17. Start With Me (?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorry for typo
.
.
.

Maisha duduk memangku kepala dalam topangan kedua lutut. Di ruang pribadinya, usai pulang diantar Pak Ezar, dia segera pamit melenggang ke kamar. Kali ini Maisha tidak punya alasan untuk langsung mengusir atasannya tersebut setelah tahu rahasia yang selama ini Pak Ezar sembunyikan darinya. Awalnya sempat marah dan menganggap Pak Ezar tidak ada bedanya dengan Rendra. Merasa dibohongi dan ditipu, tetapi kalimat-kalimat menenangkan yang dilontarkan Pak Ezar berhasil meredam jelaga amarah di hati Maisha.

Pak Ezar memang tidak mengatakan ingin mampir, tapi lelaki itu benar-benar mengantarnya sampai di depan pintu. Bahkan saat kendaraannya berhenti di depan pagar, tukang kebun yang merangkap sebagai sekuriti yang berjaga di pos depan langsung menunduk hormat pada Pak Ezar. Kejadian itu menciptakan hipotesa dalam benak Maisha. Berarti selama ini diam-diam Pak Ezar sering datang berkunjung ke rumah besar milik orangtuanya ini. Namun, entah bagaimana ceritanya Maisha bahkan belum pernah bertatap muka sekalipun saat itu.

Bukan Maisha yang mempersilakan Pak Ezar masuk, tapi sang mama yang menyambut di depan pintu sengaja memaksa Pak Ezar untuk mampir. Lelaki itu menurut dan bergabung bersama Ghani - papa Maisha yang sedang duduk santai di ruang tamu.

Maisha tidak tahu apa yang sedang diobrolkan sang atasan bersama kedua orangtuanya karena dia memilih menghindar. Selain ada rasa cemas sendiri takut mama papanya curiga dengan bekas memar yang masih menghiasi wajah cantiknya, Maisha juga merasa rikuh berada di dekat Pak Ezar, apalagi di antara kedua orangtuanya.

Setengah jam hanya dihabiskan Maisha dengan duduk gelisah tak tentu arah. Ingin mengintip ke lantai bawah, apa Pak Ezar sudah pergi, tapi rasa penasarannya tertahan oleh gengsi dan sungkan yang membaur jadi satu. Entah kenapa semenjak tahu jika Pak Ezar adalah laki-laki pilihan papa dan Eyang Kakungnya, timbul perasaan rikuh kala di dekat lelaki yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu.

"Maisha, Nak, mama boleh masuk?" Ketukan pintu mendistrak keheningan dalam kamar Maisha. Gadis itu sontak mendongak ke arah pintu. Suara mamanya menggema disertai ketukan tiga kali. Maisha segera melesat ke depan meja rias, meraih concealer dan mengoleskan di beberapa lebam wajahnya.

"Sebentar, Ma. Maisha ganti baju dulu." Alibinya tidak sepenuhnya bohong. Usai meratakan concealer di wajahnya Maisha segera meraih setelan piyama dan menukar pakaian. Berharap sekali lebamnya tersamarkan dengan concealer dan mamanya tidak akan curiga. Maisha belum siap jika harus  dicecar atas kejadian yang menimpanya hari ini.

Maisha menguak pintu kamarnya lebar. Senyum teduh sang mama menjadi pemandangan yang menyambutnya. Rishita melenggang masuk seraya membawa gelas di atas nampan.

"Cokelat hangat kesukaan kamu, Kak," ujar sang mama lantas duduk di sofa tunggal yang terletak di seberang tempat tidur. "Sini, duduk sama mama." Rishita menepuk ruang kosong di sisinya. Maisha menurut, dia mengenyakkan tubuh tepat di sisi mamanya. "Minum dulu ini, Sha." Sang mama mengangsurkan cangkir keramik bergambar kartun Lotso magenta. Maisha menerima lantas menyeruput cokelat hangat sampai isinya tinggal separuh. Rasa rileks langsung meruangi perasaannya.

"Makasih, Mama." Maisha meletakkan cangkirnya ke atas nakas di sisi sofa three setter. Embusan pelan napasnya menguar, mencoba mengusir rasa kekhawatiran atas respons mamanya yang sejak tadi tidak berhenti memperhatikan polahnya.

Tangan Rishita mengusap rambut putrinya dengan lembut. "Kamu enggak mau cerita apa-apa sama mama, Sha?"  Yang ditanya menggeleng pelan. "Mama ..." Ada jeda dalam ucapan Rishita, matanya mengabsen rona sang putri. Maisha mutlak menunduk tanpa berani menatap balik. "Mama sudah tahu semuanya dari Ezar." Sambung Rishita sontak mereaksi Maisha. Gadis itu refleks mendongak. Kilau kaca melapisi kedua mata Maisha. Sekuat tenaga menahan, tak dinyana tangisnya menganak sungai juga di depan sang mama.

"Maafin Maisha, Ma." Rapal Maisha di sela isak tangis. Sesal mengepung benaknya karena enggan mendengarkan nasihat orangtuanya. "Mama benar, dia bukan orang baik." Dia yang dimaksud Maisha salah sang mantan.

Rishita berusaha menenangkan sang putri dengan pelukan dan usapan di punggung Maisha. "Maisha enggak salah. Begitulah hidup, kadang sebagian orang datang untuk memberi pelajaran hidup yang berharga, dan sebagian lagi bisa jadi adalah pilihan terbaik yang dipilihkan Tuhan. Cuma kita sebagai manusia kadang enggak menyadari sinyal itu." Maisha mengangguk dalam dekapan sang mama. Perasannya terasa lega luar biasa akhirnya bisa meluapkan tangis di depan sang mama.

"Mama lega akhirnya Maisha bisa lepas dari laki-laki kasar itu."

Maisha sudah memprediksi, cepat atau lambat orang rumah pasti akan tahu situasi ini. Mau disembunyikan seperti apapun tidak akan bisa.

"Pak Ezar--"

"Orangnya barusan pamit pulang, Sha," sahut mamanya cepat. "Gimana Ezar, Sha? Baik kan, orangnya?" Ditanya seperti itu Maisha menjawab dengan anggukan. Pak Ezar memang baik, tidak terbantahkan. Tetapi untuk merealisasikan permintaan eyang Kakung beserta kedua orangtuanya, Maisha belum bisa menjanjikan apa pun.

"Ma, tapi sekarang ini Maisha belum kepikiran buat menjalin hubungan. Maisha masih mau sendiri."

"Mama dan yang lain enggak maksa kok, Sha. Dari awal memang kami maunya kamu dekat aja dulu sama Ezar."

"Mama kok enggak enggak pernah cerita kalau Pak Ezar itu anaknya Tante Dianti?"

"Tadinya mama mau cerita, tapi kata papa sama Eyang kamu, jangan dikasih tahu dulu."

"Kenapa, Ma?" Maisha menatap penasaran.

"Biar kalian dekat dengan sendirinya. Kalau dikasih sejak awal pasti kamu bakal denial, Kak." Jawaban sang mama diaminkan dalam hati oleh Maisha. Benar sih, andai sejak awal Maisha tahu kalau laki-laki itu adalah Pak Ezar dia pasti bakalan berontak, tetap mempertahankan hubungannya dengan sang mantan.

"Jalani saja dulu, Kak. Lagian mama, eyang dan papamu juga belum pengin cepat-cepat mantu. Setidaknya kalian dekat satu sama lain dulu biar tahu karakter masing-masing." Rishita menambahi. "Oh iya, Ezar juga cerita soal rencana ke Surabaya." Kalimat terakhir sang mama memicu respons Maisha.

"Terus apa pendapat mama?" Tanya Maisha.

"Ezar sudah minta izin langsung sama papa tadi. Kalau pendapat mama, ikut saja, Sha, hitung-hitung healing gratis." Maisha tertawa tanpa suara mendengar pendapat mamanya. Rasa lega meruangi perasaannya saat ini. Dia mengangguk merespons ucapan sang mama.

_____

Jeda satu hari sebelum Maisha ikut terbang bersama Pak Ezar menuju Surabaya. Cuti sakit karena tidak ingin anak kantor memergoki wajah lebamnya yang masih menyisakan tanda biru kemerahan. Terutama Maisha ingin menghindar sejenak dari cecaran Mbak Meta dan Mas Rizal. Duo racun itu pasti tidak akan berhenti sampai Maisha berkata jujur.

Maisha mengedarkan pandangan ke segala sisi saat mobil yang membawanya dan Pak Ezar berjalan meninggalkan lobi bandara Juanda. Terik matahari berkolaborasi dengan panas menciptakan gerah yang langsung dirasakan Maisha. Ternyata selentingan tentang panasnya kota Surabaya bukan isapan jempol semata.

"Minum, Sha, biar enggak dehidrasi. Surabaya panasnya pol-polan." Tanpa basa-basi Pak Ezar mengangsurkan sebotol air mineral pada Maisha.

"Makasih, Pak." Rasa sejuk melanda tenggorokan Maisha usai meneguk air pemberian s
Pak Ezar.

"Kamu capek, enggak Sha?" Tanya Pak Ezar kemudian. Maisha menggeleng pelan.

"Kenapa, Pak?"

"Cari makan siang dulu gimana? Setelah itu baru saya antarkan kamu ke hotel."

"Boleh, Pak."

"Kamu mau makan apa, Maisha?"

Maisha bergeming. Belum terlintas di pikirannya ingin makanan tertentu.

"Ciri khas Surabaya apa, Pak?" Tanya berbalas tanya.

"Kalau berkunjung ke Surabaya dan belum merasakan sate kelopo Ondomohen rasanya belum lengkap, Sha. Gimana, mau nyobain ke sana?"

Maisha mengangguk antusias, "Boleh, Pak. Saya juga penasaran, belum pernah makan sate kelapa."

Pak Ezar segera memberi instruksi pada sopir taksi untuk menuju tempat makan yang dipilih.

Canggung. Adalah yang mendominasi perasaan Maisha kini. Rasanya belum pernah se-awkward ini saat berada di dekat Pak Ezar.

"Gimana perasaan kamu, Sha?" Pak Ezar melontarkan tanya lagi. Sepertinya lelaki itu yang terus aktif memancing obrolan, berbanding balik dengan Maisha yang lebih banyak diam.

Maisha sedikit terkejut dengan pertanyaan Pak Ezar. Bukan ingin membandingkan, tapi selama hampir dua tahun bersama Rendra, tidak sekali pun mantannya itu pernah bertanya bagaimana perasaan Maisha. Apa dia sedang sedih, kecewa atau senang. Maisha jadi merasa sangat diperhatikan. Meski patokan kedewasaan itu tidak melulu dilihat dari angka usia, tetapi untuk Pak Ezar - dia memiliki keduanya. Matang dan dewasa, persis seperti kata mamanya kemarin malam.

"Sha, you okay?" Kali ini pertanyaan Pak Ezar dibarengi dengan tatapan intensnya.

"Iya, saya baik-baik aja kok, Pak."

"Apa dia masih gangguin kamu?" Dia yang dimaksud Pak Ezar adalah mantan Maisha. Sang gadis menggeleng.

"Saya udah blok semua akses buat dia, Pak."

"Kalau dia macam-macam lagi jangan ragu untuk ambil tindakan tegas, Sha. Orang seperti itu harus banget dikasih efek jera."

"Sejak kapan Pak Ezar jadi sepeduli ini sama saya? Perasaan dulu sebelum saya tahu siapa Bapak sebenarnya, sikapnya selalu ketus kalau sama saya." Maisha mengubah topik obrolan. Ditanya seperti itu Pak Ezar tertawa lepas.

"Saya ketus sebagai atasan kamu, Maisha, itu juga karena kerjaan kamu kurang bagus, makanya saya berusaha tegas."

Obrolan mengalir tanpa diprediksi. Seakan di antara keduanya tidak ada orang lain, padahal ada sopir taksi yang sejak tadi mungkin menyimak obrolan random dua penumpangnya.

"Saya masih enggak habis pikir, kalau diingat-ingat bodoh banget selama ini mencoba bertahan," aku Maisha tanpa sadar. Kalimat itu tercetus begitu saja dan keluar lewat bibirnya.

"Mungkin dia hadir sekadar menjadi pelajaran hidup, tapi bukan disiapkan Tuhan untuk jadi pendamping hidup, makanya kamu disadarkan atas kejadian kemarin, Sha."

Maisha mengangkat kedua bahu bersamaan. Entahlah, dia bisa menarik kesimpulan, tapi semuanya terjadi terlalu cepat, seperti kilatan lampu blitz yang berputar-putar di depan matanya.

"Terkadang enggak semua yang rusak bisa diperbaiki, tapi memang ada kalanya harus diganti, Sha."

Maisha manggut-manggut setuju. "Bapak benar."

"Jadi, laki-laki seperti apa yang jadi impian kamu, Rumaisha?"

Kening Maisha berkerut mendengar pertanyaan spontan Pak Ezar.

"Kenapa Bapak tiba-tiba tanya begitu?" Selidik Maisha.

Gantian Ezar mengangkat kedua bahunya sebagai respons, "Ya karena saya mau tau."

"Kenapa Pak Ezar mau tau?" Cecar Maisha lagi.

Pak Ezar menatap Maisha lekat sebelum menjawab, seolah lewat selaman matanya ingin menunjukkan ketulusannya.
"Karena ... sepertinya saya mau memaksakan diri ...."


______











































15-05-24
1570

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro