(VII) Bunga Malam || Undangan Itu Memanggil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tersadar, seolah tak pernah ada apa pun yang mengenaiku. Tanganku terantai, tak tahu karena apa. Kutolehkan pandanganku pada seseorang yang memelukku ini, wajahnya teduh seperti hangatnya air hujan yang membasahiku.

Ah, dia Ibuku?

Aku tak mengerti. Kenapa kami berdua bisa berada di dalam ruang sel sempit ini, bahkan aku pun tak dapat merasakan sedikit pun udara segar dari sini.

"Denta kau bangun?" bisik wanita yang memiliki warna rambut sama itu padaku, tangan terentang lebar. Aku pun merasa tarikan kuat untuk mendekatinya.

Aku mendekat, dan dia mendekapku. Kuat. Sangat kuat.

Bahunya bahkan ikut bergetar hebat. Tak tahu karena apa, hanya saja aku tidak pernah tahu. "Pergilah dari sini, karena kau akan mengingatnya. Kau pasti akan bisa lepaa dari kutukannya."

Aku tak mengerti, dari matanya berlinang air sebening kristal. Rasanya aku tak pernah seperti itu. Ibu membicarakan apa, ya?

"Kamu Denta. Anakku tersayang."

.
.
.

Anak itu terbangun, memandang dirinya yang tak berguna dan kembali menangis. Meraung di dalam kamar sepi itu, mengundang temannya yang lain untuk masuk dan memeluknya.

Mereka baru kenal sebentar, akan tetapi rasanya itu sudah seperti teman lama. Delan menyeka air matanya, lalu melepas pelukannya. "Habis ini kita akan melakukan apa?" tanyanya tergugu.

Anak laki-laki itu baru berusia dua belas tahun, akan tetapi seluruh keluarganya telah pergi. Meninggalkan dia sendiri di sana. Tanpa sedikit pun arahan.

"Kupikir guru kami akan memiliki jawabannya. Apa kau ingin ikut ke akademi? Kau juga bisa tinggal di sana ...," balas gadis itu dengan senyum hangat.

Delan mengangguk, membuat keempat orang lain yang berada di sana mengangguk mantap satu sama lain.

Meninggalkan secercah cahaya yang membelah Kiora. Terbang melewati sela-sela udara, meliputi lara dan asa yang ikut terbang bersamanya, lalu melipir masuk ke dalam celah Inscapitrum yang terdalam.

Seolah mengisi celah retak yang sudah ada sejak lama di sana. Membangunkan dua makhluk yang menjadi Ibu dari segalanya. Makhluk yang abadi.

Mereka berdua saling menatap di bawah sana, di tanah Loctanus kemilikannya. Plasum's Vieta pun akan kembali pada ciptaan ledakan kala itu, membiarkan makhluk kuasa serta kuas takdir yang serakah merasakan.

Merasakan setidaknya sedikit kepuasan yang akan memenuhi hati mereka.

Hati yang serakah.

Serakah karena Denta.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

***

.
.
.
.
.
.

Denta terbangun dengan sebuah kalung asing yang tak dapat dilepaskannya, kedua orang tuanya khawatir. Namun karena Denta tak ingin berlarut-larut dalam hal itu dia mencoba mengabaikannya dan menenangkan orang tuanya. Hingga pada saat bahwa kalung itu menarik sihir yang begitu pekat lalu mengundang perwakilan kerajaan mengundang Denta untuk menghadiri pesta kebun.

Di sana ia terduduk sendiri menikmati acaranya, hanya dirinya dengan sebuah cangkir teh lalu di sekitarnya banyak orang yang sama sepertinya. Walau begitu tenang, ia merasa was-was karena banyak mata orang berkuasa jelas-jelas memandanginya dengan tajam.

Seolah menginginkan dirinya begitu dalam. Karena tak nyaman dengan hal itu ia hendak pergi, saat dirinya berdiri dari tempatnya acara itu berhenti.

Alunan alat musik yang semulanya bersuara itu pun ikut senyap, seolah begitu saja dari awal. Denta terdiam, ia menduga-duga apa yang sedang terjadi. Lalu sebuah lubang besar terbuka dari atas langit. Menampilkan gambaran lain dari dirinya selayaknya cermin.

Tak berhenti samoai disitu Denta kembali dikejutkan ketika tanah yang ia pijaki bergetar, lalu terbukalah lubang lain di depannya. Ia melihatnya, lima orang yang berpakaian seragam itu memanggilnya secara serentak.

"Denta! Kita harus pergi dari sini," titah seseorang yang di tengah. Wajah mereka tidak terlihat di karenakan topeng yang terpasang apik.

Tak sempat Denta merespon getaran lalu suara dentuman lain terdengar. Gadis itu menoleh ke belakangnya, di sana ia melihat lagi mereka. Keempat orang lain berpakaian berwarna hitam memanggilnya pula secara serentak.

"Denta kau sudah menjual jiwamu pada kami! Kau harus ikut kami." Denta tentu kembali heran, ia tak dapat berpikir jernih. Bahkan ia mulai takut.

Seolah tak diberi napas, getaran lain muncul. Lubang itu pun terbuka, menarik Denta dengan tentakel yang muncul dari lubang antah berantah itu. "Argh, ada apa ini?!" Denta kesal. Orang-orang yang tadi ditemuinya seolah tak menghiraukannya lagi (?) Karena mereka diam dan hanya berbaris rapi di sana. Lalu sedetik kemudian ia mendengar sesuatu, lebih seperti bisikan yang keluar dari sesuatu.

Lalu diikuti pula dengan sembilan orang tadi bergerak dan saling menyerang, membuat Denta sedikit terhempas dari hasil benturan sihir yang meledakkan tempat itu.

"Aih, kenapa bisa seperti ini?!" Walau keadaan begitu kacau balau akan tetapi suara yang di dengar oleh Denta tak ada sama sekali, bahkan jika ada hanya suara napas dan beberapa kali bisikan atau ucapan yang didengarnya saat orang-orang itu berbicara.

"Kau! Hecate, Nevah, Alastor dan Daeva. Kujamin akan masuk neraka setelah kepalamu kami penggal!" Kata seseorang yang Denta tak pasti itu siapa.

"Yah, kalian juga anak-anak kecil. Ken, Eve, Oxy dan Darel ... Aku mengingatnya bahwa hari ini adalah hari kematian kalian!" Orang yang lainnya menyahut lalu tertawa tanpa jeda untuk kekacauan itu.

Di tengah kebingungan yang melanda itu liontin Denta bersinar terang lalu melayang, diikuti dengan suara getaran kuat yang memekakan telinganya. Dari balik permatanya yang menghasilkan sinar berwarna-warni itu sebuah tongkat menempel pada tangan Denta, seolah minta digunakan.

Selain itu sihir yang pekat juga seolah mengikatnya lalu melepasnya, membangkitkannya dari rasa terkekang dan aneh yang dideritanya.

Karena Denta sekarang harus bangun dari mimpinya.

Dari bunga tidurnya.

Dari matinya.

Diikuti dengan suara yang memekakan itu pula keadaan di sekitarnya menjadi lebih kacau. Bahkan orang-orang di sana terlihat melebur seperti abu dan menyatu pada warna putih yang membawanya ke sebuah tempat.

Ketidakhampaan itu pun menyapa.

"Dentaku yang malang ...."

***

"Huh? Aku di mana?" tanyaku sendiri, tempat ini putih dan sepi. Selain itu aku tak seperti sebelumnya ....

Seperti apa aku sebelumnya?

Aku kembali bertanya dan menemukan kebuntuan ... apa yang benar-benar harus kulakukan? Ung.

Aku tak mengingatnya. Atau mungkin saja aku hanya mengabaikannya?

Nevah ... Hecate, Daevah dan Alastor itu penjahat 'kan?

Aku melihatnya, jantung mereka berdetak cepat di sana. Akan tetapi semuanya seirama dan bentuknya sama besar, selain itu jantung siapa ini? Kelima orang tadi kah? Mereka juga telihat sama walau berbeda warnanya.

"Denta kau harus cepat bangun, nak."

Suara itu lagi, aku tak mengerti. Bagaimana bisa? Aku 'kan sudah sadar.

Oh?! Apa itu? Kenapa di antara putih hitam keunguan itu seolah mendekat dan semakin besar!? Apa itu akan melahapku?

"Oh tidak, aku harus benar-benar cepat bangun!?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro