18-Akhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dean termenung meski gadis di sebelahnya terus berceloteh tentang pelajaran hari ini. Sedari tadi jantung berdebar hebat, matanya awas menatap kelokan jalan di ujung sana, menanti mobil yang telah dipesan melalui aplikasi. Setelah sekian lama dia akhirnya memutuskan mengunjungi makam tersebut yang sejujurnya tak pernah dia datangi meski Almira dikebumikan saat itu.

Dia terlalu takut dan berdosa berada di sana. Tak pantas jika air matanya mengiringi kepergian gadis itu walau dia sangat ingin mengantar Almira ke tempat peristirahatan terakhir. Dean meremas tangan yang mulai berkeringat, waktu semakin merangkak maju dan sebentar lagi dia berada di sana.

"Kalian berdua mau ke mana?" Gani baru saja keluar dari gerbang sekolah bersama motor matiknya dan berhenti di depan halte ketika melihat dua sahabatnya menunggu di sana.

Lifa tersenyum lebar. "Hari ini gue sama Dean mau ngunjungi Kak Almira."

Dean mendongak, menatap ke arah Gani yang tampaknya bahagia, tetapi raut tersebut hanya sebentar lantaran ingin bergabung, sayangnya tak bisa.

"Gue pengen ikut, tapi hari ini nyokap minta dianterin ke suatu tempat."

Mendengar nada sedih cowok itu, Dean dan Lifa saling pandang sejenak sambil tersenyum.

"Lain kali aja kalau gitu, gue emang hari ini maunya pergi sama Dean aja," jujur gadis berikat rambut ekor kuda di sebelah Dean.

Dean berusaha tersenyum meski sulit. Hatinya menghangat mendengar fakta tersebut, tetapi ada sekat yang menentang perasaan bahagia menelusup ke dalam dada, seolah-olah dia tidak pantas merasakannya. Dean tersentak ketika Lifa dengan semangat memukul pelan pundaknya. Ternyata mobil yang dipesan telah datang dan Gani sudah tak ada di tempat.

"Yuk. Kita ke toko bunga dulu sebelum ke sana."

Bukan suara, melainkan anggukan yang menjawab Lifa. Setiap inci tubuhnya terasa kaku sebab dilanda gugup luar biasa. Dia tidak menyangka akan melihat pusara seorang gadis yang pernah mengisi hari-harinya. Ternyata mendamaikan hati sangat sulit dilakukan.

~~~

Awan mendung di siang hari memang sangat mendukung orang-orang merasa galau atau terpikir masa-masa sedih. Waktu yang sangat tepat untuk berurai air mata, seperti yang dilakukan Lifa di sebelah makam Almira. Sementara itu, Dean masih berdiri seraya memegang bunga lili di tangan, cowok itu tidak bisa berkata apa-apa.

"Kak, kali ini Lifa sama Dean. Kakak pasti tau dia, 'kan?" rocos gadis itu.

Mira pasti tahu orang yang gak bisa nolongin dia, Fa.

Dean mendongak, menatap langit kelabu. Almira tidak akan berakhir di sini jika saja dia melerai hal itu terjadi. Tidak sanggup lagi, dia merunduk, membiarkan lututnya luruh menyentuh tanah. Tangannya meletakkan bunga di atas pusara, lalu menyapu pelan nisan bertuliskan Almira Safran dengan sangat lembut.

Tak ada pembicaraan, suara tangisan meliputi atmosfer sekitar. Dean tidak bisa membendung lagi kesedihan yang membuncah. Memang sudah satu tahun Almira pergi, tetapi rasa bersalah 'kan selamanya menetap. Sekali pun dia meminta maaf seumur hidup dia tetap bersalah.

"Maafin gue."

Dean sudah tak peduli lagi, sudah seharusnya keluarga Lifa tahu yang sebenarnya. Memang berat membongkar, tetapi jauh lebih sulit jika terus dipendam. Dean akan dihantui oleh rasa bersalah dan kesedihan selama-lamanya. Dia lebih baik tersiksa karena telah jujur daripada bahagia di atas kebohongan.

Tak masalah jika kehidupannya setelah ini berubah drastis, atau bahkan merusak kebahagiaan keluarganya seutuhnya dan ditinggalkan oleh orang yang dicintai. Ini adalah konsekuensi yang harus diterima.

"Dean, awalnya gue gak paham kenapa lo selalu minta maaf, tapi ngeliat lo di sini dan minta maaf gue jadi berpikir kalau lo ada kaitannya sama ... gak! Gue salah ngira, mana mungkin, 'kan?" Lifa menggeleng kuat dan terkekeh di akhir kalimat, berusaha mengusir pikiran jelek yang bertandang.

Dean mengangguk seraya tersenyum pilu. Memang tujuannya ke sini adalah mengungkapkan kejadian setahun silam, kronologi meninggalnya Almira yang hanya dia, Fika, dan Safran yang tahu.

Lifa menutup mulut, menggeleng kuat. Air matanya semakin deras mengalir. Gadis itu menutup telinga kuat-kuat, tidak mau mendengar apa pun.

"Dengerin gue, Fa," pinta Dean dengan suara keras. Cairan bening juga tak mampu berhenti ketika melihat Lifa seperti itu.

Dean kembali menjadi orang jahat mengingat Lifa yang menyukainya, tetapi malah menyampaikan sebuah fakta yang dapat membencinya seumur hidup. Dia rela hidupnya 'kan menderita, tetapi bagaimana dengan Lifa? Dia tidak bisa membayangkan betapa sedih gadis itu.

"Gue gak mau denger. Pergi, Yan, gue lebih baik dengar semuanya dari bokap gue."

"Gak, Fa. Lo harus denger ini dari gue. Gue takut apa yang lo dengar selain dari gue adalah rekayasa."

"Rekayasa?" lirih Lifa.

Cowok itu mengeluarkan setumpuk sticky note dari saku celana abunya. Dia menatap penuh pilu kertas warna-warni di tangan sebelum menyerahkannya Lifa. Dengan ini semuanya 'kan semakin jelas.

"Fa, ini sticky note Kak Almira yang lo cari. Maaf karena gak ngasih lo ini dan harus kena marah sama bokap lo." Dean mengela napas, "maaf, Fa."

Lifa menatap sticky note yang Dean simpan di atas pusara. Tangan kurusnya meraih benda itu dan berusaha mengamati tulisan Almira di sana. Sedikit sulit membaca sebab matanya terlalu mengabur karena air mata. Setelah mendapat dua kata mengejutkan dari tulisan itu, dia semakin terisak.

"Adik tiri?" Matanya menatap Dean tidak percaya.

Cowok itu mengangguk membenarkan. "Kita saudara tiri, Fa. Karena fakta itu Kak Almira meninggal."

~~~

19 Februari 2020

"Mira, maaf karena Papa baru ngomong ini ke kamu. Tante Fika memang istri pertama Papa, tapi kami udah cerai sebelum nikah sama mamamu."

Safran mengenggam tangan sang anak, berusaha menenangkan gadis itu. Semenjak pertemuan antara dia dan Fika di kafe ini untuk menyelesaikan kesalahpahaman di masa silam, lalu tak sengaja bertemu dengan Almira dan Dean di tempat yang sama membuat dua wanita itu saling merespons tidak ramah.

Hari ini Safran ingin menjelaskan semua yang terjadi kepada sang anak, tetapi Fika malah membuat keadaan memanas.

"Mamamu memang kurang ajar, berani rebut suami saya saat saya sedang mengandung." Fika menunjuk wajah Almira dengan murka, dia tidak memedulikan Dean yang melerai, bahkan Safran pun tak dia gubris.

"Anda jangan kurang ajar!" teriak Almira sembari bangkit dari duduknya.

Tak mau kalah, Fika juga melakukan hal serupa. "Kamu yang kurang ajar!"

"Saya gak sudi ada di sini." Almira lalu keluar dari kafe dalam keadaan marah, tidak peduli dengan ketiga orang yang ada di sana.

Siapa yang tak jengkel jika berada di posisi itu, Almira jelas-jelas tidak mampu bertahan lebih lama. Daripada menimbulkan keributan lebih parah, dia lebih baik pergi.

Sementara di dalam kafe, Safran berusaha menenangkan Fika sebelum mengejar sang anak. Namun, saat dia hendak pergi tangannya dicekal dan Fika minta diantar pulang. Meski sedikit tidak nyaman, Safran tetap mengiyakan.

Di dalam mobil, Fika duduk di sebelah Safran dan Dean di kursi belakang. Mobil melaju pelan karena hendak mencari keberadaan Almira. Ketika mendapati gadis itu, Safran tersenyum. Dia segera menjalankan mobilnya mendekati Almira. Akan tetapi, ketika gadis itu hendak mengambil sesuatu di pinggir jalan, Fika sengaja mengarahkan kemudi ke arah Almira hingga kecelakaan tak terelakkan.

Safran dan Dean segera keluar dari mobil, meninggalkan Fika yang masih syok karena tidak menyangka tangannya benar-benar melakukan tindakan salah tersebut.

"Almira!" Safran mengguncang badan sang anak yang sudah kehilangan kesadaran sepenuhnya. Darah membaluri kemejanya pun tak dipedulikan.

Sementara itu, Dean meraih sticky note yang hendak Almira ambil tadi. Cowok itu mengenggam erat benda tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celana.

"Om, kita bawa ke rumah sakit sekarang."

Tak ada yang mempedulikan keadaan sekitar yang sudah ramai, mereka fokus ke Almira yang sudah bersimbah darah.

Dengan tatapan prihatin, Fika melirih. "Almira ... Al--"

"Berhenti, Fika. Saya gak nyangka kamu akan bertindak seperti ini. Lebih baik kamu diam," ucap Safran sangat dingin.

~~~
Day 18

Menjelang ending, siap-siap yuk😁.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro