19- Cerita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Erangan pecah begitu saja ketika dokter memberitahukan bahwa Almira tak bisa diselamatkan. Satu-satunya perempuan di sana tidak bisa berkutik. Wanita itu baru saja melayangkan nyawa seorang anak dari laki-laki yang masih dia cintai.

"Almira!" teriak Safran, matanya langsung melirik tajam Fika, "ini semua gara-gara kamu."

Fika tersentak, perempuan itu buru-buru bangkit dan menatap tajam mantan suaminya. "Kamu nyalahin aku? Kamu gak sadar, Mas. Kamu begitu tega ninggalin aku pas lagi hamil anak kita, aku banting tulang sendiri sampai Dean harus terlambat memulai sekolah. Harusnya dia udah kelas tiga SMA, sama kayak Almira, tapi kamu gak peduli."

Safran mendelik, dia sigap menarik tangan wanita kurus tersebut ke taman rumah sakit. Tak mau ketinggalan, Dean juga ikut meski hatinya sudah hancur berkeping-keping karena kesalahan sang mama dan fakta yang terkuak.

"Ka-kamu gak pernah hubungin aku lagi, bahkan kamu gak nanya kabar." Fika mengusap kasar air matanya, "Itu sebabnya kamu gak tahu aku hamil karena kamu sama sekali tidak bertanggung jawab, Mas!" Kali ini nada suaranya naik satu oktaf.

Safran berusaha mendekap tubuh wanita di depannya, bermaksud menenangkan. Jujur, pria itu sangat terkejut akan perkataan Fika. Selama ini dia menghilang begitu saja, tidak ada kabar sama sekali dan membiarkan perempuan ini berjuang sendiri.

Kemarahan karena kematian sang anak kini bercampur kesedihan berlipat-lipat. Dia sungguh laki-laki tak bertanggung jawab. Harus melakukan apa agar segalanya dapat terselesaikan? Pria yang tadinya berpikir ingin memenjarakan Fika, kini tak lagi memikirkan itu. Matanya kini melihat Dean yang mematung, tak percaya anak itu benar-benar darah dagingnya.

"Maaf. A-aku gak bakalan bawa kasus ini ke jalur hukum. Tapi, aku mohon, jangan sesekali muncul di hadapanku lagi."

Setelah berujar, Safran segera berlalu dari sana, tidak ingin tinggal lebih lama. Anaknya, Almira memiliki kisah yang malang hingga membuatnya seperti ini, sekali lagi rasa bersalah itu bagai tali mencekik leher, sangat sulit baginya menjalani masa depan seperti ini.

~~~

Lifa menyekap mulut, netranya terus mengabur karena air mata. Berkali-kali dia menyakinkan diri bahwa semua yang terdengar hanya ilusi. Namun, ketika mendongak dan kembali menatap sedih cowok di depannya dia tersadar kejadian ini memang nyata.

"L-lo gak mungkin saudara tiri gue," lirihnya, "gue gak mau."

Tangis semakin pecah, bukan hanya kisah tragis yang menimpa sang kakak, melainkan fakta bahwa cowok yang dia sukai adalah saudaranya dan mama dari cowok ini menabrak Almira. Tidak, gadis itu menggeleng kuat-kuat, tidak ada takdir seperti ini, semua pasti karangan belaka.

"Kita ... gak bisa sama-sama, Fa. Maafin gue."

Mendengar Dean berucap demikian, dia lagi-lagi tersadar. Lebih baik Lifa tidak pernah mengetahui segalanya jika fakta yang terjadi benar-benar menyakitkan. Gadis itu bangkit, menggeleng kuat-kuat. Setelah memandang cowok di depannya yang masih menangis tersedu-sedu, dia segera pergi dari sana.

Sadar pergerakan Lifa, Dean ikut bangkit dan mengejar gadis itu. Dia meraih pergelangan tangan Lifa dan langsung memeluknya. Tak peduli apa pun, yang terpenting dia bisa memeluk gadis itu meski tanpa menawarkan ketenangan. Dia melakukan ini sebagai seorang saudara walau sebenarnya jauh di lubuk hati perasaan mulai tumbuh.

Rasa takut akan kehilangan kembali terbayang. Akan tetapi, Dean tahu itu bukan sekadar bayangan ketika Lifa berusaha melepaskaan diri dari pelukannya.

"Maafin gue," lirih cowok itu.

Hati Dean mencelos saat Lifa tak menanggapi dan memilih melangkah, menciptakan jarak semakin menjauh. Kini bukan hanya raga yang berjarak, perasaan keduanya pun sama.

"Maafin gue, Fa." Dean masih tak bisa berhenti menangisi kejadian hari ini. Bahkan apa yang terjadi sekarang jauh lebih membuatnya hancur dibandingkan setahun silam.

Sampai di rumah, Dean berjalan lesu memasuki ruang makan, mencari keberadaan Fika. Netra kelam cowok itu melihat sang mama tengah memasak, berbagai makanan terhidang di atas meja. Dia kembali menangis untuk kesekian kali.

Dia tahu mamanya kini berusaha menjadi orang tua yang baik dan pengertian. Dean merasakan itu semenjak kejadian sarapan di pagi hari, Fika memeluk tubuhnya erat dan meminta maaf. Mengingat pelukan hangat wanita itu membuatnya semakin sedih.

"Dean." Fika terkejut melihat anaknya datang, "Mama masakin ini semua buat kamu," ucap wanita paruh baya itu dengan semangat.

Tanpa aba-aba cowok setinggi 175 cm itu memeluk tubuh mamanya, air mata ditumpahkan ke bahu ringkih wanita di dekapannya. Setelah kejadian tadi, dia mungkin tidak akan bisa melakukan ini lagi, mendekap erat Fika.

"Ma ... adiknya Almira udah tahu kejadian setahun lalu."

Fika yang tadinya memeluk sang anak kini mengendurkan dekapan. Wanita itu menunduk dalam. Dia tahu bahwa Safran dan keluarga pria itu berada di Jakarta karena cerita Dean semalam, dan dia tahu pasti anaknya tidak akan menutup mulut soal kejadian suram di masa lalu.

Wanita itu tersenyum tipis, lantas mengangguk paham. "Mama tahu ka-kamu udah lakuin yang terbaik, Nak."

Dean kembali meraih tubuh sang mama dan memeluknya erat. Mereka saling menepuk punggung dan menenangkan diri. Inilah akhir dan merupakan hukuman yang memang pantas dia dapatkan sedari dulu.

Sementara itu, Lifa memandang sedih Melani yang tengah melamun di ruang tengah. Dia memperhatikan wajah sayu, kantung mata menghitam itu. Gadis berusia delapan belas tahun tersebut menyandarkan punggung di tembok sebelum menghampiri Melani.

Berat hati dia harus menyampaikan apa yang telah dia dengarkan hari ini, dia tidak menginginkan ada rahasia lagi di keluarganya. Sejenak Lifa sadar mengapa sang papa melakukan itu semua, sebabnya adalah Dean. Bagaimanapun juga Dean adalah anak Safran. Namun, sikap papanya menyembunyikan fakta kematian Almira juga tidak bisa dibenarkan.

Setelah meyakinkan diri, gadis itu menghampiri Melani. "Ma, Lifa pengen ngomong sesuatu."

Lifa merapatkan diri di samping Melani dan memeluk lengan wanita itu. "Lifa harap setelah dengar ini semua, Mama ngerti. Lifa tahu buat menerima memang susah, tapi aku juga tahu kalau Mama orang yang berhati lapang."

Melani tersenyum. "Kamu mau ngomong apa? Kok, serius gitu?" Tangannya mengusap lembut surai hitam sang anak.

Lifa menarik napas, lalu membuangnya. "Soal Kak Almira."

"Almira?" Melani menampakkan raut bingung, "kenapa?"

Mulailah Lifa menceritakan semua kejadian yang telah Dean utarakan siang tadi tanpa mempedulikan apa yang 'kan terjadi setelah ini. Lifa percaya bahwa tindakannya tidak salah.

Ruang berukuran cukup lebar itu mendadak menjadi sempit, menghimpit dada kedua wanita yang berada di sana. Haru biru mengiringi tiap kalimat dari bibir Lifa. Dia sedih untuk Almira, di sisi lain ada hati menjerit kesakitan di dalam sana karena harus mengikhlaskan perasaannya untuk Dean.

~~~
Day 19

Sisa satu bab lagi. Hang in there, besok adalah akhir😧.

Prepare ur self to say good bye with them😆


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro