Bab 21 - Hancur -

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepulang dari mal, sikap Asya berubah. Dia menjadi pendiam dan tidak menjawab satupun pertanyaan dari Deon. Pacarnya itu hanya ingin kejelasan. Namun, sepertinya Asya belum siap untuk menjelaskan apapun.

Kini, pria itu mengantar Asya sampai di depan pintu kamar kosnya ditemani dengan Rexa. Rencananya setelah ini Deon akan pulang dengan Rexa menggunakan motor teman sebangkunya itu.

"Gue pulang ya," ucap Deon dengan pelan.

Wajah Asya yang sebelumnya menunduk, kini terangkat. Diulasnya senyum kecil yang memperindah wajahnya. Namun, nyatanya senyuman itu bukanlah senyuman bahagia seperti sebelumnya. "Iya, hati-hati ya."

Deon mengangguk kemudian pergi dari hadapan Asya. Dia ingin memberi waktu untuk pacarnya itu sendiri karena sepertinya Asya tengah memiliki banyak pikiran di otaknya. Wajahnya terlihat lesu dan hal itu sangat membuat Deon khawatir.

Sesampai di parkiran, Rexa langsung menyalakan motornya dan bersiap untuk pergi. Namun, setelah Deon naik ke atas motor. Pria itu terdiam dan menatap wajah Deon dari kaca spionnya.

"Lo yakin mau ninggalin Asya?" tanya Rexa dengan pelan.

Deon menghela nafasnya sebelum menjawab. "Iya, gue yakin. Gue mau ngasih dia waktu sendiri buat mikir. Tadi selama diperjalanan gue kasih dia pilihan buat tetap tinggal atau kembalikan ke rumahnya. Ya gue tau, keluarganya nggak baik. Tapi, kalau di tinggal sendiri. Gue juga khawatir sama dia."

Rexa menganggukkan kepalanya setelah memahami ucapan Deon. Pria itu kemudian melajukan motornya dengan kecepatan standar hingga akhirnya sampai di rumah teman sebangkunya itu.

Deon turun dari motor dan diikuti oleh Rexa. Namun, sebelum itu dia mematikan motornya terlebih dahulu.

Deon yang bingung akhirnya membuka suaranya. "Loh, ngapain lo ikut turun?"

"Gue kan mau nginep," jawab Rexa dengan santainya yang membuat Deon mendengus kesal.

Pria itu tidak membalas ucapan Rexa. Namun, dia langsung masuk ke dalam rumahnya. Saat masuk, terkejutnya dia saat melihat Ayahnya sudah berdiri tepat di depan pintu masuk rumahnya.

"Ayah," ucap Deon pelan setelah melihat Ayahnya.

Wajah pria paruh bayah itu terlihat begitu menyeramkan, dingin dan siap untuk menghabisi orang yang berada di depannya.

Tiba-tiba saja, Rexa ikut berdiri di samping Deon dan menyapa ayah temannya itu dengan sopan.

"Eh, ada, Om. Apa kabar, Om?" tanya Rexa basa basi.

Ayah Deon yang bernama Ryan itu kemudian tersenyum kecil ke arah Rexa, walau tidak mengeluarkan suaranya.

Rexa yang menyadari kehadirannya menganggu. Dia pun pamit untuk langsung pergi ke kamar Deon. "Maaf sebelumnya, kayanya lagi mau bicara serius nih. Saya izin ke kamar Deon duluan ya, Om, Eon. Permisi."

Rexa berjalan cepat menuju kamar Deon yang berada di lantai dua. Sebelum masuk dia menyempatkan diri untuk memperhatikan anak dan ayah itu yang masih berdiri tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Kayanya bakal ada pertengkaran nih abis ini.

Bukan hal yang aneh jika melihat Deon dan ayahnya bertengkar, Rexa sudah beberapa kali melihat hal itu karena memang pria tersebut sudah lama mengenal Deon. Namun, pertengkaran mereka hanyalah pertengkaran biasa. Tapi sepertinya, kali ini akan menjadi yang luar biasa.

Rexa tidak mau ikut campur dan memilih untuk masuk ke kamar Deon. Walau tidak langsung bermain game. Namun, Rexa memutuskan untuk menunggu teman sebangkunya itu masuk ke kamarnya.

Di sisi lain, Deon masih terdiam menunggu ayahnya itu berbicara. Namun, mulut Ryan masih senantiasa terkunci. Merasa diabaikan, Deon memutuskan untuk meninggalkan Ryan.

Deon berjalan melewati ayahnya itu dengan pelan. Namun, langkahnya kemudian terhenti karena Ryan menahan tangan putra bungsunya itu.

"Ayah mau, kamu putus dengan Asya!" pinta Ryan dengan suara pelan. Walau pelan, Deon jelas mendengar apa yang ayahnya inginkan itu. Deon menoleh ke arah Ryan dan melempar tatapan tajam ke arah ayahnya itu.

"Nggak ada yang bisa ngehalangin hubunganku dengan Asya!" tegas Deon sembari melepas cengkraman tangan Ryan.

Deon berjalan kembali. Namun, ucapan ayahnya kemudian membuat langkahnya kembali berhenti.

"Asya beda agama sama kita, untuk apa pertahanin dia!"

Memang benar, Asya dan Deon berbeda agama. Namun, apa yang bisa pria itu lakukan ketika perasaannya sudah berlabuh pada perempuan yang tepat.

Ingin sekali Deon memaki ayahnya itu. Menjelaskan bagaimana dia amat mencintai Asya. Namun, pria itu memutuskan untuk menutup mulutnya dan bergegas pergi ke kamarnya.

Saat pintu terbuka, Deon cukup terkejut karena Rexa ternyata menguping pembicaraannya dengan sang Ayah.

Rexa yang ketahuan pun langsung salah tingkah dan memutuskan untuk menyalakan game milik Deon.

Diperhatikannya teman sebangkunya itu yang terlihat tidak semangat dan banyak pikiran.

"Mau main nggak?" ajak Rexa sembari mengangkat joystick yang berada di tangannya.

Deon tiba-tiba saja ikut duduk di samping teman sebangkunya itu dan mengambil joystick lain dan ikut bermain.

Selama permainan, Rexa mengajak Deon bercerita. Menanyakan bagaimana perasaan temannya itu dan ini lebih mudah dibanding harus menginterogasinya.

Setelah satu babak selesai, Rexa kemudian memperhatikan wajah Deon yang belum kembali seperti sebelumnya. "Lo nggak papa kan?" tanya Rexa dengan pelan.

Deon terdiam tanpa bisa menjawab dan kemudian matanya memerah. Hal itu membuat panik Rexa dan dia langsung mencari tisu untuk teman sebangkunya itu.

Setelah dapat, dia langsung menyodorkan sekotak tisu yang dia dapat di sisi kasur. "Nih, tisu, lap air mata lo."

Deon mengambil beberapa lembar tisu yang ditawarkan Rexa dan mengelap air matanya yang turun.

Rexa kemudian mengelus punggung Deon dengan lembut, berharap bahwa teman sebangkunya itu akan lebih lega setelah menangis.

Perlahan suara tangis Deon menghilang dan Rexa melirik sekilas temannya itu. "Kalau lo mau nangis lagi, silakan," ucap Rexa yang berhasil membuat Deon kembali menangis.

Eh, loh kok nangis lagi, batinnya.

Dia pikir, Deon tidak akan menangis lagi. Namun, semuanya salah. Kini, tangis temannya itu lebih nyaring dari sebelumnya.

Rexa yang berada di sampingnya hanya bisa menghela nafasnya. Bingung harus melakukan apa. Baru kali ini dia melihat Deon menangis dan hal itu membuatnya bingung.

Rexa berinisiatif untuk mengelus punggung Deon lagi. Namun, tangannya mengambang karena tiba-tiba saja temannya itu berdiri.

Rexa mengangkat wajahnya mengikuti gerakan yang temannya itu lakukan. "Lo mau kemana?"

"Pipis," jawab Deon singkat.

Pria itu kemudian pergi menuju kamar kecil, meninggalkan temannya yang kini menatap heran ke arahnya.

Setelah selesai, Deon kembali duduk di samping Rexa. Wajahnya memerah karena tangisnya tadi. Syukurnya, tangisnya sudah berhenti dan sepertinya ini adalah saat yang tepat untuk Rexa bertanya.

Sebelum bertanya pria itu melirik ke arah Deon beberapa kali. Takut-takut jika temannya itu menangis lagi dan tidak bisa diajak bicara.

"Kalau mau ngomong, ngomong aja," ucap Deon tiba-tiba yang membuat Rexa salah tingkah.

Pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak pria itu tiba-tiba saja hilang dan membuat Rexa bingung. Karena menunggu cukup lama, Deon akhirnya menoleh ke arah Rexa.

"Kenapa sih, hidup gue gini banget, keluarga hancur, percintaan juga," lirih Deon yang langsung membuatnya bersiap untuk menangis.

Rexa yang menyadari hal itu langsung memeluk temannya itu. Biarlah, Deon menangis di pelukannya karena dia tau bahwa temannya itu tengah dalam perasaan yang kurang baik.

"Kenapa, Rex, kenapa nggak ada yang berjalan lancar di hidup gue!"

"Sabar, Eon. Walau lo punya keluarga yang nggak baik, walau percintaan lo nggak ada kejelasan. Tapi, gue tetep bakal disini, sama lo. Gue selalu bakal nemenin lo."

Mendengar ucapan Rexa, tangis Deon semakin mengencang. Pria itu bahkan membalas pelukan Rexa dengan erat.

"Makasih, Rex, makasih."

***

Yeay, part 21.

Semoga suka ya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro