09- Seseorang yang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di akhir mata pelajaran matematika, siswa dua belas IPA 1 menikmati keseruan menjawab soal hitung-hitungan yang diberikan oleh Bu Tika. Mereka berlomba-lomba menjadi penjawab pertama. Sejauh ini Dean menduduki peringkat pertama sebagai orang tercepat menjawab soal.

Lifa mendengkus sebal, padahal dia sudah menjawab dengan cepat dan mengira Dean tidak akan mendahuluinya. Sudahlah, dia akui bahwa otak teman sebangkunya memang menyukai hal rumit.

"Oke, pertanyaan terakhir sebelum kita akhiri pelajaran hari ini." Bu Tika menuliskan soal di papan tulis, semua mata menatap tajam setiap angka yang tertoreh di sana.

Mereka kompak menunduk dan menggoreskan tinta pulpen di atas kertas masing-masing, mencari jawaban secepat yang mereka bisa. Meski kelas memiliki udara cukup dingin, tetap saja tidak mampu menghalau keringat keluar dari pori-pori masing-masing. Berpacu dengan waktu membuat matahari tersendiri di atas kepala mereka.

Sudah lewat dari tiga menit, belum ada yang mengangkat tangan berniat menjawab. Bahkan Dean masih mengerutkan kening, sesekali mengetuk dagu ketika berpikir keras. Soal ini jauh lebih kompleks dari soal sebelumnya.

"Tumben telat," celetuk Lifa sambil menyandarkan bahu di kursi.

Cowok itu memilih tidak menjawab, lebih baik fokus mencari kebenaran daripada menjawab pertanyaan Lifa. Karena diabaikan, Lifa mendesis jengkel. Ya, setidaknya dia jadi tahu kalau soal matematika lebih menarik dan tak pantas untuk dilewatkan.

"Matematika emang gak ada duanya," ringisnya di akhir kalimat.

"Daripada lo bicara sendiri, mending dijawab soalnya." Tanpa perlu menoleh ke samping, Dean menyuruh gadis itu kembali fokus. Pasalnya dia jadi kehilangan sedikit konsentrasi saat Lifa bersuara.

Baru saja Lifa ingin membalas perkataan Dean, suara Gani dari belakang membuatnya tersentak. "Saya udah selesai, Bu."

Bu Tika mempersilakan Gani maju ke depan, semua pasang mata termasuk Dean menatap penuh ke satu titik, tak termasuk Ralifa Safran. Gadis itu sudah lelah bermain bersama rumus dan angka, otaknya bahkan sudah sangat berasap di dalam.

Gadis yang kali ini tidak mengikat rambut panjangnya membaringkan kepala di atas meja, matanya menatap bosan ke arah Gani. Jenuh melihat ke papan tulis, dia beralih ke arah lain, yakni menoleh ke samping dan menatap Dean yang wajahnya sedang serius memperhatikan.

Lifa merasakan sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. Melihat Dean saat serius seperti ini ternyata menambah pesona cowok itu. Dia meringis seraya menggaruk kepala. Apa Dean tidak pernah dikejar oleh anak-anak gadis di sekolah ini? Perasaan dia tidak pernah melihat ada cewek-cewek mendekati cowok ini.

Lifa cekikikan, mungkin sifat ambisius membuat mereka enggan mendekat. Ah, atau Dean yang tak pernah menggubris mereka dan membuat penggemarnya merasa tak dihargai dan memilih menjauhi Dean. Jika benar seperti itu, kasihan sekali teman sebangkunya ini karena tidak pernah menikmati keuwuan di masa SMA.

"Lo gak mau coba-coba pacaran gitu?"

Suara Lifa terbilang kecil, tetapi indera pendengaran Dean masih bisa mendengar pertanyaan aneh gadis itu barusan. Dia menatap Lifa yang ternyata masih tak memindahkan fokus darinya.

"Pacaran gak ada gunanya."

Mendengar itu sontak membuat Lifa menegakkan punggung. Dia tidak sadar kalau Dean mendengar pertanyaannya. Gila, pasti cowok itu mengira dirinya mulai memiliki perasaan lebih.

"Gue gak nanya sama lo." Lifa segera membuang muka, tidak ingin menengok ke arah cowok itu.

Dean tertawa dan membuat Lifa kembali menoleh. "Asal lo tau, lo gak bisa nipu orang terpintar di sekolah ini. Tuh, muka lo merona."

Lo bukannya pintar, gue-nya aja yang gak ahli bohong.

Lifa kontan menyentuh kedua pipinya yang memanas. Dia menjerit di dalam hati, mau ditaruh di mana mukanya sekarang. Rapalan doa terus dilayangkan, berharap bel pulang berbunyi. Dia ingin segera terlepas dari keadaan yang mencekik. Entah sejak kapan udara di sekitar menjadi menipis dan semakin panas.

"Waw, jawaban Gani sempurna." Bu Tika memuji hasil kerja Gani dan membuat seisi kelas melongo dan langsung melihat ke arah Dean.

Mereka tidak percaya soal tersusah dipecahkan oleh Gani, bukan si pemilik otak paling encer di kelas ini. Seluruh mata memandang takjub ke arah cowok berbadan tinggi itu, tetapi mereka kembali beralih ke depan ketika Bu Tika mulia mengucapkan kalimat penutup guna mengakhiri kelas.

"Sori, Yan, jawaban gue benar." Gani meringis seraya menatap Dean.

Dean menyunggingkan senyum. "Ngapain minta maaf, gak perlu kali."

Bel pun berbunyi, setiap guru keluar kelas masing-masing hingga keadaan sekolah yang awalnya sunyi langsung riuh oleh teriakan bebas dari siswa-siswi, hentakan kaki memenuhi koridor. Lifa membuang napas lega, akhirnya dia terbebas dari keadaan asing yang sempat membuatnya salah tingkah.

Lifa menepuk-nepuk pipi, lalu berbalik ke sahabatnya. "Gan, gue pengen curhat, dong."

Gani menggendong ransel hitamnya, lalu berdiri dan menyeret gadis itu keluar kelas. Dean yang melihat sepasang sahabat tersebut, mengedikkan bahu memilih tidak peduli.

"Pengen ngomongin apa?" ucap Gani setelah tiba di taman samping parkiran. Cowok itu memperbaiki ikatan tali sepatu sambil menunggu gadis di sebelahnya berbicara.

Lifa menedang pelan rumput di bawah kakinya. Dia sedang mempertimbangkan untuk tidak berbicara lebih banyak mengenai setiap kejadian yang dia alami, tetapi ternyata sulit tidak melakukan itu. Dia terlanjur terbiasa mengatakan apa yang dia rasakan dan alami selama ini kepada Gani. Lalu, tidak tahu mengapa tiba-tiba dia merasa berat berbicara sekarang.

"Kok diem? Katanya mau curhat."--Gani menumpukan kedua siku di paha seraya memandang wajah bulat Lifa--"oh iya, kalau mau ngomong sesuatu lo bisa datang ke rumah kali, Fa. Rumah kita, 'kan deketan."

"Mager keluar." Lifa menjawab seadanya dan memang begitulah kenyataannya.

"Mager keluar ke rumah gue, tapi ke Alfamart rajinnya kebangetan." Cowok itu mencibir sambil menendang rumput di bawahnya, mengikuti tindakan Lifa.

"Ya itu beda. Gue ke Alfamart tengah malam karena gak bisa tidur, masa gue ke rumah lo tengah malam, sih? Yang ada gue ngeganggu."

Gani terbahak dan mengiyakan ucapan Lifa. "Ya udah, lo mau cerita apa."

Lifa membuang napas. "Papa gue marahin gue, gak seperti biasanya." Cerita pun mengalir dan kembali membuat mata gadis itu berkaca-kaca.

Cowok berambut hitam kelam itu menepuk-nepuk punggung Lifa. Dia tahu apa yang gadis itu rasakan. Bingung, sedih, kecewa bercampur memainkan emosi. Namun, di satu sisi dia menyadari bahwa kematian Almira bagi Safran sangat memukul hati.

"Apa yang harus gue lakuin?" Nada bicara Lifa terdengar begitu putus asa.

Gani mengacak pelan rambut Lifa, lantas merangkul sang sahabat. Dia tidak bisa memberi banyak masukan, apalagi ini menyangkut perasaan keluarga gadis ini. Dia takut salah memberi saran dan keadaan menjadi memburuk.

"Terkadang lo harus biarin semua berlalu, Fa. Atau mungkin hari ini, hari esok atau nanti ...." Bukannya berbicara sungguh-sungguh, Gani malah menyanyikan salah satu lirik lagu terkenal.

Lifa berdecak, melepas rangkulan cowok di sebelahnya. "Gue lagi serius lo malah bercanda."

Bukannya merasa bersalah, cowok itu malah tertawa renyah. "Gue cuma bisa bilang, kalau hari ini lo gak bisa dapat jawabannya, gue yakin akan ada hari di mana semuanya akan terbongkar. Segala sesuatu memiliki jawaban, Fa. Itu yang gue yakini."

Lifa menunduk, berusaha mencerna ucapan Gani. Ya, dia juga yakin segala sesuatu memiliki jawaban. Dia mendongak, membiarkan wajahnya diterpa terik matahari dari sela-sela daun pohon di atas.

"Makasih, Gan. Lo emang terbaik."

"Ya iyalah, kalau gak terbaik bukan Gani namanya."

Mereka kompak tertawa, benar-benar tidak ada yang berubah. Mereka masih senang membanggakan diri masing-masing. Katanya, jika bukan diri sendiri yang memuji, siapa lagi?

"Nih, pulpen lo ketinggalan di kelas."

Lifa membuka mata dan menegok ke sisi lain. Ternyata Dean datang sembari menyodorkan pulpen kesukaannya. Gadis itu langsung berdiri dan menyambut benda bertinta tersebut. Setelah urusan cowok itu beres, Dean pergi tanpa berkata apa pun lagi.

"Dean," panggil Lifa, "makasih."

~~~
Day 9

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro