7. Penolakan Kirana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Deers! Makasih yang udah support di cerita ini. Baik baca dulu di KK maupun di KBM. Jangan lupa jejak-jejaknya. Dukungan kalian baik vote n komen bisa bikin cerita ini ngapung.

***

Kirana bergelung di ranjangnya setelah pulang kerja tadi. Kehamilannya yang masih muda itu membuatnya seperti orang mabuk. Dalam sehari ini, dia tak bisa menghitung berapa kali lambungnya terkuras. Bahkan untuk menghirup uap nasi putih dan aroma tumisan pun, Kirana tidak sanggup, sehingga perutnya hanya diisi dengan sereal dan buah saja.

"Ran, ada Mas Bisma." Mama masih berada di balik tirai pengganti daun pintu. Wanita itu tak melangkah masuk sebelum dipersilakan putrinya.

"Bilang aja Kiran tidur, Ma." Kirana malas bertemu Bisma. Sejak kejadian gagal bunuh diri itu, dia tak mau lagi menghadapi Bisma saking malunya.

Kirana memutar tubuh, membelakangi pintu. Dia terlalu lemas untuk menemui Bisma yang pasti disuruh Mami untuk menjenguknya. Namun, gerakan ranjang pelan membuatnya membuka mata.

Kirana menegakkan separuh tubuh dan memutar pinggang. Dengan nada kesal, dia menyergah, "Ma, bilang saja sama Mas—"

Ucapan Kirana terputus. Matanya mengerjap. Mulutnya melongo. Dia seketika menaikkan selimut menutupi badannya seolah wanita itu bertemu penjahat kelamin. "Mas Bisma ngapain masuk kamarku?"

"Ta … tadi Mama bilang kamu sakit."

Jantung Kirana berdentum. Mama? Sejak kapan Bisma mengubah panggilan? Wajah dan suara itu … sangat mirip Bima. Bedanya Bisma mempunyai sedikit luka jahitan di pelipis. Kirana seketika meremas selimutnya. Dia menarik napas panjang untuk menguasai diri. "Aku nggak sakit!"

"Iya sih. Semua bumil trimester satu emang gitu. Mual muntah." Bisma mengelus tengkuknya dengan canggung.

Kirana mendesah. "Kalau gitu, Pak Dokter bisa pulang. Aku nggak kenapa-napa kok. Mungkin Mami bilang yang aneh-aneh karena mamaku itu suka bumbuin cerita, sehingga Mas terpaksa ke sini."

"Nggak kok. Mami nggak bilang soal kamu yang lemes ini. Dia malah nyinggung tentang kamu yang membutuhkan …." Bisma terdiam sejenak. Tidak mungkin bukan dia mengatakan bahwa dialah yang Kirana butuhkan. Bisa-bisa cicak yang menempel di dinding mengakak karena mendengar ucapannya yang kepedean. "Sandaran." Akhirnya kata yang menurut Bisma paling tepat meluncur dari bibirnya.

Kirana tersenyum. "Sandaranku Tuhan. Bukannya kita disuruh datang pada-Nya kalau berbeban berat? Lagian, nggak bagus berharap pada manusia. Bisa bakalan kecewa. Buktinya janji Mas Bima mau jagain aku, ya cuma isepan jempol aja. Dia malah ngasih aku janin!"

Bisma diam. Dia tak berkomentar apapun untuk memberi kesempatan Kirana melupakan perasaan tak nyamannya. Tapi, Kirana sadar kalau sedari tadi di mencerocos sendiri sehingga dia mencebik dan menunduk.

"Kok diem?"

Kirana berdecak. Dia menghalau malunya. "Perasaan tadi nggak ada orang deh. Aku berasa ngomong sama tembok!" sarkasnya.

Sontak tawa Bisma meledak. Dulu Bima juga kesal kalau dia mode diam mendengarkan.

"Kok ketawa sih?" Alis Kirana semakin mengerut.

"Lucu aja." Bisma masih terkekeh.

"Perasaan nggak ada yang ngelawak dari tadi?" ujar Kirana kesal.

"Kamu dikit-dikit pakai perasaan, ya? Makanya gampang kejebak rayuan Bima," komentar Bisma.

"Apaan sih!" Suara Kirana meninggi. Walau ucapan Bisma mengandung kebenaran, tapi Kirana menangkap sindiran yang membuat rasa bersalah kembali menyusup. "Udah deh! Pulang aja sana! Aku mau tidur!"

"Tunggu, aku mau ngomong dulu."

"Apa lagi sih? Hobi banget ngajakin ngomong!" Kirana menggaruk kepalanya kesal hingga rambutnya kusut masai.

Bisma membasahi bibir dengan ujung lidahnya sebelum kembali bersuara. "Ehm, ini tentang … kita."

Kirana mengernyit tajam, hingga tercetak tiga garis di pangkal hidung mancungnya. "Kita? Kita siapa?"

"Ya, kita. Aku … kamu …."

Kirana mendengkus. Sejak kapan dia dan Bisma menjadi 'kita'? "Mas, nggak ada kata 'kita' di antara kita. Cukup aku … atau kamu."

"Gimana kalau kita memulainya?" tanya Bisma.

"Memulai?"

Bisma mengangguk. "Aku … kamu … menjadi kita."

Kirana seketika mengangkat tangan dan meletakkan di dahi Bisma. "Mas sehat? Atau jangan-jangan kerasukan Mas Bima."

"Aku serius, Ran." Suara Bisma dalam dan tenang. Tatapannya teduh, membuat Kirana tak berkutik.

Kirana menarik kembali tangannya. Kepala lalu menunduk, menghindari tatapan Bisma. Matanya memperhatikan kuku telunjuk kanan yang menggaruk buku jari jempol kiri dengan gelisah.

Tak ada jawaban dari Kirana, Bisma kembali membuka mulut. "Ran …."

Kirana mendesah. Tawaran Bisma ini di luar dugaannya, mengingat dua hari lalu, laki-laki itu menolak ide para sesepuh. Bukannya senang, tapi, hati Kirana bergolak. Bagaimana bisa dia menikahi kakak tunangannya? Selain itu, Kirana tak tega memanfaatkan Bisma yang juga mantan pacar sahabatnya, demi kepentingannya.

"Mas, aku … aku nggak bisa." Kirana menggeleng.

Bisma mengerutkan alis. "Sebenarnya … aku pun juga nggak bisa, Ran. Aku terbiasa jomlo, tiba-tiba disuruh nikahin tunangan kembaranku yang hamil."

Kirana mendengkus. Kenapa Bisma harus memberi keterangan 'hamil' sehingga membuatnya seperti perempuan murahan? Namun, dia menguatkan diri, menyingkirkan rasa malunya.

"Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"

Jakun Bisma bergerak naik turun. Dia membisu sesaat. "Karena … kalau kita nggak menikah, darah daging Bima ntar nggak punya ayah."

Kirana mendengkus sambil mengusap perut yang masih rata. "Aku baik-baik saja. Tanpa ada ayah, aku bisa membesarkan anak ini. Anak ini juga bakal aku kenalin sama keluarga kalian."

"Aku nggak mau maksa. Semua keputusan ada di tanganmu. Asal kamu tahu, aku juga nggak mudah ambil keputusan ini." Bisma bangkit dan berbalik.

"Kalau nggak mudah, kenapa harus mengikuti ide konyol papaku? Aku nggak mau dikasihani!" Suara Kirana bergetar. Dia meremas paha di balik selimut.

"Untuk apa mengasihani kamu? Kamu yang berbuat, ya itu dosa kamu. Aku kasihan sama janinmu! Dia nggak tahu apa-apa. Maka dari itu, kamu harus kuat!" Sesudah berkata demikian Bisma keluar dari kamar yang tirainya tersibak itu.

Kirana melongo. Wajah yang sama dengan Bima itu tak pernah melontarkan kata yang enak didengar. Telinga Kirana semakin panas. Dia hanya bisa meremas selimut untuk meredam bahunya yang mulai gemetar.

***

Kirana mengambrukkan badannya di atas ranjang dan menarik bed cover. Melihat Bisma, membuat kerinduannya pada Bima merongrong dada. Otaknya secara otomatis memutar kembali masa-masa indah selama sepuluh tahun ini, hingga mengantarnya mencicipi surga dunia.

Seandainya Kirana tak bisa menahan diri, dia ingin memeluk Bisma. Terlebih parfum maskulin yang menguar dari tubuh lelaki itu mengingatkannya pada Bima.

Kirana menggeleng. Berkali-kali dia mengingatkan diri bahwa Bisma bukan Bima. Serindu-rindunya Kirana pada Bima, dia tak boleh menganggap Bisma sebagai Bima. Lagipula, ucapan Bism yang selalu menyinggungnya sangat berlawanan dengan Bima.

"Nduk …."

Suara Mama membuat Kirana menyeka matanya cepat. Kirana tak berhak bersedih di depan Mama yang telah dia kecewakan. Setelah menghela napas panjang, dia menyingkap kain bed cover.

"Ada apa, Ma?" Suara Kirana masih terdengar sengau.

"Mas Bisma tadi bicara apa?" tanya Mama sambil mengusap mata putrinya. Walau bersikap lembut, kekecewaan Mama masih bisa Kirana rasakan.

"Ma, maaf. Kiran tetep pada keputusan Kiran." Kirana tahu selama mengobrol singkat dengan Bisma, mamanya sudah menguping dari awal.

"Kiran, jangan uji kesabaran Mama Papa."  Mama mengelus dada. Wanita temperamen tinggi itu berkaca-kaca.

"Tapi, Kiran nggak bisa, Ma. Masa iya, demi menutupi aib, harus ada tumbal." Mata Kirana yang memerah, memandang penuh harap. "Apa janin ini aib?"

Mama menggigit bibir, menahan desakan rasa nyeri hati. "Nduk, janin ini bukan aib."

Kirana melirik Mama. Ada ketidakyakinan di dalam ucapan Mama. "Lalu, kalau janin ini bukan aib, kenapa aku harus menikahi Mas Bisma?"

"Bagi seorang wanita, janin yang bersemayam di dalam rahim kita adalah anugerah yang harus kita jaga. Kalau kamu nggak menikah, kamu akan jadi orangtua tunggal. Di akta kelahiran anakmu akan ditulis 'lahir dari seorang perempuan'. Tanpa ayah." Mama mengelus lembut kepala Kirana.

Kirana tetap bersikukuh pada pendiriannya. "Kiran … nggak bisa."

"Kenapa?" Mama mengernyitkan alis.

"Mas Bisma … bukan Mas Bima. Walau mereka identik, tapi Mas Bisma bukan ayah janinku." Kirana menggigit bibirnya kuat, berusaha menahan isakannya kembali lolos.

Mama mengembuskan napas kasar, seolah ingin mengusir sesak di dada. "Mama nggak bisa maksa kalau gitu. Tadi, Mama sudah menghubungi Romo Cahyo, beliau ingin menemui kalian dulu sebelum memutuskan apakah bisa memberkati kalian."

Bayangan wajah sendu Mama terlihat kabur karena bola mata Kirana sudah tergenang bulir bening. Dalam sekali kerjapan, air matanya lolos dari kelopak.

"Nduk, kuat ya, Ngger. Ini risiko yang kamu harus kamu tanggung. Menjadi ibu harus tegar. Ehm?" Kedua alis Mama terangkat sambil menarik tubuh putrinya. Elusan Mama yang cerewet itu seketika membuat tangis Kirana pecah dan lagi-lagi mulut Kirana hanya melontarkan kata 'maaf'.

💕Dee_ane💕

Ada cerita baru di KBM. Intipin yuk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro