6. Banting Setir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Bisma dan Kirana datang lagi. Jangan lupa kasih vote n komen sebanyak-banyaknya, biar bisa cepet update😍

💕💕💕

“Gimana, Mas? Syukurlah Mas Bisma pas jaga IGD.” Mama Kirana langsung menghadang Bisma dan memberondonginya dengan pertanyaan.

“Nggak pa-pa, Tante—”

“Kok manggil ‘Tante’. Panggil Mama,” potong Mama sambil menepuk dada karena lega dengan keterangan sang residen.

Bisma meringis. Dia memijat tengkuknya yang tak pegal. Apakah Kirana tidak memberitahu mamanya perihal penolakan Bisma? Namun, Bisma merasa saat ini bukan waktu yang tepat memberitahu keputusannya. Melihat wajah pucat wanita berbadan subur itu, Bisma tak sampai hati. Mamanya Kirana pasti sangat mencemaskan sang putri sulung.

“Oh, iya … Nte … eh, Ma ….” Rasanya susah sekali mengubah panggilan yang biasa dia sematkan pada wanita yang melahirkan Kirana. “Kirana baik-baik saja, Tan …” Geraman Mama Kirana membuat Bisma menggigit bibir. Dia melirik ke kiri ke arah Bella yang masih mengekornya. Residen itu berharap Bella tidak berpikir macam-macam, walau terlihat sekali ada sorot penasaran dari matanya.

“Mama nggak nyangka Kirana bakal senekat itu.” Mama berdecak sambil menggelengkan kepala prihatin. Secara tiba-tiba, wanita itu meraih tangan Bisma, mendongak, dan menatap dalam lelaki yang mengenakan doctor scrub merah. “Mas, titip Kirana, ya. Sepertinya Mama harus cepat menghadap romo paroki agar bisa meminta dispensasi. Ah, Mama takut romo menolak, karena tahu Kirana ….” Mama memutus ucapannya karena menyadari keberadaan perawat di belakang Bisma yang sepertinya ikut menyimak percakapan mereka.

Bisma menunduk, menatap nanar tangan berjari gemuk itu menepuk dan mengelus punggungnya. Harapan mama Kirana terlalu tinggi. Namun, dia tidak bisa menjelaskan kesepakatannya dengan Kirana.

“Oh, ya, saya akan laporkan dulu ya, Ma.” Buru-buru Bisma menyudahi percakapan yang membuatnya tak nyaman itu dan segera kembali ke nurse station untuk melaporkan pada chief residen.

“Ternyata pasien tadi kenalan Dokter Bisma, ya?” Bella tiba-tiba menambahkan laporan yang tidak penting.

“Oh, ya?” Dika yang melirik ke arah Bisma.

“I-iya, Mas.” Kali ini tengkuk Bisma benar-benar terasa pegal karena celetukan Bella sehingga dia harus memijatnya dengan keras. Dia berharap perawat muda itu diam agar tak ada pertanyaan lain yang akan menjebaknya pada sebuah lingkaran setan kebohongan.

“Pacar?" Alis kiri Dika terangkat.

Bisma nyengir. Dia enggan menjawab dan berharap Dika memfokuskan diri pada kasus Kirana yang sepertinya hanya membutuhkan observasi karena tidak ada cedera serius pada arterinya. “Kasus ini gimana, Mas?” tanya Bisma mengalihkan topik.

Dika mengerucutkan bibir. “Menurut kamu?”

“Keadaan umumnya bagus. Saya periksa tadi, laserasi di pergelangan tangannya tak terlalu dalam sehingga hanya melukai sedikit arteri. Pendarahan yang juga tidak parah dan bisa dikendalikan,” jawab Bisma memberi pendapat.

“Oke. Aku lihat pasiennya. Kalau memang ringan, kita observasi dulu sebelum dipulangkan. Mungkin kita perlu merujuk ke psikiatri untuk memeriksa apakah ada tanda depresi yang parah.”

Jakun Bisma bergerak naik turun kala mendengar kata 'depresi'. Memang prenatal depresion bisa menghantui semua ibu hamil, termasuk Kirana. Terlebih Kirana sempat mengalami keterpurukan setelah Bima pergi dan yang lebih memperparah, karena kehamilannya terjadi sebelum dinikahi Bima. Hormon awal kehamilan yang mempermainkan tubuhnya jelas berdampak pada suasana hati yang naik turun.

Bisma membuntuti Dika dan memperhatikan cara senior itu memeriksa dan mengorek keterangan dari pasien serta keluarga, kemudian memberitahu kondisi Kirana pada Mama setelah konsul. Sementara itu, berhubung Bisma dipanggil senior yang lain, terpaksa dia meninggalkan Kirana dan keluarga.

Sewaktu Bisma hendak kembali ke nurse station karena tak lagi mendapati Kirana di bilik IGD, dia mendekati Dika. Entah kenapa, laki-laki itu ingin tahu kondisi Kirana.

"Setelah observasi, aku bolehin pulang karena kondisinya stabil." Dika melirik Bisma dengan kuluman senyum. Bisma merasa aneh. Setahu Bisma, Dika terkenal sebagai senior yang tegas dan jarang senyum. Seniornya itu hanya ramah pada pasien saja.

"Ada apa, Mas?" Perasaan Bisma tak nyaman. Terlebih semua orang di nurse station  itu, meliriknya.

"Kamu kok tadi nggak bilang dia calon istrimu?" Dika menyipit. "Berani juga kamu DP duluan."

Seketika wajah Bisma memerah seperti kepiting yang baru diangkat dari air mendidih. Dia yakin mama Kirana sudah menceritakan hal yang tak perlu yang bisa menjadi bahan perghibahan hangat jaga malam ini. Bisma hanya bisa memberikan cengiran.

"Bisma, aku cuma mau kasih saran aja. Aku ngerti kamu bakalan sibuk sama kehidupan residen yang masih panjang. Tapi kamu harus meluangkan waktu untuk memperhatikan calon istrimu yang sedang hamil. Apalagi kehamilannya masih sangat muda." Wajah Dika terlihat serius. Dia berucap bukan sebagai senior tapi Bisma merasa seperti dinasihati seorang kakak.

"I-iya, Bang." Bisma tak bisa berkutik. Dia merasa terjebak dengan kondisi yang tak bisa dikendalikan. Sekarang semua orang tahu dia mempunyai calon istri yang … hamil! Setelah rumor gay, sekarang berganti dengan perusak anak gadis orang. Bagus sekali pamormu, Bisma! rutuknya dalam hati.

"Oh, ya, kapan nikahnya?" Josua tiba-tiba masuk dalam percakapan.

Lidah Bisma kelu. Bagaimana dia akan menjelaskan kenyataannya? Dan, sekarang dia menghadapi keadaan dilematis. Bila dia tidak menikahi Kirana, dia akan dianggap laki-laki yang tidak bertanggung jawab karena semua orang tahu Kirana sedang hamil.

"Da-dalam waktu dekat …." Bisma kini berdecak. Dia tidak percaya apa yang dikatakannya sendiri. Dalam waktu dekat? Bahkan tadi sore dia sudah mantap memutuskan untuk menyudahi ide Papi. Tapi sekarang dengan mudahnya dia menjilat ludah sendiri.

Keesokan pagi, punggung Bisma melengkung setelah mengikuti morning report. Biasanya dia akan bersemangat untuk melakukan aktivitasnya studinya. Tapi, kini fokusnya menguap. Beberapa kali saat diskusi, dia kena semprot senior dan konsulen karena melamun.

Sangka yang melihat kondisi Bisma akhirnya tak tahan untuk tidak bertanya. Waktu makan siang ini, dia gunakan untuk menyelisik apa yang dia dengar dari perawat jaga malam tadi.

"Bis, emang bener ya omongan para perawat dan temen residen itu?" Sangka mulai membuka suara.

Tangan Bisma yang sedang memegang sendok berisi nasi dan telur, urung terangkat. Wajah yang menunduk itu akhirnya mendongak. Dia menatap sahabat yang cocok dengannya. Ia yakin Sangka menanyakan gosip yang beredar sejak semalam.

Bisma mengembuskan napas kasar. "Aku ceritain, ya. Tapi, kamu jangan kaget."

Alih-alih menyelesaikan makanannya, Sangka mendorong piring yang masih tersisa separuh nasi telur untuk mendengarkan cerita Bisma dari awal sampai akhir. Beruntung Bisma sudah memberi peringatan sehingga keterkejutan Sangka bisa teredam.

"Jadi, Kirana pacarnya Bima? Trus malah hamil, dan kamu diminta nikahin dia?" Sangka menyimpulkan dengan nada tak percaya.

Bisma menunduk. "Iya. Tapi aku nggak mau karena cuma jadi pelarian aja. Menikah, Bro! Bayangin! Nggak main-main loh!"

Sangka kembali menarik piringnya dan mengambil sendok untuk melanjutkan makannya. "Emang bisa, ya? Pernikahan Katolik 'kan ada tahapannya. Belum kalau penyidikan kanonik, pastornya mendapati halangan pernikahan kalian, bisa dibatalin tuh."

Bisma mengangkat bahu. "Mamanya Kirana mengusahakan apapun biar menutupi aib ini."

Sangka mengangguk-angguk. "Tapi, Bis … denger kondisi Kirana sekarang, dia butuh support system yang oke. Bayangin aja, dia kehilangan Bima pas mau nikah tiga bulan lagi. Itu udah sedih banget, 'kan? Trus, habis itu dia malah hamil. Nggak kebayang gimana gado-gadonya perasaan Kirana. Ditambah peran hormon, jadinya dia memang beresiko tinggi ngalamin depresi antenatal."

"Aku paham. Masalahnya kenapa jadi aku yang terbebani? Jujur, aku nggak mau. Jangankan nikah, pacaran aja belum kepikir." Seketika nafsu makan Bisma hilang. Namun, dia tetap memaksakan diri untuk memasukkan isi piring ke dalam lambungnya.

"Aku sih cuma bisa dukung apapun keputusanmu, Bis. Yang jalanin kamu, 'kan?"

***

Setelah dua hari Bisma terkungkung di rumah sakit dengan sederetan tugas residen semester awal, akhirnya dia bisa pulang. Sejak kejadian itu, beberapa kali Mami menelepon dan mengirimkan pesan agar menemui Kirana. Dari cerita Mami sekilas, sepertinya Kirana sudah memberitahukan penolakannya untuk menikahi Kirana.

Kembali gawai Bisma bergetar untuk kesekian kali. Dengan malas, dia merogoh gawai di saku doctor scrub dan membukanya. Seperti tebakannya, Mami sudah meneror dengan puluhan missed call dan pesan.

"Mas, Mami mohon ambil Kirana jadi istrimu. Dia membutuhkan kamu, Mas. Mami udah sayang banget sama Kirana dan nganggep dia kaya putri Mami sendiri." Bisma mendesah membaca pesan pendek itu. Jarinya kemudian men-scroll pesan yang lain.

"Kirana membutuhkanmu, Mas. Mami mohon ulurkan tanganmu buat dia."

Belum selesai Bisma membaca pesan yang lain, panggilan dari Mami masuk ke handphone-nya.

"Ntar kalau kamu udah selesai tugas, sempetin nemuin Kirana. Walau dia kelihatan baik-baik aja, Mami yakin suasana hatinya nggak nyaman." Suara Mami terdengar tegas.

"Aku capek, Mi. Pengin langsung pulang dan tidur," tolak Bisma.

"Mas, Mami mohon. Dia 'kan calon istrimu …."

"Ma!" Suara Bisma yang meninggi memancing perhatian orang-orang yang ada di lahan parkir lantai tiga. Bisma mengacak kasar rambutnya, tak memedulikan penampilannya terlihat berantakan. "Aku nggak mau nikah dulu! Apalagi sama Kirana. Dia itu mantan Bima."

"Apa salahnya ngambil Kirana jadi istri? Kamu pasti akan mencintai Kirana dengan cepat," sanggah Mami.

"Masalahnya bukan … ah sudahlah! Percuma aja dijelasin." Bisma mempercepat langkah agar bisa segera masuk ke dalam mobil SUV hitam yang terparkir di ujung.

"Mami minta tolong … temui Kirana dan keluarganya. Bilang kamu mau menerima Kirana jadi istrimu!"

Bisma meniup udara kasar sambil meremas gawainya setelah percakapan terputus. Dia lantas masuk ke mobil dan segera melajukan mobil ke luar dari rumah sakit. Namun, saat mobilnya dihentikan di persimpangan, Bisma termangu.

Kanan atau kiri?

Kalau ke kanan merupakan jalan pulang. Tapi, kalau ke kiri adalah jalan menuju rumah Kirana.

Bisma menggigit bibir. Lampu sein yang awalnya ke kanan kini berpindah berkedip ke kiri. Begitu lampu lalu lintas menyalakan sinar hijau, dia langsung membanting setir ke kiri dengan dibarengi salakan klakson tanda protes dari pengendara jalan yang lain.

Bisma sungguh tak menyangka akhirnya dia menyusuri jalan ini. Dia memukul setirnya karena pada akhirnya dia tetep berada dalam kendali Mami. Seperti mendaftar sekolah di sekolah tertentu, kuliah di fakultas kedokteran pilihan Mami, dan ikut program spesialis. Kegagalan Mami yang tak bisa masuk ke kedokteran sewaktu masih muda, akhirnya dilampiaskan pada anak-anaknya. Bima dan Bisma.

Dua puluh menit berlalu, akhirnya Bisma tiba di depan rumah tanpa gerbang. Begitu turun dari mobil, dia disambut kesederhanaan rumah yang berhalaman tak terlalu luas. Hanya sebuah cartport di depan rumah, yang langsung berbatasan dengan serambi mungil. Sedikit tanah kosong di depan teras diisi dengan kolam ikan kesukaan papa Kirana dan dikelilingi bunga mawar yang disukai mamanya.

Waktu menunjukkan pukul 19.00, saat Bisma mengetuk pintu depan yang terbuka. Seketika mata mama Kirana membeliak, melihat Bisma sudah ada di depan pintu.

"Mas Bisma!" Senyum lebar terurai di wajah mama Kirana. Wanita itu segera menyongsong Bisma masuk rumah dan mempersilakan duduk.

"Nte … eh, Ma … Kirana ada?" Bisma menyugar rambutnya karena baru menyadari penampilannya acak-acakan. Dia merasa aneh bertandang ke rumah pacar kembarannya.

"Di kamar. Sejak kejadian kapan lalu itu, Papa ngelepas pintu kamar Kirana karenantakut kenapa-napa. Oh, ya, tadi juga udah kontrol dan dibilang nggak kenapa-napa janinnya," terang Mama panjang lebar dalam satu tarikan napas.

Bisma ikut lega mendengar kabar itu. "Ke psikiatrinya?"

Mama menggeleng dengan wajah sendu. "Dia nggak mau. Dia bilang dia nggak gila. Mama bingung harus gimana."

"Ma, saya …."

"Nggak pa-pa. Kami paham kok kondisi Mas Bisma. Nggak mudah buat ngambil Kirana. Nggak ada cinta, eh, harus menikahi Kirana yang hamil sama laki-laki lain walaupun kembaran Mas Bisma," potong Mama. "Mama hanya prihatin sama kondisi kejiwaan Kirana. Kehamilan yang harusnya membahagiakan terasa menyesakkan buat Kirana. Dia selalu bilang, dia udah berdosa … nggak pantes buat siapapun. Dia mau membesarkan anak itu sendiri."

Rahang Bisma mengerat. Tiba-tiba dia mencemaskan Kirana. Betul kata Dika, kalau kondisinya dibiarkan bisa-bisa akan ada percobaan bunuh diri lainnya. Namun, apakah dia harus menikahi Kirana agar kekhawatirannya itu tak terjadi?

Dalam keheningan sekejap, Bisma menunduk. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Melihat Kirana yang terpuruk seperti saat dia melihat perempuan itu berbaring di brankar IGD, hatinya mencelus. Bima pasti sangat sedih bila mengetahui Kirana yang ceria dan murah senyum itu muram. Dia teringat masa-masa di mana Bima selalu menanyai pendapatnya tentang banyak hal untuk menyenangkan hati Kirana. Apakah bila dia bisa berkomunikasi dengan arwah Bima, kembarannya itu akan meminta hal yang sama?

Dengan menghela napas panjang, Bisma mendongak menatap Mama. "Ma, saya … saya … saya mau menikahi Kirana."

💕Dee_ane💕

Waduw, Bisma berubah pikiran🙈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro