01.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sosok lelaki bermata teduh itu duduk dengan tak nyaman di atas bangku kayu yang berada di depanku. Sementara aku sendiri duduk mematung di seberangnya.
Raut wajahnya tampak bingung. Seolah ia menyimpan banyak cerita yang ingin ia ungkapkan, tapi tak tahu harus mulai darimana.

"Jadi maksudmu, kamu pacaran sama aku karena kamu kasihan padaku gitu?" akhirnya aku membuka suara setelah keadaan sempat hening beberapa saat.

David mendongak.
"Nana, bukannya gitu..." Ia menelan ludah, terlihat dari jakunnya yang bergerak. "Itu..." Dan ia terdiam.

"Diam berarti iya," sergahku ketus.
Ia menunduk, meremas-remas jemari tangannya sendiri, nampak tak berdaya.

David.

Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu secara tak sengaja di depan toko stationery langgananku.
Waktu itu aku sedang kesulitan mengumpulkan barang-barang belanjaanku yang jatuh berserakan. Dan tiba-tiba saja dia muncul, lalu tanpa kuminta pun ia dengan senang hati membantu memunguti pensil warnaku yang berserakan di pinggir jalan.
Ia juga membantu mencarikan taksi sekaligus membantuku memasukkan barang-barang belanjaanku ke sana.

Beberapa hari kemudian aku kembali bertemu dengannya di tempat yang sama. Dan dengan raut muka malu-malu, ia menanyakan namaku sekaligus nomer ponselku. Dan kami mulai berkenalan, saling kontak.

Kami sering keluar bersama entah hanya untuk mengobrol, ataupun makan siang. Hingga akhirnya ia menyatakan cinta padaku, dan kamipun resmi berpacaran.

David jadi sering bermain ke rumahku. Ia memperlakukanku dengan manis. Ia juga begitu ramah pada ayah, ibu dan juga adik perempuanku satu-satunya, Ami, yang umurnya hanya terpaut satu tahun denganku.

Terutama terhadap Ami, ia bersikap begitu manis, perhatian, dan juga hangat. Mereka begitu cocok satu sama lain.
Ketika mereka sudah mengobrol, mereka terlihat begitu nyaman. Mereka bercanda, mereka bercengkerama, saling menggoda.

Awalnya aku mengira hubungan seperti itu wajar, hubungan antar seorang kakak laki-laki dan adik perempuan. Bagaimanapun juga, Ami sosok perempuan yang cantik, ramah, mudah bergaul, lucu, dan sangat menyenangkan untuk dijadikan teman mengobrol.
Hingga akhirnya aku sadar, interaksi diantara mereka menunjukkan hubungan yang lebih dari sekedar hubungan adik kakak.

Aku tahu David menyayangiku. Aku bisa melihatnya ketika ia menatapku. Sorot matanya menunjukkan perhatian dan juga kehangatan. Tapi dengan Ami, tatapan itu berbeda.
Lebih hangat, lebih intens dan berbinar.
Aku tak terlalu berpengalaman. Tapi aku tahu bahwa binar itu menunjukkan rasa ... cinta.

Di sebuah sore yang mendung, tepat ketika aku baru pulang dari bekerja, aku mendengar Ami terisak.
Dengan tertatih aku berusaha mencari keberadaannya dan aku menemukan ia di ruang tengah, terisak dalam pelukan David. Perempuan yang biasa terlihat ceria itu sesenggukan.

Dan dari situ aku bisa mendengar apa yang ia katakan, dengan jelas.
Di tengah-tengah isak tangis ia berujar bahwa ia mencintai David, tapi ia merasa tak enak hati denganku. Sementara David hanya mampu menenangkannya dengan lembut, mengelus punggungnya, sembari mendaratkan ciuman di puncak kepalanya.

Dan aku seperti kaca yang di hempaskan ke tanah. Hancur berkeping-keping!

"Aku terpesona padamu, Nana. Kamu begitu baik, hangat dan menyenangkan. Waktu melihatmu pertama kali, aku benar-benar terpesona padamu. Aku jujur." Suara David membuyarkan lamunanku.
"Kamu hanya terpesona padaku. Lalu kamu merasa kasihan, dan akhirnya memacariku. Tapi akhirnya kamu sadar bahwa kamu malah jatuh cinta pada adikku. Ya, kan?" tukasku.

Lagi-lagi David hanya mampu menatapku pilu, tanpa mampu menjawab.
"Aku anggap itu jawaban 'iya'," sergahku. "Baiklah," aku meraih tongkat elbow-ku lalu berusaha untuk berdiri.
Reflek David beranjak dari duduknya dan segera membantuku untuk bangkit.

Aku mengacungkan jemariku ke arahnya lalu menatapnya dengan tajam.
"Jangan.sentuh.aku," aku mengeram.

David tampak terpukul dengan kata-kataku.
"Hubungan kita udah berakhir, dan aku merelakanmu. Kelak, jangan perhatian padaku lagi, jangan merasa kasihan padaku lagi. Karena sikapmu membuatku jijik," rahangku kaku.
Kemudian dengan tertatih, dengan bantuan tongkat elbow di tangan kananku, aku beranjak. Meninggalkan David.

Aku masih sempat mendengar ia meneriakkan namaku, tapi aku tak peduli.
Dengan langkah pelan, aku terus berjalan. Dan aku sadar, air mataku sudah jatuh berderaian.

Aku hanya tak menyangka bahwa sikapnya yang begitu baik padaku ternyata hanya karena ia kasihan.

Aku memang bukan perempuan sempurna.
Sejak kecil aku sudah cacat. Aku kehilangan fungsi kaki kananku sejak dilahirkan. Dokter bilang, ada masalah dengan tulang kakiku hingga aku terpaksa tak bisa berjalan dengan sempurna.
Dulu aku mengenakan kursi roda. Tapi sejak diterapi sekitar 10 tahun yang lalu, aku sudah bisa berjalan sendiri, meski tertatih dan dengan bantuan sebuah tongkat elbow.

Selama ini aku sudah kenyang dengan tatapan penuh belas kasihan dari setiap orang yang kutemui. Awalnya kukira David berbeda, tapi ternyata ia sama.

Ia hanya merasa kasihan pada perempuan cacat sepertiku!

***

Aku duduk mematung di pinggir ranjang. Kamar sengaja kubiarkan gelap gulita sementara jendela kubuka lebar-lebar.
Aku menghabiskan waktu berdiam diri selama hampir dua jam sambil menikmati desiran angin malam.
Ayah dan Ibu sedang keluar sehingga rumah terasa sepi.

Aku masih tak berniat beranjak dari tempatku ketika pintu terbuka. Aku menoleh sekilas dan melihat Ami berdiri di ambang pintu.
"Kak..." Ia memanggil lirih dan bergerak ke samping.
"Jangan nyalain lampunya," titahku. Langkah Ami terhenti.

Gadis tinggi semampai itu berdiri dengan canggung sembari membunyikan buku-buku jarinya. Hal yang biasa ia lakukan kalau ia sedang gusar.

"Kak..." Ia kembali memanggil. Panggilan itu syarat keraguan. Seolah ia tengah berjuang antara bersuara atau tidak.
"Soal kak David dan aku. Tolong maafin aku, Kak..."

Aku tak menjawab.

Reaksi ini memicu ia untuk memberanikan diri maju beberapa langkah. "Maafin aku, Kak. Aku nggak bermaksud melakukannya. Tiba-tiba saja aku terjebak pada perasaanku sendiri. Tiba-tiba aku menemukan diriku jatuh cinta padanya. Ini diluar kendaliku. Sungguh, tadinya aku cuma pengen nganggep dia sebagai seorang kakak. Tapi..."

"Jangan bicarain itu lagi," potongku.

"Kak, kumohon..." suara Ami bergetar. Dan air mataku merebak. Seandainya ia tahu perjuanganku untuk tidak menangis.

"Kumohon jangan benci aku, Kak. Aku ... aku nggak bermaksud melakukannya." Dan ia terisak.

Aku menelan ludah.
"Tinggalin aku sendiri," suaraku pelan.
Ami terus saja terisak.
"Tolong jangan bilang pada Ayah dan Ibu dulu ya. Aku belum siap menerima kemarahan mereka." Ia memohon.

Dan seketika wajah Ayah dan Ibu muncul di benakku.
Aku ingat raut muka mereka yang tampak begitu bahagia ketika aku memberitahu tentang David, ketika aku memberitahu mereka bahwa aku berpacaran dengannya. Mungkin karena mereka mengira bahwa perempuan cacat sepertiku takkan pernah bisa punya pendamping.

Ayah tak pernah berhenti menanyakan tentang David. Setiap kali makan malam, ia akan selalu membicarakannya dengan wajah ceria. Ibu juga tak jauh berbeda.
Setiap kali David datang berkunjung, ia akan menyambutnya dengan mata berbinar, raut muka penuh kebahagiaan, lalu menyiapkan banyak hidangan untuknya.
Dan sekarang, apa yang harus kuceritakan pada mereka?

Ayah...
Ibu...
Maafkan aku...

"Kak..."

"Keluarlah, Ami. Aku pengen sendiri," titahku lirih.

Gadis itu sempat enggan beranjak, tapi masih sambil menangis, akhirnya ia berbalik, lalu meninggalkan kamarku.

Dan tepat ketika pintu ditutup, bahuku terguncang.
Air mataku berjatuhan dan tangisku pecah. Aku terisak.

Kenapa harus seperti ini?

Kenapa?

***

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro