Rhyme 4 : Perseteruan Dua Batu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara deru mesin jet yang agak melengking ketika naik ke langit terasa menenangkan bagi Michel. Meskipun beberapa orang mengatakan suara itu cukup mengganggu. Nostalgia adalah pemicu utama rasa tenang si gadis berambut uban. Sayang sekali, siang ini Michel tidak membawa kamera.

Setelah turun dari taksi online, Michel berdiri di pinggir pantai. Tangan kanan membawa sekresek berisi dua buah onigiri dan air mineral. Di tangan kiri ada sepasang sepatu pantofel yang dijinjing. Setelah memindahkan onigiri ke dalam tas tangan, Michel menyimpan sepatunya di kresek. Kemudian mengikat kresek itu di tali tas tangan yang melingkar di bahu.

Menginjak pasir Pantai Kelan, rasanya cukup unik. Panas matahari dan pasir yang terasa seperti kerikil-kerikil halus. Diiringi suara deru pesawat yang terbang dan mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Suasana yang cukup kuat untuk melupakan masalah sejenak.

Area wisata Pantai Kelan berbatasan langsung dengan pagar area landasan pacu Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Cukup berjalan menyusuri pantai ke arah utara, pagar besi bandara sudah terlihat.

Michel menyusuri pantai ke arah utara hingga pagar bandara terlihat. Suara deru pesawat jet terdengar lagi. Sambil membuka aplikasi Flightradar24 di ponselnya, Michel melihat ke arah langit. Pesawat yang lepas landas terlihat naik ke udara. Setelah suara pesawat tidak lagi terdengar, Michel mendudukkan diri di atas pasir pantai.

Pemandangan kapal-kapal nelayan yang tertambat di pinggir pantai menarik perhatian Michel, hingga gadis itu teringat sesuatu. Ia mengeluarkan dompet dan membuka sebuah kantong kecil berisi foto yang dilipat. Sebuah foto yang mirip dengan pemandangan di depan Michel. Gadis itu membalik foto tersebut dan membaca tulisan yang tertera di sana.

'Michel, kapan-kapan hunting foto pesawat di Pantai Kelan yuk? - Mama'

Michel terdiam menatap pantai sepi. Membiarkan dirinya dibawah terik matahari. Bertopang dagu mendengarkan ombak dan suara-suara pesawat di landasan pacu. Membayangkan masa depan yang tidak akan pernah terjadi.

Gadis berambut uban itu tak berpindah hingga matahari berada di batas garis horison. Langit yang biru berubah keemasan dan gelap. Michel menikmati pemandangan alam itu meskipun hatinya kalut. Setidaknya sampai seorang pria datang mendekati. Michel hanya menoleh sejenak lalu kembali melihat ke arah matahari di ujung horizon.

Pria itu berambut keriting yang berwarna putih ke abu-abuan. Ia membenahi posisi kacamatanya dan duduk di sebelah Michel. Ia ikut memandang matahari yang hampir tenggelam. Sejenak pria itu melirik ke arah Michel sebelum memulai pembicaraan.

"Michel, ngambek sama Ayah?" tanya pria itu.

Gadis yang ditanya tidak mengalihkan pandangan.

"Ayah masih tanya gitu? Yang bener aja?"

"Michel mau menjelaskan ke Ayah, kenapa?"

Si gadis berambut uban akhirnya menoleh ke arah pria yang lebih tua. Meskipun wajah gadis itu terlihat datar, pria itu bisa merasakan emosi yang terpancar dari sorot matanya.

"Ayah mau nikah lagi kan? Michel tau. Terus kenapa Ayah mau nikah lagi? Apa karena lagi birahi kayak kucing oren di depan rumah?" sindir si anak gadis.

"Ayah punya alasan tersendiri kenapa Ayah harus menikah lagi."

"Apa? Karena jatuh cinta sama perempuan lain? Atau emang Ayah udah selingkuh dari Mama sejak dulu?" tuduh Michel. "Ingatan Michel enggak sejelek itu kok."

Kini pria yang lebih tua menatap lamat-lamat wajah si anak gadis.

"Ayah enggak pernah selingkuh dari ibumu."

Pernyataan pria itu malah membuat dahi Michel berkerut tajam.

"Terus jelasin ke Michel, kenapa Ayah baru deketin Michel setelah Mama meninggal dunia?" ucap gadis itu pernah sarkasme. "Oh, Michel tau. Ayah berusaha mengejar keadilan!"

Michel mengalihkan pandangan kembali menatap matahari yang sudah tenggelam. Pria yang lebih tua memilih bungkam.

"Michel marah. Ayah dulu se-egois itu mengejar keadilan, sampai menelantarkan Mama, Michel, dan Kak Arwin. Sekarang Ayah mau nikah lagi cuma buat cari koneksi atau jabatan lagi kan? Memangnya selama ini keluarganya Ayah ini dianggap apa? Bidak catur politiknya Ayah?" ujar si anak gadis dengan nada bergetar.

"Enggak, Ayah enggak pernah menganggap kalian seperti itu. Ayah tau ini bukan hal yang sepenuhnya benar. Tapi memang harus seperti ini Michel," jelas pria yang lebih tua.

Begitu mendengar penjelasan itu, Michel menoleh dengan mata berkaca-kaca.

"Ayah paham gak sih?! Michel enggak butuh jabatannya Ayah! Michel itu butuh Ayah sebagai ayahnya Michel! Bukan pejabat eselon satu, bukan auditor yang tugasnya nangkap koruptor! Emang ayah enggak merasa berdosa sudah menelantarkan Mama? Murah banget harga kematiannya Mama? Di samakan sama anggrek hitam?" racau si gadis berambut uban.

"Michel, enggak seperti itu. Anggrek hitam itu enggak ada hubungannya sama ibumu," bantah Ayah Michel.

"Tapi anggrek hitam sama calon istri barunya Ayah emang buat koneksi jabatan kan! Ayah emang cari kekuasaan kan!"

Ayah si gadis memilih diam. Beliau tidak lagi menanggapi ocehan si anak gadis. Bahkan pria itu memalingkan muka, menghindari sorot mata penuh kekecewaan dari Michel. Si anak gadis hanya bisa menghemat napas kembali menatap lautan di depan. Keduanya terdiam membiarkan pikiran masing-masing larut bersama deburan ombak di malam hari.

Seorang laki-laki datang mendekati ayah dan anak perempuan yang sedang duduk memandangi pantai. Laki-laki itu berdiri tepat di belakang mereka berdua.

"Udah selesai debatnya? Aku ngantuk nih. Balik yuk," tawar laki-laki itu.

Ayah Michel bangkit dari duduknya sambil membersihkan pakaian dari pasir pantai.

"Iya, ayo balik Michel. Kakakmu belum tidur sejak dari Banyuwangi," ujar pria yang paling tua. Beliau berbalik meninggalkan Michel dan kakaknya.

Arwin mengulurkan tangan di depan wajah adiknya. Michel menerima uluran tangan itu dan berdiri. Sejenak Michel membersihkan bajunya lalu berjalan menuju mobil Innova Venturer yang terparkir di dekat pantai. Tanpa aba-aba Arwin merangkul pundak Michel. Otomatis gadis itu menoleh ke arah si kakak.

"Sabar ya, Ayah emang gitu."

Michel hanya bisa mengangguk setuju dengan perkataan Arwin.

"Ngomong-ngomong, kartu kunci kamarnya mana?" tanya si kakak.

Langkah Michel terhenti seketika. Ia langsung mencari kartu yang dimaksud, tapi tak kunjung menemukan. Dari gestur si adik yang kebingungan, Arwin bisa menyimpulkan. Laki-laki itu menghela napas panjang sambil memijat pelipis.

"Kak, Michel lupa kartu kunci kamarnya di mana."

Malam itu, Arwin yakin. Ia harus membayar denda menghilangkan kunci kamar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro