Bab 1 - Perempuan Yang Sama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terik matahari yang menyengat benar-benar berhasil membuat semua murid SMA yang tengah mengikuti upacara mengeluh kepanasan bahkan beberapa di antara mereka memutuskan untuk duduk di tanah agar terhindar dari sengatan matahari pagi ini.

Sudah nyaris satu jam upacara bendera berlangsung dan sepertinya sebentar lagi akan selesai. Benar saja, pemimpin upacara membubarkan upacara dengan cepat sehingga membuat barisan yang sebelumnya rapi, berhamburan tetapi tiba-tiba saja kepala sekolah kembali naik ke atas podium.

"Tes, satu dua."

Bapak kepala sekolah beberapa kali mengetuk mikrofon dengan jarinya sebelum akhirnya berbicara dengan lancar.

"Anak-anak jangan bubar dulu ya," suruh Bapak Kepala sekolah yang bernama Agung. Namun, tidak semua murid mau mendengar dan akhirnya lapangan tersebut terlihat sangat sepi. Hanya ada beberapa orang yang bertahan seperti salah satu siswa yang bernama Deon Byantara. Deon berdiri sigap tanpa peduli pada teman-temannya yang sudah menghilang.

"Ini saya mau lihatkan ke kalian, siswa-siswi yang tidak boleh di contoh!" Suara Kepala sekolah terdengar begitu keras dan kemudian pria tua itu memanggil siswa-siswi yang dia maksud. "Masuk kalian!"

Beberapa siswa dan siswi terlihat masuk ke dalam lapangan dengan langkah gontainya dan mereka juga menundukkan kepalanya, entah karena malu atau malah karena takut tersengat sinar matahari.

"Mereka telat datang ke sekolah. Padahal jelas mereka tau pagi ini ada jadwal upacara!" jelas Pak Agung lagi.

Pak Agung menggeleng-gelengkan kepalanya, mungkin beliau kesal pada siswa-siswinya yang telat.

"Sekarang, kalian di sini sampai jam istirahat ya. Biar kalian bisa merenungkan kesalahan kalian!"

Setelah selesai berbicara, Pak Agung turun dari atas podium dan pergi entah kemana. Deon memperhatikan kepala sekolahnya itu hingga tak terlihat lagi tetapi matanya kemudian terfokus pada satu-satunya perempuan yang tengah dihukum itu.

Wanita cantik dengan rambut panjang yang diikat penuh. Deon sedikit kasihan pada wanita itu karena dia tidak menggunakan topi sehingga wajahnya terpapar sinar matahari cukup lama.

Siapa ya dia? tanya Deon di dalam hati.

Namun, tiba-tiba saja temannya datang dan langsung menarik Deon untuk pergi dari lapangan.

"Ayo, Deon, kita masuk ke kelas."

***

Sesampai di kelas, Rexa sahabat Deon yang tadi menariknya itu langsung berdiri tepat di hadapan kipas kelasnya. Dengan dua kancing teratas kemeja sekolahnya yang terbuka.

"Ih, Rexa minggir. Gue nggak kena kipas nih," oceh perempuan di belakang Rexa.

Rexa menoleh dan mengangkat sebelah alisnya, "bodo amat."

Deon yang duduk agak jauh darinya itu langsung menggelengkan kepalanya. Dia jelas tau bahwa Rexa sangat jahil sehingga banyak dari teman-teman sekelasnya yang membenci pria itu.

Tak lama kemudian, guru pun datang. Rexa langsung berlari ke kursinya yang tepat berada di sebelah Deon.

Dengan cepat dia mengancing kemejanya dan duduk rapi agar tidak dimarahi oleh guru.

Ibu Putri yang mengajar pagi ini langsung membuka buku yang dia bawa dan menjelaskannya di depan kelas. Beliau memang terkenal tegas dan juga tidak suka basa basi sehingga kelas yang dia ajarkan terlihat begitu monoton.

Setelah nyaris dua jam, akhirnya Ibu Putri selesai mengajar. Semua murid yang ada di kelas 11A itu kemudian dapat bernafas lega. Walaupun, setelah ini akan ada guru lain yang mengajar. Namun, setidaknya kelas yang monoton itu selesai.

Pelajaran kedua pun dimulai, kali ini Bapak Hendra yang mengajar. Beliau adalah guru Geografi dan satu-satunya guru yang disukai hampir semua murid karena beliau sangat baik juga bisa diajak bercanda tidak seperti guru yang lainnya.

Dua jam belajar pun tidak terasa jika Pak Hendra yang mengajar, seperti sekarang. Tiba-tiba saja ditengah pelajaran, suara bel istirahat terdengar. Tidak hanya satu atau dua murid yang mengeluh karena merasa waktu yang diberikan terasa sedikit padahal waktunya sama setiap pelajaran yaitu dua jam.

"Yah, kok udah istirahat sih," keluh Rexa dengan membanting pelan pulpen yang sebelumnya dia pegang.

Pak Hendra tertawa kecil dan kemudian memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya. "Ya sudah, karena waktu bapak sudah selesai. Bapak keluar dulu ya," ucap Pak Hendra sembari keluar dari kelas 11A.

Namun, saat Pak Hendra sudah berada di pintu kelas. Tiba-tiba saja pria paruh bayah itu berhenti. "Oh iya, Deon. Bisa bantu bapak sebentar?"

Deon yang dipanggil namanya pun langsung menoleh ke arah Pak Hendra. Tanpa basa basi pria itu berdiri dan langsung pergi menuju Pak Hendra.

Deon dan Pak Hendra berjalan berdampingan menuju ruang guru, "Sebentar ya, saya ambil kotaknya dulu."

Sebenarnya Deon diminta oleh Pak Hendra untuk membawa sebuah kotak ke gudang. Deon sendiri tidak tau apa isi kotak yang akan dia bawa. Namun, pria itu juga tidak berminat untuk bertanya lebih lanjut.

Tiada ucapan yang keluar dari mulut Deon saat kotak yang besar itu beralih ke tangannya. Kotak besar itu benar-benar berhasil menutupi pandangannya ke depan.

Pak Hendra kemudian mengintip dari sisi kiri kotak agar dapat melihat Deon. "Makasih ya, Eon atas bantuannya."

Deon tidak berniat mengeluarkan suaranya. Siswa pendiam itu kemudian mengangguk sebagai jawaban dan langsung keluar dari ruang guru.

"Hati-hati, Eon."

***

Deon membawa kotak tersebut dengan hati-hati walaupun pandangannya tertutup oleh kotak tersebut. Dia hanya dapat melihat dari sisi kanan atau kiri kotak yang dia bawa untuk mengintip jalan di depannya.

Beberapa kali Deon meminta orang di depannya untuk minggir dan memberinya jalan. Namun, ada beberapa di antara mereka yang tidak peduli dan malah mengganggu jalan siswa tersebut.

"Hei, bisa minggir nggak?" ucap Deon pada seseorang yang sengaja berdiri di depannya.

Orang itu kemudian membalikkan tubuhnya dan mengintip ke sisi kanan kotak agar dapat melihat wajah Deon.

"Kalau gue nggak mau minggir kenapa?" tanya siswa itu dengan wajah menyebalkan.

Deon menghela nafasnya dan juga mengulas senyum kecil di wajahnya, "maaf ... ."

Belum sempat Deon menyelesaikan ucapannya. Seorang siswi tiba-tiba datang dan memukul pelan kepala siswa yang menahan jalan Deon.

"Heh, lo ya. Udah dibilangin minggir, minggir bego!" oceh perempuan itu dengan wajah kesal.

Deon tersenyum kecil saat melihat wajah perempuan yang membantunya. Perempuan itu adalah perempuan yang sama, yang Deon lihat tadi pagi.

Kenapa Deon bisa hapal dengan perempuan tersebut? Karena hanya dia satu-satunya perempuan yang terlambat saat itu. Tentu Deon tidak akan lupa apalagi kejadiannya baru tadi pagi.

"Lewat gih," suruh perempuan itu.

Sebenarnya Deon ingin sekali berterima kasih dengan perempuan itu. Namun, mulutnya terasa terkunci sehingga dia langsung saja kembali berjalan menuju ke gudang yang berada cukup jauh dari ruang guru. Letaknya di belakang gedung sekolah dan tidak banyak murid yang mau ke sana.

Setelah selesai memasukkan kotak tersebut. Deon segera keluar dari gudang dan tiba-tiba saja dia bertemu dengan beberapa orang murid yang tengah merokok. Sepertinya mereka adalah kakak tingkat Deon.

Walaupun, gugup. Namun, pria itu menutupinya dengan tersenyum ke arah beberapa murid itu.

Dia langsung pergi karena takut jika nanti dia akan menjadi santapan bagi siswa-siswa tersebut.

Iya, Deon tidak mau mencari masalah di sekolahnya ini karena dia sudah memiliki banyak masalah di rumahnya. Tentu dia tidak mau menambahnya lagi.

***

Wah, kira-kira masalah apa ya?

Yang kepo, ikutin cerita ini sampai habis ya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro