10. Ex

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy baca 💜
Sorry for typo
.
.
.





"Jangan ragu ambil keputusan Sha, kalau memang sudah tidak layak dipertahankan, lebih baik berpisah."

Ezar tersenyum getir mengingat kalimat yang dia ucapkan di depan Maisha tadi. Bukan sok bijak atau sok keren memberi nasihat. Tetapi Ezar berkata demikian sebab dia pernah merasakan kecewa ketika tahu cinta yang selama ini dia jaga, dia curahkan kasih sayang tanpa tapi meninggalkannya begitu saja.

Di awal sikap Ezar tidak jauh beda dengan Maisha. Denial dan memilih bertahan pada perasaannya yang terabaikan. Berharap bisa memperbaiki semuanya seperti sediakala. Namun, seiring waktu berjalan Ezar menyadari satu hal, cinta adalah jika dua hati saling berbalas dan menerima. Bukan hanya salah satu, karena itu bertepuk sebelah tangan namanya. Jika sudah tidak ada kecocokan lagi, jika yang dipertaruhkan memilih untuk dilepaskan, maka tidak ada alasan lagi baginya untuk berharap.

Dua tahun bukan waktu singkat bagi Ezar. Banyak momen dan kebersamaan bersama Eliza sang mantan yang sukar dimusnahkan dari dalam hati ketika itu. Hanya karena merasa tidak diperhatikan, lantas mencari perhatian dari yang lain. Ezar masih menyimpan kata-kata Eliza ketika gadis itu menyatakan bosan dengan hubungannya yang dirasa flat bersama Ezar.

Lazarus baru saja menapaki puncak tangga popularitas sebagai start-up yang tengah berkembang pesat. Fokus dan perhatian Ezar sepenuhnya tertuju pada pertumbuhan perusahaan. Dia tepihkan sejenak keinginan pribadi semacam jalan berdua bersama kekasih - yang otomatis mengurangi jadwal temunya bersama Eliza. Bukan tidak pernah meminta Eliza untuk bersabar, padahal dia sudah merancang wacana masa depan bersama gadis yang dua tahun lebih muda darinya itu. Ezar sadar dia bukan lagi laki-laki abege yang hanya memacari perempuan sebatas karena ingin suka-suka, atau sekadar disebut keren karena tidak menyandang status jomlo. Saat dirinya membuat komitmen bersama Eliza, saat itu juga Ezar bertekad membawa hubungannya ke jenjang serius bertitel pernikahan. Untuk sampai di tahap sama, dia perlu bekerja keras, perlu sementara mengorbankan kebersamaan agar bekal untuk menapaki kehidupan baru bersama Eliza kelak dirasa cukup dan mapan. Tak dinyana Eliza kurang bisa sabar menunggunya. Protes kecil menjadi perdebatan besar, sampai berakhir dengan kata putus dengan dalih Eliza sudah tidak lagi terus-menerus diabaikan oleh Ezar.

"Makasih, Bapak sudah baik sama saya." Celetukan Maisha menyadarkan Ezar dari lamunannya tentang masa lalu.

Selepas meninggalkan pelataran Lazarus, Ezar tidak langsung mengantar Maisha pulang. Atas permintaan gadis itu mobil yang dia setiri berbelok memasuki sebuah kafe bernuansa retro. Awalnya Maisha minta ditinggal sendiri, dia tidak ingin merepotkan Ezar lebih banyak lagi. Ada sedikit rasa sungkan menjejali perasaannya.

"Minum, Sha, biar kamu lebih tenang." Ezar menunjuk cangkir berisi cokelat hangat dengan gerakan mata. Maisha menurut, diraihnya cangkir tersebut lantas menghidu pelan aroma cokelat yang menguar dari kepulan uap. Maisha menyeruput pelan minumannya.

"Saya enggak tahu kenapa Rendra jadi sangat egois gitu. Rasanya udah enggak tahan, hubungan kami udah enggak sehat." Tanpa ditanya Maisha bercerita sendiri tentang hubungannya dengan Rendra. Atensi Ezar tertarik sepenuhnya. Dia amati gadis yang tengah dilanda sentimentil di seberangnya itu.

"Padahal saya enggak pernah minta yang aneh-aneh. Cuma mau dia menunjukkan keseriusannya, datang ke rumah, kenalan sama orangtua saya, terutama Eyang Kakung, kalau memang dia serius sama hubungan kami." Maisha melanjutkan kisahnya. Ezar masih menjadi pendengar yang baik. Enggan menginterupsi curhatan Maisha.

"Kalau kayak gini terus, bisa-bisa saya enggak bisa nolak rencana perjodohan Eyang Kakung." Maisha menekap mulut. Airmuka menyesal telah begitu banyak melontarkan kata di depan Pak Ezar. "Ma-maaf Pak, saya enggak sengaja jadi curhat sama Bapak."

Ezar menggeleng pelan. "Enggak papa, kalau itu bisa mengurangi beban pikiran kamu. Silakan keluarkan semua unek-unek kamu, Sha."

"Makasih-"

"Tapi jangan ge-er, saya mau mendengarkan semata karena enggak ingin besok ada kabar kamu enggak masuk kerja atau sejenisnya. Jangan sampai sakit hati bikin performa kamu di kerjaan menurun, Maisha."

"Pak Ezar ikhlas enggak sih, dengerin curhatan saya? Enggak perlu diingatkan berkali-kali, saya udah paham sama tanggungjawab kerjaan, Pak."

Protes refleks melontar dari bibir Maisha, tanpa dia sadari di seberangnya, si lawan bicara mencoba menyembunyikan lengkungan senyum tipis yang sempat terekam mata. Ezar lantas berdeham disertai anggukan singkat.

"Kamu mau dijodohin, Sha?" Sengaja melempar tanya untuk mengalihkan topik. Yang ditanya mengangguk lemah. "Kenapa enggak diterima saja? Siapa tahu dia lebih baik dari pacar kamu." Pengimbuhan yang memantik delikan Maisha. Rona gadis itu berubah ngeri seketika.

"Enggak mau lah, Pak. Kalau laki-laki itu lebih tua dari saya gimana? Kalau dia botak, perutnya gendut, rambutnya udah ubanan, terus mukanya udah kakek-kakek?" Maisha bergidik ngeri,  menggeleng-geleng sendiri ketika berkata. Refleks tawa Ezar berderai panjang.

"Kamu terlalu banyak baca novel kayaknya, Sha. Saya yakin keluarga kamu enggak mungkin memilih laki-laki yang buruk untuk putri kesayangan mereka."

"Kalau sayang kenapa memaksa dijodohin? Benar kata Rendra keluarga saya itu kolot banget, Pak."

"Bukan kolot, tapi mereka ingin yang terbaik buat kamu, Maisha."

Maisha mengangkat kedua bahunya menanggapi statement Pak Ezar. Obrolan mereka terjeda saat adzan Maghrib berkumandang. Seperti biasa, Ezar pamit salat lebih dulu, meninggalkan Maisha di kafe.

20 menit kemudian Ezar kembali menapaki pelataran kafe usai melaksanakan Maghrib di masjid yang tidak jauh letaknya. Kakinya terayun santai ingin menyatroni meja tempat Maisha menunggu. Tangannya baru akan menekan handel pintu kaca saat bersamaan dari arah dalam seseorang tak asing melakukan gerakan yang sama. Ezar mundur beberapa langkah, tangannya refleks melepas handel pintu.

"Mas Ezar ...." Suara tak asing itu dilontarkan gadis bertubuh ramping yang saat ini berdiri tepat di hadapan Ezar.

Ezar sempat melirik sekilas penampilan gadis yang memakai dress  terusan selutut itu. Rambut panjangnya yang dulu suka sekali dicurly, menampilkan  kesan manis dan cantik, sekarang yang Ezar lihat menyisakan panjang sebatas pundak. Riasan wajahnya lebih berani dari sebelumnya. Bibir yang dulu kerapkali disapu liptint atau sebatas lipglos, sekarang dipoles gincu berwarna merah terang. Dia ... Eliza.

"Sama siapa, Mas?"

Ezar tahu itu pertanyaan basa-basi. Ingin menghindar sangat tidak mungkin, posisinya tepat berada di hadapan Eliza.

"Teman," sahut Ezar singkat.

"Cewe, Mas?" Pertanyaan Eliza selanjutnya menciptakan kerutan di kening Ezar. Kalaupun benar dia bersama cewe, apa urusannya dengan Eliza? Ezar memilih mengangguk singkat.

"Oh, baguslah, kamu udah bisa move on dari aku." Eliza tertawa pelan usai berkata pelan. Ezar makin merasa disergap awkward luar biasa. Dia ingin secepatnya enyah dari hadapan Eliza, bukan apa-apa, berada di dekat gadis itu membuatnya disergap sedikit rasa muak.

"Tadinya mau aku kenalin sama temenku, biar Mas Ezar cepat move on-nya." Kalimat tersebut mungkin bernada candaan bagi Eliza. Tetapi sama sekali tidak lucu bagi Ezar.

"Oh iya, aku lagi nunggu Rangga, tadinya ngajak makan si sini, tapi dia enggak bisa datang katanya ada keperluan mendadak." Eliza bertutur tanpa ditanya.

"Loh, Pak, saya tunggu malah di sini ternyata. Kopinya Bapak sudah dingin tuh, mau saya pesankan lagi? Tapi maaf, saya udah mau balik, Pak Ezar enggak papa, kalau saya duluan?" Suara Maisha menginterupsi obrolan satu arah antara Ezar dan Eliza. Embusan napas lega menguar dari mulut Ezar. Lega, merasa terselamatkan dari situasi tak mengenakkan oleh kedatangan Maisha.

"Enggak usah, Sha. Ayo, kita pulang." Ezar mengangsurkan tangan. Sekian detik Maisha masih terbengong, bingung dengan tindakan Ezar.

"Kamu enggak mau kenalin cewe kamu ke aku, Mas?" Sela Eliza.

"Kenalan sendiri saja, orangnya ada di sini ini." Kalimat Ezar barusan makin membuat Maisha disergap bingung. Matanya saling bersitatap dengan Ezar. Lelaki itu memberi kedipan beberapa kali - seperti kode dan permintaan maaf.

"Oh, saya Maisha." Tanpa aba-aba Maisha mengulurkan tangan. Eliza menyambutnya seraya menyebut nama.

"Ayo, Sha!" Interupsi Ezar. Lelaki itu mengulangi polahnya mengulurkan tangan. Ragu-ragu Maisha menatapnya sebelum menerima uluran tangan Ezar. Tidak ada penolakan, Maisha menurut saat Ezar menggandeng tangannya sampai di parkiran.

"Maaf, Maisha." Rapal Ezar begitu keduanya sudah memasuki mobil. Maisha memberi gelengan.

"Enggak papa, itu pasti mantannya Pak Ezar, ya?" Ezar mengangguk pelan. "Kenapa putus, Pak?" Ezar mulai melajukan kendaraannya meninggalkan pelataran kafe.

"Enggak jodoh kali, Sha." Jawaban diplomatis. Justru memantik rasa kepo Maisha.

"Pak Ezar terlalu flat kali, makanya cewenya enggak betah deh." Jawaban ngasal - yang sayangnya diaminkan Ezar dalam hati.

"Sok tahu kamu, Sha."

"Hmm, atau cewenya ngajakin ngabuburit, Pak Ezar yang enggak peka." Komentar Maisha lagi.

"Kayak puasa aja pake ngabuburit."

"Bukan ngabuburit yang itu, Pak. Tapi Nga-bu-bu-rit alias ngajak buru-buru merried." Ceplos Maisha. Refleks tawa Ezar berderai panjang.

"Ada-ada saja kamu, Sha."

"Tapi emang kok, kenapa ya, Pak, kebanyakan cowo tuh banyak alasan pas ditanyain keseriusan. Yang belum siap lah, yang takut enggak bisa bahagiain lah, yang belum mapanlah. Bla-bla-bla ... sampai eneg dengarnya."

Ezar tersenyum tipis. Baru menyadari ternyata Maisha secerewet ini. Tidak ada jaimnya sama sekali saat sudah berbicara. Ezar kira Maisha ini tipe perempuan ekstrover yang suka menyatakan apa pun suara hatinya.

"Kalau itu cowo kamu kali, Sha."

Kedua bahu Maisha terangkat bersamaan, tidak membantah juga tidak mengiakan.

"Menurut saya, wajar kalau laki-laki ingin mapan dulu baru melepas masa lajang. Karena kami hanya takut tidak bisa memenuhi ekspektasi tinggi istri kami nantinya. Realistis saja, Maisha, pernikahan enggak cuma butuh cinta buat modal, harus ada kematangan emosional, harus siap lahir batin, dan poin pentingnya adalah siap secara finansial."  Ezar menoleh menyadari suasana mendadak hening. Senyum tipis disertai gelengannya mencuat mendapati Maisha duduk meluruh dengan mata memejam sempura. Padahal tadi baru bicara banyak sekali, sekarang malah terlelap. Ezar menyalakan hazard saat mobilnya menepi ke bahu jalan. Diraihnya jas yang dia letakkan asal di bangku tengah, lantas meletakkannya ke permukaan tubuh Maisha. Mata Ezar sempat mengamati wajah Maisha dari jarak dekat. Tidak menampik Maisha memang cantik. Hidungnya mancung, bulu matanya lentik dengan pipi putih kemerahan. Gadis itu sempat menggeliat pelan, membuat Ezar diserang deguban jantung, lantas segera beringsut menjauh.










_______











Jangan lupa komen yang banyak, ya. Biar bisa kepilih buat menang gift novelnya. 😉


29-03-24
1600

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro