02.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

David mencondongkan tubuhya di atas meja counter dan berbicara dengan nada setengah berbisik.
"Bisa bicara sebentar?" tanyanya.

"Nggak," jawabku ketus. "Aku sibuk. Kamu nggak lihat kalo aku sedang kerja?" lanjutku.

David menarik nafas panjang.
"Kalo begitu, aku akan menunggumu. Jam berapa kamu selesai?"

Aku menatapnya kesal.
"Kamu nggak perlu menungguku. Lagipula apa yang ingin kamu bicarakan? Kenapa nggak bicara di rumah aja?"
"Justru karena aku nggak menemukanmu di rumah, makanya aku ke sini. Kamu terus menerus menghindariku," jawab David.

"Aku nggak menghindarimu. Lagipula nggak ada alasan untuk ketemu sama kamu 'kan?"
"Nana..."
"Nggak ada yang perlu dibicarain lagi, Vid. Kita udah putus."
Kalimatku terhenti ketika ada seorang pelanggan datang untuk membayar.

Aku bekerja di sebuah toko roti sebagai kasir. Tokonya kecil, tapi kami punya banyak pelanggan setia. Sebenarnya aku tak terlalu menyukai pekerjaanku. Tapi sepertinya menjadi kasir adalah pekerjaan yang paling pas untuk orang cacat sepertiku. Yang kulakukan adalah duduk manis di belakang meja dan tak perlu berjalan kesana kemari.

"Akan kutunggu sampai kamu selesai kerja," David ngotot ketika aku sedang melayani pelanggan tersebut.

Dan lelaki itu serius dengan kata-katanya, ia menungguku dengan sabar di luar toko hingga aku selesai bekerja.

"Naiklah ke mobil, akan kuanterin kamu pulang," ucapnya lembut, sama seperti biasanya, seperti ketika ia masih jadi pacarku.
"Kenapa? Kenapa kamu harus nganterin aku pulang? Aku bukan pacarmu lagi."
"Apa kalo nggak jadi pacar maka aku nggak boleh ngenterin kamu pulang?"

"Nggak," jawabku langsung.

David nampak frustasi, dan aku tak peduli.

"Ya udah deh, mau bicara apa sih? Bicara aja. Aku harus segera pergi ke halte," ucapku lagi.

Lelaki berwajah lembut itu menatapku.
"Kenapa kamu menghindariku? Berkali-kali aku ke rumahmu, tapi aku nggak berhasil menemuimu."

Aku terkekeh sinis. "Siapa yang menghindarimu? Aku kerja. Pagi berangkat, malam baru pulang. Lagipula sekarang pacarmu kan Ami. Ngapain juga kamu harus repot-repot menemuiku?" Emosiku nyaris sampai ubun-ubun.

Dan kedua mataku mengerjap ketika tiba-tiba David menangkup wajahku dengan tangannya. Dan bisa kurasakan tangannya yang hangat di pipiku. Tidak hanya itu saja, tanpa sungkan ia juga merapikan jaketku. "Udara malam ini dingin banget. Pake jaket yang betul," ucapnya.
"Jangan sampai kedinginan, nanti kamu bisa sakit," lanjutnya.

Aku mengenalnya dengan baik. Dan tindakannya yang barusan tidak dibuat-buat. Ia melakukannya secara reflek, alamiah saja. Aku tahu ia berkhianat, tapi kenyataan bahwa ia lelaki yang baik dan penuh perhatian takkan pernah bisa kupungkiri.

"Kamu nggak bisa berbuat baik seperti ini terus, Vid. Aku bukan pacarmu lagi. Kamu juga nggak perlu repot-repot menjemputku sepulang bekerja. Aku akan membiasakan naik bis lagi, kayak dulu." Kali ini kalimatku lirih.

"Nana, aku cuma pengen nggak ada yang berubah di antara kita, meski aku telah menyakitimu. Setidaknya, aku pengen menjagamu layaknya seorang ... saudara," jawabnya.

Saudara? Hah, kata-kata itu terdengar begitu menyakitkan karena keluar dari mulut David.

"Aku berniat bicara jujur pada Ayah dan Ibu-mu. Aku akan meminta maaf secara langsung pada mereka setelah apa yang kulakukan padamu, pada Ami..."

"Jangan," potongku. "Jangan bicara dulu pada mereka. Beri waktu padaku, aku yang akan melakukannya."

David menatapku dengan sorot keberatan.

"Aku perlu waktu untuk menerima semuanya. Sungguh ini nggak mudah buatku, Vid. Menerima kenyataan bahwa kamu dan ... Ami ..." aku menelan ludah, nyaris menumpahkan kembali air mataku.
"Biarkan aku menata kembali hatiku setelah kamu menghancurkannya secara berkeping-keping. Biarkan aku menyembuhkan lukaku dengan caraku sendiri. Yang kubutuhkan adalah ... waktu," ucapku lagi.

Tatapan David tampak pilu.
"Aku cuma pengen bersikap baik padamu dan mengantarkanmu pulang, apa itu berlebihan?"
Aku menarik nafas.
"Aku masih pengen berkunjung ke suatu tempat. Pulanglah terlebih dahulu," jawabku, menyerah.
"Ke mana? Ayo kuantarkan."
Aku menggeleng. "Tempatnya dekat, hanya beberapa blok dari sini."
"Kalau begitu akan kutunggu sampai selesai."
"Vid, please ..."

Lelaki itu mendesah lirih.
"Baiklah. Asal kamu berhati-hati," kalimatnya terdengar keberatan.

***

Aku memutuskan untuk berkunjung ke tokonya Dio, sekedar untuk menghindari David.
Dio adalah teman yang telah kukenal sejak beberapa tahun yang lalu. Ia punya sebuah toko kecil yang menjual baju dan asesoris. Toko itu terletak beberapa blok dari tempatku bekerja. Ia sering membeli roti di tempatku, dan akupun sering membeli baju di tokonya.
Baju-baju di tempatnya memang tidak terlalu bermerek, tapi terkenal berkualitas. Selain itu, seleranyapun selera anak muda. Sehingga banyak pelanggannya yang seumuran dengan kami.

Dio menyapaku dengan antusias ketika melihat kedatanganku. Ia bahkan mengacak-acak rambutku dan juga mencubit pipiku dengan gemas. Aku sempat protes dengan kebiasaannya itu. Dia selalu bilang akan menghentikannya, tapi nyatanya tidak.

"Aku sedang suntuk. Aku cuma pengen berkeliling di tokomu. Boleh?" tanyaku.
Dio terkekeh.
"Boleh, asal aku boleh mencubit pipimu yang menggemaskan ini," ia kembali mencubit pipiku, kali ini dengan kedua tangannya. Aku melotot kesal ke arahnya tapi tak mampu menghindar. Ah, padahal dia juga punya pipi yang gemuk menggemaskan.

Awalnya aku hanya sedang melihat-lihat saja ketika mataku menangkap sebuah syal berwarna hijau gelap menggantung di leher manekin. Tiba-tiba terpikir bahwa syal itu akan sangat pantas sekali dikenakan Ibu.

"Bisa kamu ambilin syal hijau itu?" Aku meminta tolong secara asal pada seseorang yang berdiri di sisiku. Seseorang yang tidak terlalu kuperhatikan dari awal tapi sepertinya tengah asyik melihat-lihat sebuah baju di sebelah manekin yang tengah kutuju.

Aku menoleh, dia juga.
Seorang cowok tampan bermata indah yang penampilannya cukup nyentrik. Rambutnya dicat warna merah gelap. Dan bajunya, well, terlalu rame. Warna baju yang ia kenakan tampak bertabrakan sana sini.
Topi merah, kaos oranye, jaket hijau dan celana berwana biru muda. Astaga, apa dia model? Atau dia musisi? Penampilannya asal-asalan tapi ... dia tampan.

Cowok itu menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan tak ramah. Kedua matanya singgah ke arah tongkat elbow di tanganku, lalu beralih ke kakiku.

"Sori ya, aku bukan pelayan yang bisa kamu suruh-suruh," ucapnya ketus.
"Oh maaf, tadi aku nggak bermaksud gitu. Maaf kalau kamu nggak berkenan," ucapku buru-buru.

"Yang cacat cuma kakimu, tapi tanganmu enggak 'kan? Kenapa kamu nggak ambil aja sendiri?"

Kedua mataku mengerjap. Tak menyangka akan menerima jawaban seperti itu. Aku menatapnya kaget.
Bibirnya berdecih, lalu ia berbalik, dan berlalu dariku. Begitu saja.
Aku melotot.

"Apa-apaan sih cowok ini?" sungutku lirih.

"Nggak usah marah. Sebenarnya dia baik kok," ujar Dio yang tiba-tiba saja sudah berada di sisiku.
"Kamu kenal?" tanyaku tak percaya. Dio memgangguk.
"Ya kenal lah. Langganan, dan dia salah satu temanku juga. Dia orangnya emang begitu. Nyentrik dan ceplas-ceplos. Tapi percayalah, dia aslinya sangat baik," lanjut Dio lagi.
Bibirku manyun.

"Kelak kalau kamu ketemu lagi sama dia, bersiap-siap aja karena dia tipe orang yang selalu berterus terang. Jangan sakit hati ya," Dio tersenyum lembut.

Aku terdiam.
Sakit hati?
Aku mungkin kaget mendengar kata-katanya, mendengar ia memanggilku cacat, tapi entahlah, aku tak merasa sakit hati sama sekali.

Aku justru merasa ... senang. Sungguh. Memang terdengar aneh, tapi itu benar.

Untuk yang pertama kalinya.

Untuk yang pertama kalinya ada seseorang yang memperlakukanku dengan normal.

Biasanya orang yang kutemui pertama kali akan menatapku dengan tatapan belas kasihan, lalu berbicara dengan lembut dan sopan padaku. Menganggap bahwa aku adalah makhluk yang pantas untuk dikasihani.

Tapi, cowok nyentrik tadi berbeda.

Dia memperlakukanku seperti orang biasa, dan .... normal.

***

Cowok itu muncul di depan tokoku pagi-pagi sekali, tepat ketika aku baru sampai di sana. Penampilannya tetap nyentrik. Bajunya asal-asalan dengan kombinasi warna yang tak serasi. Kalau berdasarkan orang mode, dia pasti norak. Tapi menurutku, ia menawan. Sungguh.

Ia tersenyum seraya melambaikan tangannya ke arahku.
Sempat merasa bingung, aku menatap sekelilingku. Barangkali saja ia tengah tersenyum dan menyapa orang lain, bukan diriku.

"Hei, aku sedang menyapamu, dasar idiot." Ia melangkah mendekatiku.
Aku kembali menatapnya.
"Aku?" tanyaku.

Dan ia mengangguk. "Iya, aku sedang tersenyum dan melambaikan tangan padamu," jawabnya lagi.
"Aku ingin minta maaf sama kamu atas sikapku yang kemarin. Sepertinya ... aku udah kelewatan dan bersikap kasar sama kamu," ucapnya lagi.

Aku tersenyum kaku dan mengangguk. "Nggak apa-apa. Aku juga minta maaf ya karena udah nyuruh-nyuruh kamu tanpa permisi," jawabku.
"Bagaimana kamu tahu kalo aku kerja di sini?"

"Aku banyak nanya ke Dio tentang kamu. Ah, aku baru tahu kalau kamu bekerja di sini. Kalo aja aku tahu bahwa ada kasir manis di toko ini, aku pasti rajin ke sini." Ia terkekeh.

Aku kembali tersenyum kaku.
"Namamu Nana 'kan? Aku Varel." Ia mengulurkan tangan. Karena tahu ada tongkat elbow di tangan kananku, ia meraih tanga kiriku untuk bersalaman.

"Sudah lama kamu kerja di sini? Apa rumahmu jauh? Apa kamu selalu ke sini naik bis? Apa kamu suka nonton film? Film apa yang kamu suka? Terus, makanan apa yang jadi favoritmu? Kalo minuman? Minuman apa yang kamu suka? Panas? Atau dingin? Ngomong-ngomong, boleh aku minta nomer ponselmu?"

Aku ternganga mendengar semua pertanyaan yang meluncur dari mulutnya.

"Kok kamu banyak nanya gini sih?" tanyaku.

"Karena sepertinya aku jatuh cinta sama kamu," jawabnya enteng.

Aku mendelik. Hah?

"Kita baru bertemu dua kali dan kamu langsung bilang cinta sama aku?" Aku nyaris menjerit.

"Sebenarnya ini pertemuan kita yang ketiga kalinya. Pertama, yang kemarin, di tokonya Dio. Kedua, semalam tanpa sengaja kita berada di bis yang sama. Dan aku ngelihat kamu tidur. Kamu lucu banget deh. Ngomong-ngomong, kamu ngorok dan mulutmu terbuka."

Aku melongo.

Whatttt??

***

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro