(VIII) Gerbang Kehidupan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Denta tersadar, ia menatap sekeliling dan sekali lagi kecewa. Dirinya tak mendapatkan apapun selain kesepian yang menemaninya di sini.

Akan tetapi ada alunan lagu yang menggelitik telinganya, membuatnya kembali mencari sesuatu di tempat yang kosong itu. Ia melangkah, berlari, mempertajam tiap indra yang dipunyanya untuk menemukan hal selain sepi itu di sini.

Suara itu semakin jelas, rasanya itu bukan alunan lagu. Akan tetapi sebuah suara air yang mengalir, melewati banyak benda hingga menghasilkan bunyi gemericik yang begitu indah.

Denta melihatnya, di sana. Di antara warna putih polos dan sepi yang hadir, ada sebuah gumpalan awan melayang yang terlihat lebih kelabu. Di atasnya pula terdapat sebuah lubang transparan, nampak seperti danau yang tenang.

Seakan menggoda Denta menyentuhnya, dan gadis berambut putih itu pun melakukannya. Jarinya menyentuh sesuatu yang cair itu dan menimbulkan riak di benda tersebut, lalu getaran yang begitu hebat dapat Denta rasakan melalui kakinya.

Sedetik kemudian tampilan dari lubang itu menjadi seperti cermin. Memperlihatkan bagaimana keadaan Denta yang terlihat begitu kosong. Kulitnya pucat pasi, rambutnya memanjang bahkan sampai menutupi tubuh telanjangnya itu.

"Aku siapa?" tanya gadis yang tak tahu ia sedang apa di sini. Lalu kemudian getaran lain muncul, membuat riakan lain juga ikut timbul dalam cermin itu.

Sedetik kemudian pun tampilan dari Denta menghilang, berganti dengan putaran ingatan yang membuat gadis itu terdiam. Suara-suara juga keluar dari tampilan gambar yang bergerak itu.

Membuat tangannya kembali gatal untuk menyentuh layar tak tersrntuh itu. Di sana, jarinya menyentuh dirinya. Ia melihat seseorang yang sama. Sama seperti tampilan cermin sebelumnya.

"Apakah itu aku?" tanyanya tak pasti, lalu gambar bergerak itu memperlihatkannya kembali pada kejadian mengerikan itu. Kejadian yang membuatnya terjebak di sini.

Suara tamparan keras itu menggema tak berhenti, membuat jantung Denta berdegup begitu kencang hingga ia kembali mendapatkan kesadaran dan ingatannya secara utuh.

Dadanya kembang kempis, keringat sebesar biji jagung itu keluar dari pelipisnya serta ia bahkan tak dapat berdiri dengan benar. "Aku mengenali diriku, a-aku adalah Denta!" monolognya pasti, ia telah mengingatnya.

Ia seharusnya sudah mati. Akan tetapi bagaimana bisa? Pikirnya.

Gambaran lain pun mengisi kepalanya, tentang mimpi yang tak begitu diingatnya terasa samar di sana. Denta yakin itu pasti sebuah gambaran yang diberikan para Dewa untuk memenuhi takdirnya, sama seperti dirinya yang telah mengorbankan dirinya.

"Tetapi kau masih harus memenuhi takdirmu yang lain Denta anakku." Suara itu menginterupsinya, membuat Denta mencari ke sekeliling untuk menemukan siapa yang ada di tengah kekosongan putih seperti ini.

"Jangan heran, kau hanya perlu mendengarkanku dan ... menjawabku." Denta meneguk salivanya dengan berat, suara halus itu bergema. Seolah memiliki sesuatu sihir yang jika digunakan maka akan dapat meluluh lantahkan dirinya sekarang juga.

"Ba-baiklah," jawab gadis itu dengan terbata, lalu di depannya muncul lagi sebuah gumpalan awal yang terlihat berwarna biru bercampur kelabu serta sesuatu yang melayang-layang di atasnya, seolah mengitari sesuatu benda yang Denta tak yakin dapat melihatnya.

"Kau harus segera memenuhi takdirmu, seperti apa yang kukatakan sebelumnya ...." Kalimatnya tergantung, membuat Denta kembali bertanya-tanya akan keputusannya untuk mendengar suara yang entah siapa itu.

"Apa kau bersedia untuk itu?" Karena Denta pikir tak ada hal lain yang bisa dilakukannya dan mungkin ini adalah pilihan terbaiknya ia mengangguk, lalu diikuti dengan napasnya yang teratur sebuah benda di atas gumpalan awan kelabu itu muncul.

Sihir-sihir pun ikut turun dan menyapa partikel yang melingkari sebuah benda itu. Sesuatu itu pun perlahan berubah menjadi sebuah tongkat berwarna putih dengan corak emas yang memiliki mata pisau seperti ombak dengan bentuk melingkar dan memiliki sebuah permata di tengahnya.

Denta takjub, bahkan tanpa sadar ia sudah berada di depan gumpalan awan yang sekarang menjadi altar padat untuk benda itu. Dengan mata kelabunya ia melihat bahwa permata tak berwarna itu memiliki ukiran juga. Ukiran spiral yang berlawanan dengan warna pelangi indah.

"Maka dari itu keluarlah dari sini dan penuhi takdirmu." Denta merasa ada dorongan yang begitu kuat hingga ia menggenggam benda itu di tangannya, tongkat yang Denta pikir adalah sebuah tombak cantik ini mungkin sebuah hadiah agar ia memenuhi takdirnya.

Namun, setelah beberapa saat suasananya kembali hening. Seolah meninggalkan Denta sendiri dengan keadaan yang menggebu-gebu di sana tanpa tahu ia harus melakukan apa ke depannya.

"Ja-jadi bagaimana aku keluar dari sini dan memenuhi takdirku itu?" tanyanya yang tak dijawab oleh apapun.

Denta tak tahu apa yang harus dilakukannya. Namun, sebuah cahaya terang dari permata tombaknya menunjuk ke arah sana, menariknya serta Denta hingga ia berada di depan sebuah gerbang tinggi berlapis perak dengan wangi pinus serta dedaunan hijau yang begitu Denta kenal.

'Perasaan ini?' batinnya itu menebak tidak pasti. Lalu sebuah gemuruh terdengar dari balik badannya, dan ketika ia menoleh ke sana sesuatu muncul dari berbagai arah.

Di ruang sepi yang hampa ini, tercipta banyak lubang lalu keluarlah semacam tentakel dari lubang-lubang itu hingga bertumpuk dan kemudian pergi, meninggalkan sebuah patung yang Denta kenal.

"De-Dewiku?" Denta bertekuk lutut di sana, ia tak kuasa menahan aura berat yang menumpuk di pundaknya ketika empat mata itu menatapnya dari balik penutup putih yang kaku.

"Kamu harus menghadapi kami terlebih dahulu sebelum memenuhi takdirmu." Kedua suara yang saling bertolak belakang itu membuat Denta kalang kabut, ia semakin ketakutan dan gemetar bukan baik. Melawan seorang Dewi bukanlah sesuatu yang bisa ditakdirkan untuk orang biasa sepertinya, 'kan? Pikirnya begitu.

Lalu sebuah tangan halus mengangkatnya, menangkup dagunya hingga matanya bertemu dengan kedua manik yang begitu sempurna itu ada di hadapannya. "Maka dari itu gunakanlah pemberian para Dewa itu dan kalahkan kami, lalu kamu bayarkan pengorbananmu yang sia-sia itu dengan bawakan kami empat jantung sebagai tanda pemenuhan takdirmu, anakku."

Suara halus yang berwibawa itu seolah menghipnotisnya, ia tahu ini. Yang sedang berbicara dengannya adalah Skobris, Dewi putih dari Dua Dewi keseimbangan yang menjaga tiap rumah ibadah serta hidup dan matinya Loctanus.

Lalu sebuah tangan lain menariknya ke belakang dan membuatnya berdiri dengan tegak, memperlihatkan bentuknya yang tak bisa Denta katakan begitu jelas. Walau begitu sosok itu terlihat begitu anggun dibalik jubah tipis yang begitu tajam.

"Denta anakku yang malang, mulailah angkat senjatamu sebelum kepalamu terpenggal untuk kesekian kalinya." Suara yang ini begitu serak dan penuh sihir yang memabukkan, membuat Denta hampir tak fokus dan tak dapat melihat dengan benar, ia adalah saudari dari Dewi Putih. Dewi Foslux, seseorang Dewi yang menjaga kemarahan dari tiap makhluk seram dan penjaga marabahaya dari malam merah yang bisa saja menghancurkan Loctanus.

Walau begitu kagumnya kali ini Denta dalam bahaya, melihat selembar kain itu hendak memisahkan lehernya membuat si gadis menunduk, dan membiarkan rambutnya yang belum siap untuk turun terpotong dan terbakar tak menyisakan apa pun.

"Baiklah, demi memenuhi takdirku aku akan mengalahkan dan melewati gerbang kehidupan itu!" Denta mengangkat tombaknya dengan cukup berani, walau badannya agak tertunduk akan tetapi tungkainya sedang menahan kumpulan energi yang siap ia ledakkan.

Lalu dengan sekali hentak Denta berputar dengan mata pisau tajam itu yang siap menebas apa pun di depannya, tak sampai sana. Karena ia tahu lawannya akan menjadi sesuatu yang sulit Denta mengalirkan sihirnya cahayanya dengan pekat dari balik ukiran tongkatnga untuk menciptakan arus yang menarik gravitasi darinya.

Selain itu gadis itu juga menajamkan auranya dan melihat gerak dari dua Dewi di balik permata spiral dan menembaknya dengan tidak akurat. "Yah, kupikir ini memang tak akan mudah."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro