03.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Setelah membuat pengakuan cinta secara tiba-tiba, sekarang Varel sering mampir ke tempat kerjaku. Entah hanya untuk membeli sepotong roti, atau hanya sekedar menerobos masuk demi untuk menyapaku. Sungguh, terkadang tingkahnya menyebalkan, tapi sekaligus menggemaskan.

Lelaki tampan dengan senyum menawan itu juga kerap memberiku kejutan.

Di suatu hari tiba-tiba ia sudah muncul di hadapanku seraya memberiku seikat bunga. Dan di hari yang lain, tiba-tiba saja ia akan duduk manis di tokoku sembari menikmati secangkir kopi dan berpuluh-puluh potong roti. Ia dapat melakukan hal itu selama hampir seharian penuh. Sungguh.

"Apa kamu nggak punya kerjaan?" tanyaku ketus ketika hari itu, pagi-pagi sekali aku sudah mendapatinya di depan toko roti. Toko itu bahkan baru akan dibuka setengah lagi.

"Punya," jawabnya enteng.

"Kalo gitu untuk apa kamu terus menerus berkeliaran di dekatku?" Aku mengeram kesal.

Ia mengangkat bahu cuek. "Emang inilah kerjaanku. Berkeliaran di dekatmu, menguntitmu," ia menyeringai.

"Ngapain sih kamu ngelakuin hal kayak gini?" Aku nyaris saja mengayunkan tongkat elbowku karena jengkel.

"Hei, Nana. Kamu ini bodoh atau gimana sih? Ketika ada seorang lelaki jatuh cinta pada seorang perempuan, tentu saja ia akan mengikuti kemanapun Ia pergi," ia membela diri.

"Oh iya, hari sabtu nanti kamu ada acara gak? Aku punya dua tiket ke pameran seni. Ayo ke sana," dan tiba-tiba saja ia mengubah topik pembicaraan seperti biasanya. "Akan ada pameran lukisan berskala internasional di sana. Dio bilang kamu hobi banget melukis. Lukisan yang terpasang di toko Dio itu hasil karyamu 'kan? Woah, ternyata kamu hebat juga. Kereeen," lanjutnya antusias.

Kedua matanya yang bening bergerak-gerak dengan indah. Dan ekspresi seperti itu benar-benar terlihat menggemaskan.
"Bisa ya? Please."

Aku terdiam, mencoba menimbang ajakan lelaki tersebut. Pergi ke pameran lukisan sepertinya menyenangkan.
"Baiklah, akan kuusahakan," jawabku kemudian. Varel nyaris bersorak.

"Oh iya, kamu udah sarapan? Nih," ia menyodorkan sebuah kotak makan yang sejak tadi ia tenteng. "Restoran ayahku sedang mencoba menu baru. Jadi aku minta pada chef untuk bikinin kamu ini," ia tersenyum bangga. Aku menerima kotak makan itu dengan bingung.

"Ayahmu punya usaha restoran? Lalu kenapa kamu berkeliaran seperti ini? Harusnya kamu ada di sana, bantuin bisnis ayahmu," protesku.

Bibir Varel berdecih.
"Duh, apa kamu nggak tahu yang namanya pegawai? Restoranku udah penuh dengan orang-orang kepercayaan. Tanpa aku ada di sanapun, tempat usaha itu tetap berjalan dengan baik. Aku cuma sesekali aja ke sana untuk berkunjung. Ayahku bahkan sering ke luar kota untuk ngurusin bisnisnya yang lain," kilahnya.

Aku mencibir.
"Woa, keren. Kamu pasti tipe anak muda yang gemar berfoya-foya dengan uang orang tuanya. Ya 'kan?" sindirku.

Varel menggigit bibirnya dengan gemas.
"Lah, jangan salah ya. Aku juga
kerja, nyari uang. Kamu lupa kalo aku punya band? Bandku lumayan terkenal. Setiap malam kami tampil di kafe-kafe dan pesta orang kaya. Honornya besar. Kalo hanya sekedar ngasih bunga setiap hari dan mengajakmu kencan setiap malam minggu, aku masih mampu melakukannya," sanggahnya. "Beda lagi kalo kelak kita nikah dan punya banyak anak, baru aku akan mengambil alih restoran ayahku," lanjutnya.

Aku mendelik. "Kenapa kamu ngomongin pernikahan dan anak-anak denganku?!" teriakku.

Varel terkikik.
"Ah udahlah. Sarapan yang banyak ya," ia mencubit pipiku dengan gemas. "Astaga, pipimu tuh menggemaskan banget. Aku benar-benar jatuh cinta sama kamu," lanjutnya.

Aku kembali berteriak kesal. Dan belum sempat cubitanku bersarang di pinggangnya, pemuda itu sudah terlebih dulu melarikan diriku.

Dan ia masih sempat-sempatnya berteriak, "NANA, AKU CINTA PADAMU!"

Aku merasakan mukaku memerah ketika beberapa orang mulai memperhatikan kami dengan senyum tertahan. Aku menyembunyikan wajahku di balik kotak makan pemberian Varel lalu tertatih memasuki tempat kerjaku yang baru saja dibuka.

Ah, orang itu benar-benar menyebalkan.

Tapi ... ia lucu.

°°°

Dan hubunganku dengan Ami pun memburuk.
Sebenarnya sejak dulu kami memang tidak terlalu dekat. Padahal kami saudara kandung dan hanya selisih satu tahun.

Kami bukan tipe adik kakak yang terbiasa duduk bersama, bercanda, berbagi cerita, maupun mengobrol tentang hobi dan tokoh idola. Kami juga tidak pernah menghabiskan waktu luang untuk sekedar shopping bersama seperti yang biasa dilakukan sesama saudara perempuan. Ataupun membicarakan lelaki idaman.

Aku juga tidak ingat kapan terakhir kali kami menghabiskan waktu untuk bermain bersama. Mungkin sudah puluhan tahun yang lalu, saat usiaku baru 7 tahun.

Kalau tidak salah itu terakhir kalinya kami bermain boneka bersama. Kemudian aku sering jatuh sakit.
Dan begitulah, hubungan kami renggang. Hingga saat ini.

Kami seperti orang asing yang tinggal serumah. Setiap kali bersama, kami hanya akan bicara ala kadarnya. Setelah itu ia akan masuk kamar dan menghabiskan waktunya di sana untuk belajar. Sementara aku sendiri juga akan menghabiskan waktuku dengan mengurung diri di kamar. 

Setiap kali berkomunikasi, interaksi di antara kami kaku. Seakan kami tak punya ikatan batin sama sekali, padahal kami saudara sedarah.

Seperti yang terjadi sore itu ketika kami sama-sama sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Kami melewati momen itu dengan tenang, hening tak ada pembicaraan. Ayah dan Ibu sama-sama bekerja di kantor asuransi, sehingga mereka terbiasa pulang larut.

"Kak, apa kamu membenciku?" Ami memecah keheningan tanpa melihat ke arahku. Tangannya sibuk menyiapkan lauk pauk.

"Kalo aku membencimu, aku nggak bakal mau kamu panggil Kakak," jawabku cepat sembari menata piring di meja makan.

"Apakah Kak David masih sering menjemputmu ke tempat kerja?"
"Nggak," aku kembali menjawab cepat, mencoba berbohong.

"Bohong," Ami terkekeh sinis. Aku sempat menangkap tatapan matanya ke arahku, sekilas.
"Aku tahu kalo dia masih menemuimu di tempat kerja. Ya 'kan?" ujarnya lagi.

Aku mengangkat bahu.
"Emang, dia ke sana hampir setiap hari. Tapi aku selalu menolak dijemput olehnya. Jangan khawatir," jawabku.
Hening sesaat.

"Kak, bisakah aku memiliki David untuk diriku sendiri?" Dan mau tak mau pandangan kami beradu.
"Aku nggak suka ia bertindak berlebihan padamu," lanjutnya.

Aku mendesah.
"Ami, dia milikmu. Dan aku nggak tertarik untuk mengambil atau bahkan memilikinya kembali," kalimatku ketus. Sungguh, aku tak suka pembicaraan ini.

"David mencintaimu, dia milikmu. Lalu apa yang harus kamu takutkan?" ujarku kesal.

"Aku tahu, tapi Kak David masih menyayangimu. Dia nggak akan pernah bisa mengabaikanmu. Aku bisa melihatnya. Setiap kali kalian bertemu, ia masih saja menatapmu dengan lembut. Ia juga masih saja begitu perhatian padamu. Dan terkadang, aku takut Kakak akan mengambilnya dariku," Ami terdengar protes.

Aku merasakan rahangku kaku.
"Dan aku nggak tertarik. Lagipula aku nggak meminta ia untuk selalu bersikap baik padaku 'kan? Aku nggak memintanya untuk datang ke tempat kerjaku. Aku nggak memintanya untuk menjagaku. Ayolah, Ami. Bisakah kita menjalani hidup kita masing-masing. Silahkan berpacaran dengannya tanpa melibatkan aku karena aku juga nggak mau dilibatkan dalam urusan kalian. Sudah cukup apa yang telah kalian lakukan padaku," desisku.

Kuraih tongkat elbow di sisiku lalu dengan tertatih aku bangkit. "Aku mau keluar sebentar. Aku pengen jalan-jalan," aku beranjak.

"Kakak nggak makan malam dulu?"
"Nanti," aku tak menoleh ke arahnya dan terus berjalan pelan.

"Kak, aku akan bicara jujur pada Ayah dan Ibu tentang Kak David," ucapan Ami membuat langkahku terhenti.

Aku menoleh ke arahnya, "Terserah," jawabku kemudian, untuk selanjutnya kulangkahkan kembali kakiku, meninggalkannya.

Tepat ketika aku baru sampai di halaman rumah, tampak mobil David sudah terparkir di depan pagar. Pemuda itu keluar dari sana dan segera berlari kecil menghampiriku.

"Aku tadi ke tempat kerjamu dan mereka bilang..."
"Aku libur," potongku. "Masuklah, Ami ada di dalam menunggumu." Aku buru-buru ingin mengakhiri obrolan kami.

"Kamu mau ke mana?"
"Minimarket. Membeli sesuatu," jawabku cepat.
"Kuantarkan." David beranjak.
"Nggak usah," aku menggeleng. "Nggak perlu."
"Tapi..."
"Aku akan pergi sendiri," kutatap ia dengan tajam.

Dan David masih saja menatapku dengan lembut. Merasa tak gentar sama sekali.

"Oke, Oke," ia merapatkan sweaterku, "tapi setidaknya pakailah jaket yang lebih tebal. Udaranya dingin banget. Bentar ya, akan kuambilin jaket," lanjutnya.

Lelaki itu bisa saja berlari ke dalam rumah demi untuk mengambilkanku jaket jika saja aku tak mencegahnya.

"Vid..." aku menarik lengannya.
"Jangan..." kalimatku tertahan.

Kulepaskan genggaman tanganku ketika Ami muncul dari balik pintu.
"Aku pergi." Dan tanpa menunggu David berkata-kata lagi, aku beranjak. Meninggalkan mereka.

°°°

Aku menghabiskan waktuku membeli makanan kecil dan memakannya di taman.

Mengesampingkan cuaca dingin yang kian menusuk, aku sengaja duduk di sana berlama-lama.

Satu jam kemudian, aku baru memutuskan untuk kembali ke rumah. Ketika sampai di sana, mobil David sudah tidak ada. Sayup-sayup aku malah mendengar keributan dari dalam rumah.

Dengan hati cemas, tertatih aku berusaha mempercepat langkahku memasuki halaman. Dan tiba-tiba saja langkahku terhenti. Dari dalam sana terdengar ada keributan. Ami berteriak, Ibu juga berteriak, Ayah kadang-kadang ikut serta bersuara.

"Dasar anak nggak tahu malu! Kenapa kamu tega melakukan ini pada kakakmu?! Kamu tahu bahwa David adalah pacar kakakmu, kenapa kamu merebutnya?!" suara Ibu.

"Ibu, aku nggak merebutnya! Aku nggak serendah itu! Tapi tiba-tiba aja semua terjadi! Aku dan David terlibat cinta dan perasaan kami saling terikat satu sama lain! Kami saling menyayangi! Lalu kami harus bagaimana?!" Ami berteriak.

Terdengar sesuatu di banting.

"Jika kamu tahu lelaki itu adalah pacar kakakmu, kamu nggak seharusnya menggodanya!"
"Aku nggak menggodanya!" Ami menjerit.

"Harusnya kamu paham atas penderitaan kakakmu. Dengan keadaannya yang cacat seperti itu, akan sangat sulit sekali baginya untuk mendapatkan pendamping. Sekarang, ketika kakakmu hampir mendapatkan seorang suami, kenapa kamu tega menghancurkan impiannya? Adik macam apa kamu ini?!"
"Apa Ibu pikir hanya Kak Nana yang menderita, hah? Aku juga merasakan hal yang sama, kenapa Ibu nggak memahami perasaanku?!"

Kedua wanita itu terisak.

Aku hanya mampu berdiri mematung di depan pintu.

"Ibu... Kenapa Ibu perlakukan kami dengan berbeda? Kenapa Ibu nggak bisa memberikan kasih sayang pada kami berdua dengan porsi yang sama?" Ami terisak.

"Ami, bicara apa kamu ini?"

Adik perempuanku itu terus meraung.
"Sejak kecil Ayah dan Ibu memperlakukan kami dengan berbeda. Kalian lebih menyayangi Kak Nana daripada aku. Ketika dia sakit, kalian begitu heboh merawatnya. Tapi ketika aku sakit, kalian cuma menyuruh bibi atau orang lain menjagaku."

"Ami!" Ayah dan Ibu bersuara, bersamaan.

"Kalian senantiasa berbicara lembut dengannya, tapi denganku, kalian nggak segan-segan untuk membentak dan memakiku. Sejak kecil kalian lebih sering menjaganya daripada aku. Apa yang dia minta, kalian selalu menurutinya. Baju baru, sepatu baru, mainan baru, kalian selalu menurutinya. Sementara aku? Aku hanya akan mendapatkan barang-barang bekas darinya!"

"Ami!" Ibu terisak.

"Berapa kali kalian menggendongku? Berapa kali kalian menyuapiku makan? Berapa kali kalian mendampingiku belajar? Yang Ibu dan Ayah pikirkan selalu saja Kak Nana. Apa kalian lupa kalau aku juga anak kalian?!"

"Kamu tahu kan kalau kakakmu sering sakit-sakitan?" suara Ibu tercekat.

"Aku tahu dia sering sakit-sakitan! Aku tahu ia cacat! Tapi bukan berarti kalian bisa memperlakukannya dengan begitu istimewa. Memperlakukan Kak Nana seolah dia adalah anak kalian satu-satunya! Apa aku harus cacat juga demi bisa mendapatkan perhatian yang lebih dari kalian, hah?!"

Plakkk... Aku mendengar suara tamparan. Lalu isak tangis lagi. Dan dadaku perih.

Aku memutuskan untuk memutar tubuhku lalu beranjak, meninggalkan rumah tersebut. Dan air mataku menitik ketika sayup-sayup aku kembali mendengar Ibu berteriak, lalu terisak.

Aku menangis.

Ami, andaikan kau tahu, jadi orang cacat itu tidak enak!

**

Aku duduk termenung di bangku pinggir jalan, sendirian, dan menggigil kedinginan. Dan aku ingat bahwa aku tak membawa dompet, sementara sedikit uang di saku sudah kuhabiskan di mini market tadi. 

Bersyukur saja karena aku masih membawa ponsel. Benda mungil itu berdering beberapa kali dan berisik. Dan ternyata telpon dari Ibu. Mungkin ia cemas karena aku sudah keluar beberapa lama.

Tak berniat menjawab panggilan tersebut, aku malah mengirimkan pesan singkat padanya yang berbunyi : Ibu, malam ini aku tidur di rumah temanku, besok pagi-pagi sekali aku harus ke tempat kerja. Jangan khawatirkan aku.

Putus asa karena tak punya tempat untuk dituju, aku memutuskan untuk menelpon Dio.

"Dio, kamu masih di toko nggak?" tanyaku ragu.

"Iya nih, aku masih di toko. Tapi bentar lagi mau tutup. Ada apa?"

Aku terdiam sesaat.

"Dio, sepertinya... aku butuh bantuanmu..."

°°°

Aku meremas-remas tanganku dengan gusar. Kurapatkan sweater tipisku tapi itu tetap tak bisa mengurangi dinginnya angin malam yang kian menusuk. Tubuhku mulai menggigil.

Aku berniat kembali mengecek ponselku ketika sebuah taksi berhenti mendadak di seberang jalan dan sosok itu keluar dengan tergesa-gesa lalu berlari, ke arahku. Aku tertegun menatapnya.

"Varel?" Aku mendesis bingung.

Lelaki itu menatapku lega sambil menata nafasnya yang naik turun.
Ia terengah-engah.

"Ah, syukurlah aku menemukanmu." Ia menelan ludah.

"Bagaimana kamu...?" bibirku gemetar.

"Ketika kamu menelpon Dio, aku sedang berada di sampingnya. Dan aku segera memutuskan mencarimu, ke sini," ia bergerak mendekatiku. "Astaga, kenapa kamu pake baju kayak gini sih? Ini musim hujan, cuaca gak nentu, kamu bisa sakit tahu," ia mengomel sembari melepas jaket oranyenya, lalu memakaikannya padaku, merapatkannya berulang-ulang.

"Ayo kuantarkan ke tokonya Dio," ajaknya. Aku menatapnya dengan takjub. Tanpa mampu menjawab.

"Nana, kamu nggak apa-apa, kan?" Lelaki itu berlutut di hadapanku dan menangkup wajahku dengan cemas. Kurasakan kehangatan menjalar dari telapak tangannya.

"Nana?" panggilnya lagi.

Aku menggerakan bibirku. Merasakannya bergetar lagi. Tadinya aku berniat menjawab bahwa aku baik-baik saja, tapi akhirnya kalimat lain yang terucap.
"Aku... kedinginan..." desisku pelan.
Dan aku merasakan tubuhku limbung.

Untungnya Varel mendekapku erat, sebelum tubuhku sempat ambruk,  tak sadarkan diri.

**

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro