sang buku bersampul biru tua. Kalau seseorang memang mengambilnya, kenapa dia perlu repot-repot mengganti benda itu dengan buku kosong?

Sebentar ... sesuatu yang berdebu itu diambil ya ... jangan-jangan buku di laci itu! Cassey menggantikan posisi buku itu dengan yang ini, agar tidak terlihat bahwa seseorang mengambilnya. Mengingat kamar Kaysha dibiarkan seperti terakhir dia hidup, akan terasa ganjil jika hanya sebuah buku yang dicuri.

Buku itu jelas penting untuk Cassey.

Lekas aku meletakkan buku bersampul biru tua itu dan melipir ke kamar sebelah. Namun, saat aku menutup pintu biru pucat, pendengaranku mendengar langkah kaki jauh di bawah sana, sedang mendekat dan menanjak anak tangga. Jantungku berpacu cepat, kembali masuk ke pintu pink dan menarik lacinya segera.

Buku berdebu itu berwarna krem pucat, masih teronggok bisu di tempat terakhir aku menemukannya. Cepat-cepat kuambil benda itu, kemudian saat hendak berbalik dan keluar, aku panik harus menyembunyikannya di mana. Tasku, 'kan, di ruang tamu!

Aduh, meski ukurannya cukup kecil, lebih kecil dari buku novel, tetapi tetap saja aku tidak bisa meletakkannya di antara telapak tanganku. Langkah kaki itu semakin mendekat, bisa kubayangkan sosok itu sudah berdiri di ujung anak tangga dan segera kemari. Tidak ada pilihan lain. Cepat-cepat kubuka kancing seragamku dan membiarkannya mendekam di antara perutku dan seragam.

"Ersa? Gimana?"

Lututku nyaris lemas mendengar suaranya di ambang pintu yang memang sengaja kubuka agar tidak menimbulkan kecurigaan. Aku menoleh pelan-pelan, memasang senyum semanis dan sepuas mungkin. "Sudah, Tante." Langkahku mendekatinya, keluar dari kamar Cassey dan mengikutinya ke bawah.

"Maaf tante lama, banyak banget tamu di bawah." Ibunya Cassey tersenyum tipis, raut wajahnya masih menyiratkan ketidakrelaan akan kepergian anaknya. "Gimana kamarnya Cassey? Agak berantakan, ya?"

Aku menggeleng pelan, berusaha senatural mungkin dan menenangkan jantungku. "Rapi kok, Tante. Cassey kayaknya suka warna pink, ya?" Cukup sulit mengatur nada bicara saat kau sedang menyembunyikan barang jarahan di saku dan baju bagian perut seragammu.

Wanita itu kembali bercerita tentang kedua anaknya saat di rumah, bahwa mereka sering bertengkar karena hal kecil, dan tak memerlukan waktu lama untuk kembali menertawakan sesuatu. "Tante menyesal nggak meluangkan banyak waktu sama mereka," katanya, menghela napas, mencoba rela.

Justru, kalau kau meluangkan lebih banyak waktu bersama sosok yang sudah tiada, rasa sakit itu akan lebih perih dari sekarang. Perasaan menyesal itu akan lebih dalam, dan butuh waktu lama untuk bisa merelakannya pergi. "Ersa paham."

Saat aku sampai di ruang tamu, semua sudah bersiap untuk pulang. Nusa mengembalikan tasku, tetapi ini bukan saat yang tepat membuka baju di depan semua orang. Kami berpamitan, menyalami orang tua Cassey dan mengucapkan terima kasih.

Sekali lagi, tatapan iba, menjengkelkan, atau merendahkan itu tidak ada lagi. Semua seakan sudah melupakan hal itu, atau aku saja yang sudah lama menghindari mereka semua. Setidaknya, satu sisi di hatiku sedikit lebih lega.

"Kau mau kuantar pulang atau gimana?" Nusa sudah bersiap di atas motornya.

Aku berpikir sejenak. Kalau mau bertemu Illxa, atau main Clade lagi, hari sudah terlalu sore. Ini bahkan sudah nyaris pukul lima, matahari mulai berselancar di sisi barat. "Pulang aja, Nus. Gapapa?"

Nusa mengangkat jempolnya. "Aman, Er."

Kupikir, setelah sampai di rumah, aku langsung bisa merebahkan punggungku. Nyatanya, melepas tanggung jawab ternyata sesulit itu. Aku memang sempat merebahkan diri di kasur yang empuk, menyesap sedikit teh milik Ayah di ruang makan, dan membasuh rambutku. Namun itu semua tidak bertahan lama setelah pintu rumah kami diketuk pelan.

Illxa memasang senyum lebar saat aku membukakan pintu dengan kepala dibungkus handuk. "Cari Ersa, ada?" Anak itu bahkan masih mengenakan seragam hari Kamis yang dibalut hoodienya.

"Nggak ada. Anaknya terisekai." Aku sudah hampir menutup pintu seandainya Ayah tidak berseru senang anak kesayangannya datang berkunjung.

Mereka bersalaman seperti pejabat profesional, kemudian Ayah mempersilakan Illxa masuk dan duduk di ruang tengah. "Ayo makan, Kai!" ajak Ayah, sementara aku mengernyitkan dahi heran.

Untungnya, Illxa menolak—iya, aku benci anak itu mencari perhatian dari kedua orang tuaku. "Makasih, Om. Barusan makan soto tadi ngelayat." Kepalanya langsung menoleh padaku. "Mampir sebentar aja kok, Om. Mau ngasih tau tugas ke Ersa." Pelan-pelan kepalanya mendekati Ayah, tangannya terangkat menutupi pandanganku ke mulutnya. "Ersa suka tidur di kelas, Om," bisiknya.

"Emang, dari pada nyabu," sahutku kesal.

Ayah memelototiku, tetapi aku terlanjur kesal dengan Illxa. Bisa-bisanya anak itu bertamu menjelang magrib, hanya untuk mencari muka di depan Ayah!

Akhirnya Ayah kembali ke ruang tengah, meninggalkanku dan Illxa di ruang tamu. Aku merebahkan punggung di sandaran sofa, menyilangkan kaki dan menunggu anak itu bicara. Illxa melakukan hal yang sama, kecuali bagian menyilangkan kaki. Senyumannya masih mengganggu mataku, rasanya ingin kutarik pipinya sampai dua pasang lesung itu terbang ke planet lain.

"Ayo bahas buat besok." Illxa memulai, hendak merogoh sesuatu dari tasnya.

"Pulang sana!" usirku.

Senyumnya semakin lebar, tak menghentikan tangannya mencari sesuatu di sana. "Cewek cantik nggak boleh kasar." Beberapa detik berlalu, tangannya menarik beberapa lembar kertas dari tasnya. "Nah, mana punyamu?"

Kuputar bola mataku malas. "Berhubung aku nggak cantik, bodo amat. Tunggu di sini, awas kau macem-macem!" Setengah hati, kupaksakan tubuh untuk bangkit dan melipir ke kamar. Aku sama sekali belum menyentuh struk belanja dan buku itu sejak pulang sekolah. Rasanya aku mau tidur saja.

Saat aku kembali beberapa menit kemudian, kudapati Illxa sedang menjajarkan semua kertas yang didapatnya di atas meja. Wajahnya tampak serius dengan kedua alis bertaut dan bibir tanpa senyuman jahil seperti biasa. Jarang-jarang aku melihatnya dalam mode ini, bahkan saat ulangan dia masih bisa cengir-cengir di depanku.

Aku mendekat, menjatuhkan kertas dan buku hasil jarahanku di sebelahnya. "Aku masih nggak paham, ngapain kau nyuruh ngumpulin bukti belanja barang mewah anak orang—kau ini mau menyindir isi dompetku atau bagaimana?"

Illxa menarik pergelangan tanganku agar duduk di sebelahnya. Dia juga menyusun kertas struk yang kudapat di sebelah miliknya dengan sedikit jarak pemisah. "Kalo kau liat, mereka cuma beli barang di toko yang sama. Padahal, selama ini aku sering nemenin Jonathan ke toko sport buat beli sepatu. Kenapa cuma struk dari toko ini yang dia simpan?"

Mataku ikut memperhatikan ke mana arah Illxa menunjuk. "Aku belum pernah ke toko ini. Alamatnya juga nggak ada." Lekas kutarik ponselku dan mencari nama tokonya di sosial media. Nihil, tidak ada toko yang dimaksud. "Ini toko mana?"

Kami terdiam beberapa saat. Aku mengamati sekali lagi hal-hal yang ada di kertas itu. Jonathan sering membeli alat olahraga pada struknya, sementara Cassey cenderung ke pakaian dan properti gadis seperti baju, tas, dan aksesoris. Mataku kembali jelalatan ke detail-detail kecil seperti tanggal transaksi dan kode pembayaran.

Entah kenapa, angka-angka ini tampak tak asing di mataku. Seperti aku pernah melihatnya di suatu tempat. "Ini kode? Sandi?" Sekali lagi aku mencoba mengamati lebih detail sambil memutar otak. "Sandi angka?"

"Tepat sekali!" Tangannya menepuk-nepuk bangga puncak handuk yang membungkus kepalaku. "Kodenya lebih simpel dari yang kuduga, mereka cuma pake sandi Pramuka yang umum dipelajari semua orang. Liat deh, yang ini berhasil kupecahin."

Illxa hanya mendapat huruf-huruf acak dari struk milik Jonathan.

"A, A, M, N, S, S. Apaan deh maksudnya?" Aku mengernyit, beralih pada kertas milik Cassey. "Yang ini lebih panjang kayaknya, ada sembilan belas struk. Coba kuterjemahin dulu."

Tiga menit aku berkutat dengan kertas-kertas itu sambil memegang pulpen untuk mencatat. Hasilnya sama-sama huruf yang tak kupahami susunannya. Jadi, aku mengambil langkah yang sama dengan Illxa untuk mengurutkannya sesuai abjad.

Illxa mendekatkan kepalanya. "Ini harus disusun gimana biar bisa dibaca, bah?" Dia mengacak rambutnya frustrasi, membanting punggungnya pada sandaran sofa.

"A, A, A, A, A, B, H, I, K, K, L, N, N, O, P, P, T, T, U.  Ini nggak kurang banyak?" Aku ikut merebahkan punggung pada sandaran sofa sambil melepas handuk di kepala. "Di struknya ada angka lain nggak?" tanyaku mencari-cari petunjuk lain yang barangkali Illxa lebih tahu.

"Nggak ada, Er. Cuma tanggal pembelian doang sama kode angka yang tadi." Kepalanya menoleh ke arahku, Illxa memejamkan matanya. "Rambutmu wangi banget, pake sampo apa?"

Punggungku bangkit, meraih semua kertas-kertas milik Jonathan sambil melempar handukku ke sofa di seberang. "Pake sampo betmen, Bung. Mana tanggal pembeliannya?"

Illxa ikutan duduk tegak sambil menggeram lelah. "Di baliknya. Itu struk bolak-balik."

Kuperhatikan dengan saksama tanggal pembelian produk. Semuanya di tanggal yang sama, dengan jam berbeda. "Coba diturutin dari jamnya, Kai."

"Bener juga, kenapa aku nggak kepikiran?!"

Tiga menit lagi berlalu, dan mataku sama besarnya dengan Illxa saat mendapati huruf-huruf itu membentuk sebuah kata. "Ini singkatan nama SMA kita." Aku berseru tertahan.

"Itu struk punya Jonathan, dan pas banget dia mati di sana." Illxa kembali menyandarkan punggungnya, kali ini lebih halus dengan tangan di dagu, seolah dia memiliki janggut. "Menurutmu itu cuma kebetulan?"

Tentu saja tidak. Aku kembali mencoba struk milik Cassey, dan tiga menit berselang aku mendapati 'Hutan Kota Balikpapan' sebagai jawabannya. Dilihat dari manapun, ini pasti petunjuk yang ditinggalkan oleh si penjual toko. Mereka berdua juga tampaknya saling bekerjasama, meski di sini terkesan si penjual yang menjebak Cassey dan Jonathan.

Kalau mereka sampai membeli barang dengan struk berbeda di toko yang sama, bahkan sembilan belas kali, itu artinya memang ada rahasia di antara penjual dan pembeli. Dan mereka tidak mau sampai orang lain tahu kalau sampai begini cara menyembunyikannya. Mereka tetap membuat cara agar kode itu bisa dipecahkan hanya oleh si pembeli saja.

"Kalo kita bisa nemu tokonya, semuanya bakal lebih gampang, sih."

Aku mengangguk. Kami tak perlu lagi menebak-nebak siapa korban selanjutnya dari clue yang diberikan Clade. Toko ini jelas memiliki kaitan dengan Clade, tapi kenapa harus disembunyikan seperti ini. Kenapa Talia tidak memberitahuku secara langsung siapa korban selanjutnya dari pada basa-basi dan membuang waktu.

"Kalo gitu kita cari toko ya," kataku. Namun, kami juga tidak bisa mengetahui alamat toko yang tidak jelas keberadaannya. Illxa juga pasti memikirkannya.

"Satu-satunya cara biar tau di mana tokonya, kita harus berhasil nebak, minimal sekali, siapa korban selanjutnya."

"Terus kita ikutin dia sampe ke toko itu?"

"Pinter." Illxa mengacak-acak puncak rambutku yang masih lembap. "Buat sekarang, kita tinggal nunggu teka-teki dari Clade lagi."

Benang di kepalaku masih terlalu kusut untuk diuraikan. Banyak pertanyaan yang menggentayangi dan belum terjawab. Siapa sebenarnya Jonathan dan Cassey, dan kenapa mereka berkaitan dengan Clade, bahkan Talia. Dua orang itu bahkan pernah membenci Talia beserta diriku, kenapa Talia malah memberiku kode untuk menyelamatkan mereka sebelum dibunuh.

Lagi, siapa pembunuhnya. Kode permainan itu diciptakan seperti khusus untuk menghentikan pembunuhan, memberi kami petunjuk untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Itu artinya, pembunuh bukanlah dari pihak game atau developer seperti kasus lima tahun lalu.

Illxa tampaknya juga memikirkan hal yang sama. Selama tiga hari ini, aku hanya berdiskusi dengan anak itu, tanpa Nusa. Selain merasa tidak enak karena terus merepotkannya sejak SMP, dia tidak punya urusan apa-apa denganku. Berbeda dengan Illxa yang memiliki janji setelah semua ini selesai. Bahwa hubungan ini mutualisme dan Illxa juga meminta bantuan kepadaku.

Setelah itu kami akan lulus SMA dan hubunganku dengan Illxa selesai. Kami akan berpisah, dan aku ogah dekat-dekat dengan anak itu lagi. Aku pasti mencari perguruan tinggi negeri yang berbeda darinya.

"Er, kita belum buka catetan dari Sensei."

Oh iya. "Bentar kuambilin." Beberapa detik kemudian aku kembali dari kamar, beserta setumpuk kertas itu. "Belum kubaca, capek."

Illxa mencomotnya separuh, membalik-balik sebentar. "Ini cuma petunjuk tentang siapa pembunuhnya lima tahun lalu, data-data yang dikumpulin Sensei buat nyari anaknya." Dia membacanya seperti Ayah membaca koran. "Lumayan, kita selangkah lebih dekat."

Aku menarik sisa kertas yang tidak dipungut Illxa. "Di sini dikatakan kemunculannya berturut-turut di sekitar hutan Pertamina dan Chevron," ujarku diplomatis. "Kenapa demennya di hutan coba?"

"Namanya juga gagak, Er."

Waktu kemunculannya juga juga bervariasi, meski rata-rata sore hingga subuh. Kalau melihat dua kasus yang sudah lewat, sepertinya waktu kemunculan ini masih berlaku.

Kami hanya perlu lebih siaga.

[]

Misi Utama: Lengkapi Puzzle
Sub Misi: [-]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro