02- Datang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Fa, jangan bilang lo beneran balik ke Jakarta karena sticky note ini." Gani mengeluarkan selembar sticky note berwarna kuning pudar dari tasnya.

Setelah sekian jam menunggu akhirnya dia bisa berbicara empat mata dengan Lifa. Gadis itu berkacak pinggang, lalu meraih sehelai kertas di tangan Gani. Matanya bergerak mengikuti tulisan singkat yang tertera di atas kertas berwarna itu.

"Awalnya iya, pengen balik karena ini doang. Tapi, mama gue ternyata pengen balik juga ngurus wasiat nenek yang ada di Jakarta. Sekalian, papa juga akhir-akhir ini sering ke sini, daripada bolak balik Medan-Jakarta, capek cuy," jelas Lifa seraya memperhatikan kertas di tangannya.

Papa dan perempuan itu ... Ada apa sebenarnya?

Cukup lama Lifa terdiam tanpa memindahkan fokus. Dia sedang memikirkan mengapa kakaknya membuang kertas ini.

"Menurut lo kenapa Kak Almira ngebuang kertas ini?"

Gani tertawa kecil. "Gue tau dia banget, gue rasa lo juga tau. Coba perhatiin kertasnya, dia gak sengaja ngecoret. Kak Almira gak suka sama noda apa pun."

Lifa mengangguk membenarkan, kakaknya memang tidak menyukai itu. "Terus Kak Almira gak pernah ngomong apa-apa tentang perempuan itu? Apa mungkin papa gue selingkuh?"

Cowok yang dia tanya mengangkat bahu tanda tidak mengerti. Waktu itu dia berniat menyapa kakak sahabatnya, tetapi Almira terlihat buru-buru dan keesokan harinya terdengar kabar bahwa gadis tersebut sudah meninggal dunia.

"Lo ya--"

"Di sini lo ternyata, buruan cari materi makalah di perpus bareng gue." Dean  datang menginterupsi percakapan sepasang sahabat di depannya. Tidak peduli jika Lifa akan mengomel panjang lebar nantinya.

Ternyata tak perlu waktu lama mengetahui sikap siswi baru itu. Selain belagu, Lifa juga cukup ambisius. Dean tidak boleh lengah.

Lifa berdecak jengkel. "Tugasnya dikumpul minggu depan, gak perlu buru-buru."

"Ya elah, Yan. Makan dulu yuk di kantin."
Gani menarik tangan Dean agar segera menjauh dari Lifa. Dia takut akan ada perang mulut lagi di antara keduanya.

"Tapi--"

"Udah, makan dulu. Lo punya penyakit mag, gak boleh telat makan."

Mereka berdua berlalu meninggalkan Lifa sendirian di pinggir lapangan. Melihat tingkah Gani membuat gadis itu membuang napas legah. Setidaknya dia tidak perlu membuang tenaga di waktu istirahat. Berdebat dengan cowok ambisius itu sangat menguras emosi dan ini baru hari pertamanya bersekolah. Entah bagaimana hari-hari berikutnya,'kan berlangsung.

Malam harinya, Lifa kembali termenung. Mungkin tidak ada kata bosan jika berhadapan dengan kertas kecil bertinta hitam yang ternyata juga mulai pudar. Lifa menaikkan kedua kaki di atas meja belajar, menggerak-gerakkan kursi yang dia duduki ke kiri dan kanan. Hah, kepalanya pusing memikirkan ini ditambah lagi tumpukan tugas di hari pertama bersekolah.

Dia memang bisa mengerjakan tugas itu dengan mudah, hanya saja terlalu malas berkutat bersama kumpulan pertanyaan jika tenggat waktu pengumpulan belum mendekat. Begitulah Lifa bersama sejuta kemalasan yang ada. Prinsip kalau bisa nanti, kenapa harus sekarang betul-betul dipegang erat.

Lifa mengangkat tangan kanannya, membaca isi kertas itu lagi. Sebenarnya perempuan itu siapa? Ingin sekali mencari tumpukan sticky note milik sang kakak. Dia tahu Almira menjadikan benda persegi kecil berwarna-warni itu sebagai tempat berkeluh kesah.

"Apa di kamar Kak Almira?"

Gadis berkaus putih polos tersebut langsung berlari ke ruang tengah untuk menemui sang papa. Dia butuh kunci kamar kakaknya sekarang. Dia butuh bukti untuk meyakinkan diri bahwa ada sesuatu di balik kematian Almira dan berharap semua bisa terjawab dari sticky note sang kakak.

Saat tiba di ruang tengah, dia melihat Safran, papanya, sedang berkutat bersama kumpulan dokumen dan laptop di atas meja. Ada sang mama juga di sana bergelut dengan dus-dus kecil entah berisi apa.

Lifa mendekati Safran dan duduk dihadapan pria berumur empat puluhan tersebut. "Pa, Lifa boleh minta kunci kamarnya Kak Mira?"

Tangan Safran yang sedari tadi sibuk di atas keyboard langsung terhenti. Mata sipitnya memandang datar wajah anaknya. Namun, di menit berikut pria itu kembali berbaur bersama data-data kantor.

"Kunci kamarnya tidak ada."

Lifa mengerutkan kening. "Kok gak ada, Pa. Bukannya Papa yang nyimpan?"

"Kalau Papa bilang gak ada berarti gak ada, Lif. Sudah, jangan ganggu. Nanti Papa salah input lagi."

"Beneran? Tapi, waktu pertama pindah ke sini aku lihat Papa bu--"

"Masuk kamar Lifa."

Nada ucapan Safran terdengar begitu dalam dan cukup tajam hingga membuat Lifa merinding seketika. Melani, sang mama, yang awalnya tak menggubris kini menghentikan pergerakan. Untuk pertama kali mereka melihat kepala rumah tangga keluarga ini mengeluarkan aura negatif.

"Fa, masuk kamar, Sayang. Jangan ganggu Papamu, dia lagi sibuk kerja." Melani pun kembali menyuruh anaknya kembali ke kamar, takut jika Lifa melayangkan pertanyaan yang bisa membuat mood Safran berubah.

Lifa akhirnya menurut dan berjalan gontai menuju kamarnya di lantai dua. Kenapa semakin ke sini semakin mencurigakan? Pintu kamar Almira tidak ada, padahal dia tahu betul Safran menyimpan kunci itu.

Saat langkah kakinya hampir melewati kamar Almira, dia berhenti dan memandang pintu bercat putih gading di hadapannya. Netranya menatap daun pintu itu lamat-lamat, membuat Lifa memikirkan hal macam-macam.

"Ada yang gak beres, atau mungkin ... cuma kebetulan aja?"

Ketika sedang asyik bermonolog, ponsel di saku celana tidurnya bergetar. Tangan kurusnya langsung mengecek benda pipih tersebut. Kerutan di dahi tampak begitu saja saat melihat nomor asing tertera di layar ponsel.

Namun, setelah membuka pesan dari aplikasi berlogo gagang telepon hijau tersebut dia langsung membuang napas panjang. Sial, kenapa foto orang menyebalkan yang terpampang di sini.

Dean AR: Isi makalah udah lo ketik sebagian atau belum?

Membacanya membuat Lifa mual seketika. Mengapa ada orang seperti Dean di dunia ini? Cowok itu sama sekali tidak mengenal kata santai dalam hidupnya.

Ralifa: Lo waras? Lo pikir tugas sekolah cuma makalah kelompok doang?
Ralifa: Santai kali, lagian dikumpulnya juga minggu depan.

Lifa mencak-mencak saat memasuki kamar, tak lupa membanting pintu hingga menimbulkan keributan cukup keras. Cowok itu pikir hanya tugas kelompok saja yang wajib kumpul? Ingin rasanya Lifa mencaci maki secara langsung si Dean ini.

Sementara itu Dean menekuk wajah karena kesal. Dia ingin perkara kelompok selesai lebih awal. Malas saja rasanya memendam tugas itu terlalu lama, dia tidak ingin berinteraksi terlalu sering dengan Lifa, yang ada waktunya habis karena perdebatan tak bermutu.

Cowok berwajah kalem itu mengempaskan badan ke atas kasur. Lelah juga sedari tadi belajar tanpa henti, dia ingin melenturkan otot sejenak sebelum kembali begadang semalam suntuk untuk membaca banyak literatur mengenai materi esok hari.

Dean: Gue gak mau tahu, besok lo harus selesain sebagian isi makalah, kalau gak lo bakalan gue coret dari nama kelompok.

Dean tersenyum miring saat membaca pesannya. Ada kepuasan tersendiri jika memojokkan seseorang. Dia melepas ponsel dan memejam sejenak. Bagaimana rasanya tidur lebih awal? Tak pernah begadang karena belajar seharian penuh. Dean meringis, dia tidak pernah seperti itu.

"Bagus, ya sekarang malah santai-santai. Kenapa gak belajar?" Seorang wanita berusia sekitar empat puluhan tahun langsung menyemprot sang anak ketika membuka pintu kamar.

Cowok berambut berantakan tersebut seketika bangkit dari rebahan dan berlari ke meja belajar. "I-iya, Ma. Dean belajar sekarang."

Jantung Dean berdetak kencang, ketakutan mengambil alih kesadarannya. Sekarang dia malah mendengar teriakan belajar dan belajar memenuhi kepala hingga rasanya seperti ingin meledak saja.

"Awas aja kalau Mama masuk lagi kamu malah nyantai," ancamnya hingga membuat Dean semakin menundukkan kepala. Wanita itu keluar dari kamar dan membiarkan Dean sendiri.

"Ma-maaf, Ma. Maaf ... maaf." Lirihan dari bibir bergetar cowok itu terdengar begitu putus asa, sarat akan ketakutan.

Tangannya bergetar hebat, mata memerah, kepala pun seketika merasakan sakit. Ada tekanan dari dalam dada yang membuatnya sesak, tak mampu mengontrol emosi.

"Dean belajar, Dean belajar, kok," lirihnya sambil berusaha fokus meskipun tidak bisa.

"Argh!" Pada akhirnya dia menyerah, menangis, karena tak mampu menahan tekanan dan ketakutan yang berbaur jadi satu.

~~~
Day 2

Yuhu, hari ini kita kenalan sama cogan, kuy.

Dean Arhanda Rasyid

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro