9. Enough

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy baca 💜
Sorry for typo
.
.
.


"Aku harus apa biar kamu maafin aku, Sha?"

Maisha bisa merasakan remasan kuat tangan Rendra pada jemarinya saat berkata demikian. Mata lelaki itu memancar sesal, membuat pikiran Maisha seketika terusik ... tapi, rasa dongkol dan kecewanya atas sikap kasar Rendra kemarin masih bertahan di dasar hatinya.

Maisha memilih melabuhkan pandangan ke arah lain. Matanya memanas, enggan sekali menatap Rendra, karena dia tahu, bisa-bisa airmatanya turun tanpa dapat dicegah seperti yang sudah-sudah setiap kali hubungan mereka didera masalah. Maisha lelah sekali, setiap kali masalah itu datang menyambangi, merasa hanya dirinya yang berupaya memperbaiki, tidak dengan Rendra.

"Sha, jawab aku." Pinta Rendra.

"Aku kecewa sama kamu, Ndra." Kalimat itu meluncur dari bibir Maisha. Setelah sekian lama akhirnya Maisha bisa mengatakan isi perasaannya. Dia kecewa berat. Padahal andai Rendra tahu kemarin saat Eyang Kakung dengan gamblang menyatakan ingin menjodohkan Maisha dengan laki-laki pilihan keluarganya, dirinya menentang keras. Berusaha mempertahankan Rendra sebagai pilihan hati. Namun, laki-laki yang dia pertahankan malah menorehkan kecewa.

"Iya, aku salah. Maafin aku, Sha."

Andai semua masalah bisa selesai hanya dengan kata maaf. Sayangnya sakit yang mendera hati tidak lantas sembuh hanya dengan ucapan maaf.

Mata Maisha memejam disertai gigitan di bibir bawahnya sendiri. Pikirannya mendadak ruwet. Ini bukan kali pertama Rendra bersikap kekanakan, dan Maisha selalu maklum. Untuk kali dia mengakui ada lelah yang mendera jiwanya.

"Kayaknya kita harus break dulu, Ndra. Kamu perlu berpikir apa aku seberharga dan sepenting itu di hidup kamu. Aku juga butuh waktu, apa hubungan ini layak buat kita pertahankan. Aku capek, Ndra ...." Maisha sendiri takjub dia bisa berkata demikian. Pasalnya dua tahun menjalin hubungan dengan Rendra, Maisha mengakui lebih banyak mengalah dan memendam perasaan. Selalu mengalah apa pun atas tindakan kekasihnya, lama-lama  Maisha diserang muak juga.

"Sha!" Sentak Rendra disertai remasan tangan yang makin kuat sampai Maisha mengernyit kesakitan.

"Lepasin Ndra, sakit tanganku." Maisha berusaha berontak, tapi nihil, kaitan tangan Rendra membelitnya kuat.

"Tega banget kamu ngomong gitu? Aku udah berusaha menepikan ego, datang kesini dan minta maaf, tapi malah kayak gini respons kamu, Sha!" Tidak terima atas kalimat Maisha, Rendra melontarkan protes.

Mata Maisha menajam. Diliriknya sekilas Rendra dengan perasaan campur aduk. Selama ini dia mati-matian bertahan di sisi lelaki yang telah dipacari hampir dua tahun itu berharap Rendra bisa berubah seiring waktu. Nyatanya yang didapatkan Maisha hanya rasa kecewa karena terlalu besar menyimpan harap.

"Kenapa Ndra? Kenyataan memang gitu, kan?" Maisha berusaha menanggapi konfrontasi Rendra dengan tenang. Dia baru sadar, selama ini impact apa yang didapatkan dengan bertahan di sisi Rendra? Selain hanya karena rasa bangga memiliki pacar dengan wajah tampan ala-ala Opah Korea. Maisha akui Rendra memiliki semua kriteria untuk disebut sebagai cowo ganteng incaran banyak perempuan. Tetapi, ganteng saja tidak cukup jika sifatnya masih kekanakan, egois dan selalu merasa benar sendiri.

"Kenapa kamu jadi kayak gini sih, Sha?!"

"Gini gimana, Ndra? Wajar kan, kalau aku tanya, apa aku seberharga itu di hidup kamu?"

"Kamu enggak perlu tanya itu, harusnya kamu udah tau jawabannya apa, Sha!" Kukuh Rendra.

"Kalau gitu buktikan Ndra, kamu berani enggak, datang ke keluargaku aku, melamar aku?" Tantang Maisha untuk kesekian kalinya. Yang ditantang refleks menggeleng samar.

"Sha!" Nada suara Rendra meninggi. Maisha sampai berjengit karena kaget dan baru pertama kalinya Rendra bersuara keras saat menyebut namanya. "Kamu tau alasanku belum siap melamar kamu. Kenapa masih dipertanyakan lagi?"

"Sampai kapan, Ndra? Sampai Eyang Kakung, Mama dan Papa berhasil meyakinkan aku buat menerima perjodohan itu?"

"Orangtua kamu yang kolot, kenapa harus ada acara jodoh-jodohan segala."

"Orangtua aku mungkin benar kolot, tapi kamu juga enggak tegas, Ndra. Kamu enggak berani ambil keputusan." Serang Maisha tak mau kalah. "Apa aku pernah nuntut kamu macam-macam? Apa aku pernah minta ini itu di luar batas kemampuan kamu? Aku enggak pernah kayak gitu, Ndra. Justru aku berusaha terima kamu apa adanya, kita berjuang sama-sama, grow up sama-sama, tapi kamu selalu kasih alasan yang sama, enggak siap!" Seperti muntahan lahara panas, keluar juga akhirnya semua unek-unek yang selama ini Maisha tahan dalam hati.

"Ada masalah, Maisha?" Suara lain menginterupsi. Sontak Maisha dan Rendra menoleh bersamaan ke sumber suara. Sosok tinggi tegap itu berjejak tak jauh dari keberadaan Maisha dan Rendra. Dia ... Pak Ezar.

"Maaf bukan ingin ikut campur, tapi saya perhatikan kalian seperti sedang ribut. Ini masih kawasan kantor, tingkah kalian jadi sorotan karyawan yang lain." Pengimbuhan yang seketika memantik rasa panas di mata Maisha.

"Enggak usah campur, ini masalah saya dan pacar saya." Rendra menukas disertai tatapan tak suka.

"Saya tahu, tapi saya perhatikan Maisha seperti enggak nyaman berada di dekat kamu. Apalagi ..." Jeda ucapannya disertai gerakan mata mengabsen pergelangan tangan Maisha yang dicengkeram kuat oleh Rendra. "Lepasin tangan Maisha, kalian bisa bicara baik-baik, tanpa perlu intimidasi fisik seperti itu." Peringat Ezar..

"Kamu siapa, datang-datang ingin ikut campur urusan kami?" Rendra masih belum terima. Lelaki itu lengah, kaitan tangannya pada Maisha mengendur. Tak ingin menyiakan kesempatan, Maisha berusaha menghindar dari Rendra begitu cekalan tangan lelaki itu terlepas sempurna.

"Pak Ezar, saya boleh nebeng Bapak, enggak?" Spontan Maisha. Pikirannya kacau, yang dia ingin saat ini menjauh dari Rendra. Yang ditanya mengangguk.

"Sha, kita belum selesai bicara, ya?!" Hadang Rendra.

"Hargai keputusan Maisha, dia belum mau melanjutkan pembicaraan kalian. Kamu bisa datang dan bicara baik-baik lain waktu." Ezar yang menimpali protes Rendra. Tidak mempedulikan keberadaan Rendra, Ezar isyaratkan Maisha memasuki mobilnya, meninggalkan Rendra yang sempat mengumpat tidak terima.

Sekuat tenaga Maisha tahan, luruh juga airmatanya saat duduk di dalam kendaraan Ezar. Tangisnya pecah, terisak-isak menyadari hubungannya dengan Rendra selama ini berjalan tidak sehat.

"Katanya pacaran enak, kok nangis lagi?" Pertanyaan Pak Ezar lebih terdengar seperti sindiran halus. Maisha tidak suka mendengarnya. Nada bicara Pak E seperti meledek kondisinya saat ini.

"Nangis aja dulu, biar kamu lega." Pak Ezar mengangsurkan sesuatu yang baru dia tarik dari saku celananya. Sapu tangan. "Tisunya habis, belum sempat saya ganti. Pakai ini, Sha." Imbuh lelaki itu. Maisha menerimanya tanpa bersuara.

Maisha mengusap permukaan wajahnya menggunakan sapu tangan milik Pak Ezar. Wangi aroma kayu dan bargamot langsung menyapa indera penciumannya. Sedikit menenangkan menghidu aroma parfum yang mungkin disemprotkan Pak E di sapu tangan miliknya itu.

"Jangan ragu ambil keputusan Sha, kalau memang sudah tidak layak dipertahankan, lebih baik berpisah." Kalimat Pak E barusan memang benar. Kali ini Maisha tidak tidak membantah. "Hubungan yang sehat itu berjalan dua arah, bukan cuma kamu yang effort buat bertahan, tapi pasangan kamu justru sebaliknya."

Perasaan Maisha menghangat mendengar statement Pak Ezar barusan. "Makasih, Bapak sudah perhatian sama saya." Maisha berkata tulus.

"Jangan ge-er. Saya bilang gitu agar jangan sampai masalah pribadi kamu mempengaruhi kinerja kamu nantinya," sahut Pak Ezar santai. Maisha mencelus. Baru saja dia merapal syukur atas sikap Pak E yang menurutnya masih berperikemanusiaan, masih memiliki empati, ternyata dugaannya salah. Sekali menyebalkan tegap menyebalkan.

_____

















Part depan kita kenalan sama Eliza, ya.







27-03-2024
1135

Tabik
Chan


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro