07- Kamu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gebrakan meja membuat kedua wanita yang berada di ruang makan tersentak. Keadaan hangat beberapa menit lalu kini berganti suram, penyebabnya berasal dari usul seorang gadis berseragam pramuka di ruang itu. Sarapan yang harusnya disantap dengan nikmat malah tidak jadi bersarang di perut.

"Papa sudah peringatan kamu, Lifa masalah kakakmu! Papa tidak ingin dengar apa-apa lagi." Mata Safran memerah, tangannya bahkan mengepal kuat.

Melani berusaha menenangkan sang suami agar tidak terpancing karena permintaan Lifa. Namun, gadis itu tampaknya tidak ingin menyerah. Salahkan Safran yang keras kepala hingga membuat anak-anaknya memiliki sikap serupa.

"Sudah, Pa. Kamu makan dulu, ya." Melani memperbaiki letak makanan di meja dan menuntun suaminya agar kembali duduk.

Tak lupa mata sipit wanita berambut sebahu tersebut melirik anaknya agar tidak mengeluarkan suara apa pun lagi. Dia tidak ingin ada keributan karena membahas Almira. Sudah cukup sedih yang dia dapat selama ini, tak perlu menambah murka Safran ketika mengungkit anak sulungnya.

"Kasih Lifa alasan, Pa kenapa kasus Kak Almira tidak Papa usut lebih jauh?" Tidak peduli permohonan Melani melalui tatapan mata, Lifa terus saja mengungkit masalah kasus tabrak lari sang kakak.

Habis kesabaran, Safran kembali menggebrak meja sembari menyorot tajam wajah Lifa. "Kasus kakakmu sudah lama usai, tidak perlu diusut lagi."

"Lifa pen--"

"Lifa! Sekali lagi kamu mengungkit Almira lagi, Papa kurung kamu dalam kamar." Safran sudah tak peduli pada reaksi sang istri maupun anaknya sendiri. Dia sudah tidak tahan menghadapi segala hal yang berkaitan dengan Almira.

Bagai dipukul godam, hatinya terasa hancur dan sakit ketika Safran membentak dan berkata seperti tadi. Papanya memang pernah memarahinya, tetapi tidak pernah separah ini. Tidak mau berlama-lama di dalam rumah, gadis itu meninggalkan meja makan tanpa menyantap sarapan sedikit pun.

Teriakan Melani bahkan tak dia gubris. Lifa ingin segera keluar dari tempat yang membakar hati dan pikiran. Lebih baik menjauh daripada semakin berkobar di dalam api yang dapat menambah kerugian besar.

Ada baiknya dia ke sekolah sekarang selagi masih terbilang sangat pagi. Cukup baginya berjalan kaki sebab jarak dari rumah ke SMA Merah Putih terbilang cukup dekat. Udara juga masih segar-segarnya. Dia berharap selama perjalanan ke tempat menuntut ilmu segalanya 'kan membaik.

Saat tiba di tempat tujuan, destinasi pertama seorang Ralifa adalah kantin. Terbiasa sarapan sebelum ke sekolah ternyata membuatnya lapar sekarang. Gadis itu duduk di kantin sambil menatap lapangan sepi di luar sana setelah memesan makanan.

Helaan napas keluar dari bibir tipisnya. Harusnya bukan itu yang dia pikirkan. Dia harus fokus berhubung sudah menginjakkan kaki di sini. Urusan rumah harus diurus di rumah, urusannya di sekolah adalah belajar.

"Tapi, kenapa Papa semarah itu sama gue?" Bagaimanapun kerasnya Lifa untuk berusaha menepis kejadian tadi, tetap saja sulit baginya dan juga kemarahan Safran cukup mengundang tanda tanya.

Makanan datang, ternyata sepiring nasi goreng mampu mengubah fokusnya. "Sori ya perut, tadi gak sempat makan nasi goreng buatan mama di rumah, sebagai bentuk balas dendam kita makan di kantin, ya."

~~~

Dean meletakkan tas di kursi selagi matanya memeriksa mahakarya sang mama semalam. Goresan-goresan yang dihasilkan dari pukulan ikat pinggang sangat menyiksa. Hampir sekujur tubuh dia merasakan perih.

"Hah ... resiko jadi anak pintar emang gak pernah mudah." Di akhir kalimat Dean meringis ketika tidak sengaja menekan salah satu luka di tangan.

Sialnya dia sama sekali tidak memiliki baju osis berlengan panjang, guru pasti melarang siswa mengenakan jaket di dalam ruangan. Dia tidak ingin luka-luka ini menjadi bahan kesedihan Gani. Geli saja melihat cowok itu mengasihani dirinya.

"Pagi, Yan." Gani masuk ke kelas bersama Lifa. Mereka bertemu saat ingin masuk ke dalam kelas.

Dean hanya mengangguk dan semakin merapatkan jaket di tubuh. Otaknya masih berpikir keras harus menyembunyikan lukanya dengan cara apa, di satu sisi dia juga mulai gerah.

Ketika sibuk memutar otak, dia dikejutkan oleh pukulan tangan Lifa di meja. Gadis itu menatap Dean seolah-olah meminta sesuatu untuk dijelaskan. Karena tidak tahu apa-apa, cowok itu mengabaikan Lifa begitu saja. Dia mana tahu apa yang diinginkan gadis itu, dirinya bukan cenayang.

"Lo kemarin malam kenapa teriak-teriak?"

Pergerakan Dean sontak terhenti. Gani yang tadinya sibuk bersama ponsel kini menatap serius ke depan, memperhatikan kedua sahabatnya.

Seraya mengedip-ngedipkan mata karena berpikir, Dean mengambil buku dari dalam tas untuk menetralkan wajah terkejutnya. "Gue? Teriak-teriak?"

"Dean teriak?" Gani turut penasaran dan memperhatikan cowok di depannya dengan tatapan selidik.

Lifa mengangguk dan kembali menjelaskan kejadian semalam kepada Gani, tak lupa membahas teriakan kesakitan Dean dan suara wanita yang dia dengarkan kemarin. Gani memicing, lantas menarik salah satu tangan sahabatnya. Dia langsung menarik ke atas lengan jaket Dean dan cukup terkejut melihat banyak luka di sana, sementara Lifa langsung membekap mulut.

"Lagi? Kali ini karena apa?"

"L-lo digebukin siapa?" Kali ini pertanyaan meluncur dari Lifa.

Dean menghempas tangannya dan kembali menurunkan lengan jaket. Seperti dugaan, Gani kembali menampakkan tatapan sedih di depannya. Tak hanya itu, Lifa pun nampaknya sangat iba. Ini yang dia benci dari penderitaan yang dia dapatkan. Tatapan kasihan orang lain.

"Ikut gue." Tanpa aba-aba Lifa menarik tangan Dean ke luar kelas, tetapi cowok itu lagi-lagi kembali melepaskan genggaman tangan Lifa.

"Mau ngapain lo?" Cowok berambut hitam pekat itu bersidekap dada, berusaha melindungi tangannya agar tidak ditarik-tarik lagi.

Lifa berdecak. "Ikutin gue. Kali ini please nurut, gue janji gak bakalan pasang muka menjengkelkan."

"Lo kayak gini aja udah menjengkelkan, sih."

"Lo emang gak pengen dibaikin, ya?"

"Gue gak pe--"

"Udah, ikut gue." Tidak ingin dibantah lagi, Lifa menarik paksa tangan Dean hingga cowok itu meringis karena lukanya tertekan di dalam jaket.

"Gue bisa jalan sendiri."

Tak perlu teguran kedua kali, Lifa langsung melepas tangan Dean. Ketika tiba di depan pintu UKS, dia melirik cowok itu sekilas lalu membuka pintu dan menyuruh teman sebangkunya ini ikut masuk. Karena tidak ingin berdebat lagi, Dean pun menurut saja.

"Buka jaket lo," suruh Lifa sembari berjalan ke arah lemari obat-obatan, mencari salep untuk mengobati luka.

"Mau ngapain lo?"

"Buka gak! Kalau gak lo buka juga, biar gue yang bukain."

Mata Dean membulat, tanpa menolak lagi dia langsung melepas jaket hingga menampakkan luka-luka di sekujur tangan, bahkan di leher pun ada. Melihat itu membuat Lifa bergidik ngeri.

"Apa alasan lo dapat luka kayak gini?" Nada bicara yang awalnya keras, kini agak melunak ketika dia akan mengusap salep itu ke luka Dean.

"Gue gak perlu jawab."

"Oke, gak perlu. Tapi, gue penasaran. Itu kemarin mama lo yang marah?"

Dean menghela napas panjang. Perlu dia ingat bahwa gadis ini keras kepala, dia pun sama. Kalau tidak ada yang mengalah tanya jawab bak interview akan terus berlangsung.

Cowok itu lagi-lagi menghela napas. "Iya."

Lifa mengangguk mengerti sambil mengarahkan tangan ke leher Dean untuk diberi salep. Namun, tanpa dia sadari wajahnya terlampau dekat dengan wajah Dean hingga membuat cowok itu seketika menahan napas.

"Bi-biar gue." Sebelum jantungnya copot saking berdetak kencang, dia harus mengambil langkah lebih dulu.

Dean merampas salep di tangan Lifa dan segera menyapukan salep ke leher. Dalam diam Lifa memperhatikan segala gerak-gerik Dean, bahkan tanpa berkedip sama sekali. Kalau dilihat-lihat Dean cukup tampan dengan rambut cepak hitam, hidung mancung, alis serta bibir tipis.

Lifa mengembangkan senyum, andai Dean tidak menyebalkan mungkin dia bisa jatuh cinta pada pandangan pertama, tetapi cowok ini terlalu mudah menyentil emosi hingga tidak mampu memikat hatinya.

Menyadari terus ditatap, Dean langsung mendongak. "Ngapain lo senyum-senyum sambil liatin gue?"

"Ha-hah? Gue senyum? Lo salah liat kali," sanggah Lifa. Dia tidak ingin Dean besar kepala hanya karena senyumnya. Lagipula dia hanya kagum untuk beberapa detik saja. Kagum? Lifa langsung memukul jidat. Tidak seharusnya dia kagum meski hanya sedetik.

~~~
Day 7

Sekali peduli, akan ada kepedulian berikutnya.

Disuapin cogan, ah, mantap😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro