16 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Buatlah cerita dengan tokoh utama seorang anak kecil yang sedang bersembunyi dari kejaran hewan buas. Tambahan, anak kecil di sini berumur sekitar 5-13 tahun ya.

*゚+ 440 kata *゚+

"UMI!" pekikku panik. Aku memang bukan atlet lari, dan jika dilombakan dengan anak Pak RT, dia pasti pemenangnya. Namun, kali ini atlet lari nasional pun akan tertinggal jauh dan dimakan biawak di belakangku.

Suara gemericik dedaunan kering di belakangku semakin dekat. Jantungku ikut melompat.

"ABAH!" jeritku, berharap ada orang yang mendengar dari dalam hutan.

Sekali aku menoleh ke belakang, biawak berukuran raksasa itu menjulurkan lidahnya. Telapak kakiku langsung terasa geli hanya dengan membayangkannya menyentuh kulitku. Demi saus tartar, sekarang aku lebih cepat dari motor bebek nenekku.

Jalanan setapak yang kukenal sudah mulai tampak, tetapi di arah yang sama seekor biawak yang tak kalah besar ikut menampakkan diri. Ekornya melambai-lambai mengikuti gerakan tubuhnya menghampiriku.

Panik, aku mulai menangis. Bagaimana ini? Bagaimana kalau aku pulang ke rumah tanpa kaki? Bagaimana kalau kedua biawak ini adalah suami istri dan mereka akan menculikku ke sarangnya?!

"UMI! TOLONGIN ADEK!" Aku mulai memeluk batang pohon besar.

Sebenarnya, aku selalu kalah saat lomba panjat pinang individu dan memilih mandi di kolam lumpur. Kalau berkelompok, aku selalu dilempar paling atas karena beratku yang paling ringan. Tapi setelah latihan yang menguras jiwa dan raga, aku yakin setelah ini Monas pun kupanjat.

Tahu-tahu saja aku sudah berada di puncak pohon sambil mengatur napas. Sekali melongok ke bawah, dua biawak itu sedang main kuda-kudaan. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan dan bagaimana bisa biawak tahu caranya main kuda-kudaan. Aku jadi berpikir apakah Pak RT yang mengajarinya.

Longokan kedua, aku melotot dari ketinggian. Air mataku jatuh lagi. Bukan karena takut lantaran di bawahku dua biawak itu mengeluarkan suara aneh--itu juga, sih, sebenarnya--tapi karena aku sadar kalau aku tidak bisa turun lagi.

"TOLONG!" Aku mulai menangis kencang selama berjam-jam di atas pohon. Biawak itu tetap tidak mau pergi. Mereka terus menjulurkan lidahnya seolah meledekku, kasihan nggak bisa turun!

Hingga petang, Umi datang dengan senjata supernya--sendal merk burung walet. "Astagfirullah, Adek! Pantes nggak pulang-pulang. Mana santan titipan Umi?!" Kemudian Umi melihat di bawah pohon tempatku memanjat, dua ekor biawak jantan sedang asyik tergoler. "Heh, pulang nggak kamu!" Sebelah sendalnya melayang tepat di moncong biawak. Satunya lari terbirit-birit, satunya tidak bisa bangun dari posisi terlentang.

Masalah biawak selesai, tetapi tidak dengan santan Umi. Sambil menyedot ingus, aku beralibi, "Santannya dimakan biawak, Mi!" Padahal uangnya hilang di tengah pelarianku.

"Turun kamu!"

Pantatku kesemutan. "Nggak bisa!" pekikku dengan suara bergetar. "TOLONG!"

Senja itu, mobil pemadam kebakaran menerabas hutan di sekitar belakang rumahku. Sebenernya, terjebak di atas pohon tidak buruk-buruk amat. Aku bisa melihat matahari tenggelam dari atas sini. Yang menyeramkan adalah setelah diturunkan. Karena Umi sudah siap dengan sendal burung waletnya yang sudah hilang sebelah.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro