TEAM

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi lo dari panti asuhan?" Dylan mendudukkan diri di ambang pintu, menatap gadis muda yang tengah menyandarkan dirinya di sofa.

Gadis muda itu mengangguk sambil sesekali menyeruput teh hangat yang dibuatkan Vino. Mereka sudah berada di kos-kosan milik Dylan. Terpaksa gadis itu dibawa kesini agar tidak terjadi lagi hal-hal yang tak diinginkan.

"Kebakaran kan? Terus lo kabur?" Kali ini, Vino yang tampak penasaran dengan asal usul si gadis.

"Ya...aku gak kabur. Tapi pantinya pindah. Panti aku akhirnya nyari adopter buat ngurangin jumlah anak di panti. Supaya leluasa karena panti barunya lebih kecil." Terang si gadis, masih belum berani menatap mata kedua laki-laki itu.

Baru saja Vino ingin menyahut, suara gadis itu kembali menginterupsi pertanyaan dalam benaknya. Atau lebih tepatnya menjawab pertanyaan itu sebelum diajukan. "Aku yang pertama di adopsi orang. Ibu-ibu muda, cantik, ramah. Tapi itu semua cuma luarnya. Nyatanya dia..."

Kali ini, perhatian Dylan dan Vino terpusat kearahnya. Menunggu kalimat selanjutnya yang meluncur dari belah bibir gadis itu. "Dia emang nyari cewek-cewek muda. Untuk...ya, dia itu mucik—"

"Udah. Kita ngerti. Jadi orang-orang tadi suruhan si tante itu, eh—siapa nama lo?"

Gadis itu mengangguk membenarkan, lantas menjawab pertanyaan Dylan. "Kesya Arabella."

Dylan mengerti. Laki-laki itu menarik tangan Vino yang tengah duduk di sofa sebrang. "Lo boleh disini dulu sampe kapanpun yang lo mau. Tapi tidur di sofa aja, gak apa-apa?"

Gadis itu tersenyum lalu kembali mengangguk sebagai jawaban.

Vino dan Dylan langsung menuju kamar Dylan. Laki-laki yang lebih muda terkikik geli tiba-tiba. Membuat Dylan sontak menoleh. "Kenapa lo?"

"Bang, rumah lo jadi tempat penampungan orang aja sekalian! Hehe."

Setelahnya, hanya jitakan keras yang dapat membungkam total mulut Vino.

***

Pagi ini, ketiga anak muda itu tengah berjalan-jalan di taman kota. Kata Dylan, ia ingin dua remaja di sebelahnya tak terlalu memikirkan masalah mereka dengan mengajak keduanya berbincang mengenai kesukaan satu sama lain. Selain ia tahu Vino itu pecinta piano yang sedikit lagi lulus, ia juga tahu posisi Kesya sebagai anak kelas dua sekolah menengah atas yang pandai bernyanyi. Dylan merasa secara tak sengaja kesukaan mereka itu sama. Sama-sama tentang musik.

Gitu-gitu, Dylan juga kan pandai memainkan gitar. Mau gitar listrik ataupun akustik.

Hingga akhirnya, mata mereka terpusat kepada seorang laki-laki muda dengan pakaian rapih tengah duduk di pinggir taman. Memainkan gitar akustiknya sambil memohon belas kasihan orang-orang. Sesekali bersenandung kecil, sayangnya para manusia lain di sekitar taman tampak acuh terhadapnya.

Kesya yang pertama berlari menghampiri laki-laki itu. Diikuti Vino baru Dylan. Kesya dengan senyum ramahnya menepuk pundak orang itu, lalu bertanya mengapa ia disini, bermusik sendirian tanpa ditemani siapapun.

"Aah...cuma cari uang. Buat bayar ujian."

Lagi-lagi hati Dylan harus kembali terenyuh mendengar ujaran anak muda itu. Yang menjadi pertanyaan dalam benaknya adalah, kenapa anak dengan dandanan sebegini berkecukupan harus mencari uang sendirian?

"Orang tua gue gak peduli. Karena sekolah gue swasta, jadi apa-apa bayaran. Biasanya bantuin temen kerja di toko es krim buat dapetin uang, tapi sekarang tokonya bangkrut." Ujarnya dengan air muka sendu.

Dylan kembali bertanya, tapi dengan sedikit kekehan. "Ada...rumah kan?"

"Hah? Ada lah, bang. Kenapa?"

Menghembuskan napas lega. Artinya, ia tak perlu repot-repot memberi anak ini tumpangan juga.

"M-maksudnya orang tua lo ada di rumah, kan?"

Laki-laki itu menggeleng. "Seringan kerja."

Kali ini Vino membuka suara, menaruh atensi penuh kepada laki-laki muda itu. "Nama lo siapa? Umur berapa? Kenapa kerja padahal orang tua lo kerja?"

Dylan mencubit pelan pinggang Vino. Membuat anak itu meringis kecil. Laki-laki muda dihadapan mereka hanya tertawa. Namanya Revan Alreza, ternyata sepantaran Vino. Sama-sama akan menghadapi ujian juga. Revan kerja dan mencari uang sendiri, karena nyatanya ia adalah anak yang tak diharapkan dari Sang Mama. Setelah Mama menikah dengan Papa, Revan yang baru berusia dua tahun itu nyaris ditelantarkan. Revan dibenci Mama dan Papanya. Kehidupannya sulit, jangankan kasih sayang, bahkan kebutuhan material saja tidak terpenuhi jika Revan tak berusaha sendiri.

Mereka berempat, mendadak sadar. Mereka berempat, adalah anak-anak terbuang. Memiliki masalah yang sama berat, masalah yang sama-sama tak berujung.

Maka dari itu, tercetuslah sebuah ide cemerlang dari otak seorang Dylan.

"Gimana, kalo kita buat grup?"

***

"Jujur sebenernya aku sempet punya mimpi bisa tampil di depan banyak orang juga sih kak. Nyanyi gitu, sekalian nyari uang supaya gak ngeberatin pengeluaran Ibu Eta." Kesya tampak sibuk mengetikkan beberapa kata di ponselnya sambil berbincang dengan Revan. Ibu yang dimaksud disini adalah salah satu pengurus panti yang paling dekat dengan Kesya. Sosok malaikat tanpa sayap namun tak sedarah yang hadir di hidup Kesya.

"Terus, setelah gue denger cerita lo, lo masih berharap mimpi itu?" Revan memusatkan penuh perhatiannya kepada gadis yang berada satu tahun lebih muda darinya. Kesya mengangguk, "iya masih. Tapi tujuannya sekarang buat ngehidupin diri sendiri. Gimana pun, aku sekarang udah gak bisa bergantung sama siapapun." Revan meringis sendiri. Ternyata, rasanya punya orang tua tak peduli sama saja seperti tak punya kedua orang tua. Buktinya, mereka sama-sama terlantar.

Terlantar, begitu juga harapan mereka. Revan ikut bercerita. Menceritakan mimpinya yang serupa. "Tapi Mama ataupun Papa gak ada yang setuju. Mereka seolah ngehalangin gue jadi orang, di pandang sebelah mata lah, mentang-mentang gue anak yang gak diinginkan." Kesya beralih menatap Revan, lalu tersenyum manis. Sangat manis layaknya anak kecil yang baru saja diberi balon. "Sekarang kan, Kak Revan gak di pandang sebelah mata lagi. Ada aku, ada Kak Dylan, sama Kak Vino."

Ucapannya kelewat jujur dan menghanyutkan. Didikan panti asuhan yang khas nampak pada dirinya, sopan, baik, dan lembut. Seperti anak kecil yang masih polos.

Sekarang, ruang tamu kos-kosan Dylan berubah menjadi studio musik sederhana. Ada dua gitar disana, satu miliknya dan satunya milik Revan. Ada keyboard hasil pinjaman Dylan ke salah satu teman balap liarnya, ada mikrofon speaker yang teronggok diatas meja. Hanya modal nekat memang, padahal aliran mereka belum tentu sama.

"Mau coba lagu apa? Vin, lo belom lupa tangga nada di piano kan?" Dylan memainkan piercing di telinganya sesekali menoleh ke arah Vino yang nampak mencoba keyboard asing itu. Sambil mengotak-atik gitar akustik yang sudah lama teronggok penuh debu di sudut kamarnya. Menyetarakan nada di gitar akustik usang itu sambil sesekali bersenandung kata-kata cepat.

Vino mengangguk. "Lumayan inget sih, bang. Gimana kalo coba lagu pop biasa?"

Dylan mengernyit. "Kalo hip hop aja gimana? Gue bisa nge-rap nih. Sayang kalo gak kepake."

"K-pop dong, hehe." Kesya cengengesan. Sebenarnya, kali ini gadis itu sama sekali tidak serius, buktinya setelah berucap ia tertawa kecil. "Ngaco! Ogah gue k-pop. Gak bisa joget." Vino membantah asal. Sementara Kesya makin terbahak dalam tawanya.

"Hip hop aja, ya?"

"Pop biasa aja sih, bang. Yang bisa hip hop lo doang."

"Hip hop kece, gue ajarin."

"Loh, kalo gak bakat masa mau dipaksain? Kita gak ada yang bisa hip hop selain lo."

Vino dan Dylan tak henti-hentinya mengelak satu sama lain. Membuat Kesya mendadak diam karena suara mereka yang semakin meninggi. Sementara Revan memijit keningnya pelan, ini sulit.

"Kalo hip hop ngapain make keyboard sama gitar akustik, dodol!"

"Songong lo ya, udah dikasih tempat tinggal, nurut aja susah!"

Revan berdiri, lalu membentangkan tangannya diantara mereka berdua. Menghembuskan napasnya kasar, membuat kedua pemuda di sisi kanan-kirinya bungkam. "Berisik. Kalo belom jadi grup aja udah ribut, gimana mau jadi grupnya? Baru masalah lagu aja udah gak sejalan, gimana nanti kalo udah jadi? Mau bubar duluan, padahal baru nyoba aja belom lo pada?!"

Revan menoleh ke arah Vino. Lalu menunjuk anak itu tepat di dahi karena kebetulan Vino lebih muda beberapa bulan darinya. "Kalo ada usul, rembukin bareng-bareng, jangan udah tau beda pendapat, malah lo lanjutin!" Sambil sedikit mendorong telunjuknya, membuat kepala Vino terjengkang ke belakang.

"Lo juga, bang. Lo paling tua disini. Harusnya lebih bijaksana. Gue tau, tujuan lo bukan cuma nyari uang. Kita disini untuk bantu satu sama lain ngewujudin mimpi dengan bakat yang kebetulan sama. Jangan berantem kalo selisih pendapat. Dinginin kepala lo." Revan menepuk pundak Dylan. Sukses membuat yang paling tua diantara mereka diam. Di nasihati oleh anak kecil, bruh.

Memang benar tadinya Dylan sempat bercerita, inisiatifnya muncul karena merasa ada kesamaan diantara mereka. Ingin mengembangkan bakat mereka yang terbengkalai karena bermacam alasan. Karena ketidakadilan, karena terhalang orang tua, dan pastinya karena masalah ekonomi.

"Gue tau kalian semua mau ngembangin kecintaan kalian. Tapi gak asal ngembangin doang, coba cintain dulu apa yang bakal dikerjain. Percuma aja lo ngerjain sesuatu tapi gak cinta. Hasilnya bakal jelek. Kita harus usaha karena usaha yang akan ngebuat kita jadi sesuatu. Kita bisa dipandang orang jadi manusia. Yakin deh gue, kalian bakal nyesel kalo gak nyoba yang terbaik dari sekarang." Revan berujar panjang lebar. Saking sunyi nya, bahkan suara gesekan daun jatuh dari rantingnya bisa terdengar.

Revan mengacak surai hitamnya asal, lalu melanjutkan bicaranya yang sempat terhenti. "Jangan pikir ini udah telat." Melirik tajam ke arah Dylan. "Tapi harus dicoba, dikerjain. Mungkin kita butuh waktu, tapi gak ada yang salah kan untuk nyoba latihan dan usaha? Mungkin halangan kedepannya bakal banyak kalo nginget restu orang-orang sekitar yang ngucilin kita dengan masalah kita. Tapi kalo berhasil, itu bisa jadi bukti kalo kita udah ngelakuin yang terbaik."

"So, team. Are you ready, guys?"

***

Kayanya bakal ngepasin deket2 3500 kata deh ini...
Btw, yuk bantu aku ngeramein event GhibahWriters !

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro