08- Di sisi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Denting sendok menemani kegiatan makan malam keluarga beranggotakan tiga orang itu. Tidak ada senda gurau seperti biasa. Lifa menyantap makanannya tanpa minat, bukan ini yang dia harapkan terjadi, dia hanya ingin mengetahui kejelasan atas kematian Almira dan tindakan sang papa membuat segalanya menjadi membingungkan.

Gadis itu terus memakan makanannya tanpa melihat isi piring yang hampir habis. Melani menggeleng pelan melihat kelakuan anaknya. Tidak biasanya Lifa seperti ini, entah apa yang dipikirkan oleh anak muda berusia delapan belas tahun itu.

"Lifa, mau nambah, Nak?"

Mendengar namanya disebut, dia langsung menoleh ke arah sang mama. Namun, dia langsung menggeleng ketika diminta menambah makanan. Dia kehilangan nafsu makan karena melihat papanya sama sekali tidak pernah membuka suara. Ini bukan Safran yang dia kenal.

Mata bulat gadis itu terus mengawasi segala tindakan papanya. Dalam hati dia berharap agar pria berumur empat puluhan itu mau mengucapkan sepatah kata pun, tetapi sampai kegiatan makan selesai yang diharapkan Lifa sama sekali tidak terjadi.

Safran pergi begitu saja, meninggalkan anak dan istrinya di meja makan. Melihat tindakan suaminya, Melani hanya bisa tersenyum. Dia paham perasaan laki-laki itu, pasti berat juga karena Lifa terus membahas kematian Almira, padahal Safran dan dirinya sudah tidak mau membahas itu lagi. Bukannya tidak peduli, hanya saja dia lelah terus dirundung sedih dan air mata setiap malam.

"Ma, papa marah karena kejadian tadi pagi, ya?" Lifa menatap mamanya dengan wajah sendu.

Tangan Melani yang tadinya sibuk membersihkan piring-piring kotor di atas meja kini berhenti saat menoleh ke arah Lifa. Anaknya mungkin merasa bersalah dan sedih karena tidak pernah berada di posisi seperti ini. Dia menarik kursi makan lebih dekat ke Lifa, dia menampilkan senyum hangat seraya memegang erat tangan putrinya.

"Papamu tidak marah, dia cuman sedih, Fa. Mama ngerti kalau kamu juga sedih karena gak biasa lihat papamu kayak gini, 'kan?" Melani memeluk Lifa, berusaha menyalurkan kehangatan.

Di saat seperti ini memang yang dibutuhkan adalah saling mendukung, bukan saling menjauh dan menghindari. Sebagai ibu rumah tangga dia harus bisa menghangatkan suasana rumah meskipun hatinya juga sedih karena keadaan. Namun, jika bukan dirinya yang mengerti di tengah masalah ini, siapa lagi?

Sementara itu, Lifa semakin memeluk erat sang mama. Dia semakin terisak saat suara lembut Melani menyapu gendang telinga. Wanita tak bersayap itu selalu bisa meredam emosi hanya dengan memberi pendapat mengenai sesuatu, dan dia selalu menyukai apa yang mamanya katakan.

"Butuh waktu buat lihat papamu kayak dulu, tapi gak lama, kok. Waktu awal nikah papamu gak bisa terima perjodohan ini. Dia cuek, gak pernah ngomong apa-apa kecuali lagi butuh sesuatu, tapi lama kelamaan papamu bisa terima semua dan kita hidup bahagia."

Melani tak pernah melepas senyum ketika menceritakan awal pernikahannya, segalanya begitu rumit, menyedihkan, dan amarah selalu menghiasi masa itu. Namun, sekarang semuanya membaik ketika keduanya sama-sama menerima keadaan dan saling berusaha untuk jatuh cinta, dan pada akhirnya mereka mampu berada di fase saling larut dalam perasaan satu sama lain.

Segalanya memang butuh waktu dan pengorbanan. Menyatukan dua hati yang saling bertolak belakang tak semudah membalikkan telapak tangan.

"Jadi, kamu gak usah sedih lama-lama juga. Kamu bisa bujuk papamu biar bisa kayak dulu."

Lifa mengangguk mengerti dan kembali memeluk mamanya. Dia langsung mengendurkan pelukan itu ketika melihat sang papa memasuki dapur, hendak meminum air. Dia melihat Melani sejenak, berusaha mendapatkan dukungan karena takut menyapa Safran lebih dulu.

Melani tersenyum jenaka, lucu juga melihat kelakuan putrinya. Dia mengangguk, meyakinkan Lifa agar segera menyapa Safran sebelum laki-laki itu menjauh. Dia semakin mengembangkan senyum saat Lifa mengangguk mantap dan berjalan ke arah sang suami.

Gadis itu menarik napas, lantas membuangnya. Setelah menemukan keberanian untuk memulai dia pun bersuara. "Pa, aku minta maaf karena kejadian tadi pagi." Dia menunggu dengan harap-harap cemas.

Safran meletakkan gelas minumnya di atas meja dengan cukup keras. Dia berbalik menatap Lifa. "Jangan minta maaf kalau kamu masih ingin membahas tentang Almira lagi!"

Gadis itu terkejut, dia sontak mengeluarkan air mata karena tidak menyangka respons sang papa akan seperti ini. Sementara Melani kontan berdiri, tidak menyangka Safran akan berucap demikian.

"Papa ... berubah," lirih Lifa, tangisnya semakin tak tertahankan. Dia segera berlari meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Hatinya terlalu sakit jika diajak berdamai sekarang.

"Safran, kamu kenapa? Gak biasanya kamu seperti ini." Melani menyorot mata suaminya, berusaha mencari penyebab kemurkaan laki-laki ini, tetapi yang ditatap justru melengos dan tidak peduli.

Di kamar, Lifa terus menangis, dia memukul meja belajarnya berulang kali. Dia sama sekali tidak mengerti mengapa papanya bisa seperti itu. Apa karena mengungkit Almira begitu menyakitkan baginya? Namun, dia dan mamanya juga sama-sama sakit di sini.

"Kak ... Lifa butuh Kak Almira." Gadis yang matanya sudah memerah itu meraih bingkai foto. Di sana ada dirinya dan seorang gadis lainnya, siapa lagi jika bukan Almira.

Tangan kurus Lifa menyapu pelan bingkai tersebut seraya terus meneteskan air mata. "Gue semakin percaya kalau ada yang gak beres dari kepergian Kak Almira."

Dia kembali meletakkan bingkai ke tempat semula dan meraih sticky note yang dia sembunyikan di bawah tumpukan buku paket. Matanya membaca tulisan itu lagi dan berusaha menyangkutpautkan tindakan Safran selama ini ketika dia membahas Almira. Namun, dia sama sekali tidak dapat menyimpulkan apa-apa selain mengingat kata selingkuh yang pernah dia ucapkan saat bersama Gani dulu.

"Kalau benar papa selingkuh ... tapi gak mungkin."--Dia meletakkan kertas itu di atas meja sembari terus berpikir--"gue gak bisa nyimpulin ini sendiri."

Lifa mengangguk mantap, lalu segera keluar dari kamar. Dari lantai atas dia mencoba mencari keberadaan sang mama di dapur, dan bersyukur wanita itu berada di sana, sedang terduduk. Namun, langkahnya terhenti. Dia kembali memperhatikan mamanya.

"Mama ... nangis?"

Lifa melihat kertas yang dia genggam dan beralih menatap Melani. Berulang kali dia melakukan hal serupa. Mamanya sedang menangis, apa yang 'kan terjadi jika memperlihatkan tulisan Almira sekarang? Tidak. Lifa tidak mau menambah kesedihan. Mungkin saja mamanya berpikiran sama dengannya kalau sang papa berselingkuh.

Cukup kemarahan Safran dipicu olehnya, dia tidak ingin menambah masalah lagi hanya karena sticky note ini. Akan tetapi, apa yang menjanggal dalam benaknya tidak akan pernah hilang jika berhenti sampai di sini. Lifa memandang kamar sang kakak dan kembali menangis.

Apa yang harus gue lakuin?

~~~
Day 8

Gak ada Dean hari ini😆.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro