23. Give Me a Moment

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng






"Pssst ...."

Desisan suara mendistrak fokus Maisha yang sedang transfer data di ruang analyst. Ruangan tempat duo rekan karibnya, si senior Mbak Meta dan Mas Rizal. Maisha seketika menoleh. Di sebelahnya Mbak Meta mendesis lagi - menampakkan bibirnya yang sengaja dibuat monyong ke arah Maisha.

"Sombong amat PA-nya Pak E. Baru naik pangkat udah lupa sama gue." Satir Mbak Meta barusan menciptakan gelak tawa Maisha.

"Apa sih, Mbak? Bentar, ini masih loading, kalau udah beres tak jabanin," sahut Maisha.

"Sini Lo, Sha. Gue mau wawancara bentar!" Kata-kata Mbak Meta adalah perintah ; bagi Maisha. Sembari menunggu transfer data analisis perusahaan yang diminta Pak Ezar, Maisha menuruti perintah Mbak Meta.

"Apaan?"

"Lo beneran ya, jadi ani-aninya Pak E?" Mbak Meta berbisik tepat di sisi kuping Maisha sembari matanya mengedar ke segala sisi ruangan, takut ada yang mendengar.

Mata Maisha membeliak. "Mbak, please ya, harus banget dibahas lagi yang kayak gitu?"

"Lah, gue nanya, Sha. Lo tau enggak, sekantor udah pada heboh, katanya Lo itu kekasih gelapnya Pak Boss."

Maisha mendesah panjang. "Gosip dari mana sih, Mbak?" Pasti ini gara-gara ulah Pak Ezar tadi pagi yang ngintil saat Maisha ke kantin. Apalagi di sana dia dan Pak Ezar duduk dekat hanya bersekat meja.

"Ada anak kantor yang lihat Lo masuk ke apartnya Pak E."

Maisha menekap mulut. Kaget dengan informasi yang ditebar Mbak Meta barusan.

"Siapa, Mbak?"

"Enggak tau dah, gue denger sih salah satu anak talent. Mereka kebanyakan tinggalnya kan di apart, Sha."

Maisha manggut-manggut. Masih tidak menyangka kalau ada anak Lazarus yang melihatnya memasuki apartemen Pak Ezar. Berarti kejadiannya sudah agak lama, kalau Maisha tidak salah ingat, dia hanya dua kali singgah di apartemen bossnya itu. Pertama usai tragedi penganiayaan Rendra dan kedua beberapa waktu lalu.

"Biarin sih, Mbak, yang penting gue enggak macem-macem." Maisha menanggapi santai. Mau dibantah pun nanti pada akhirnya semua akan tahu kalau dia memang sengaja 'didekatkan' dengan Pak Ezar. Dari mutasi Maisha sebagai staff analyst menjadi asisten pribadi saja sudah terkesan aneh. Pasti jadi bahan bisik-bisik seluruh penghuni Lazarus.

"Gue sih enggak masalah Lo dekat sama Pak E, Sha, malah ikutan seneng, toh Pak E juga jomblo, bukan punya siapa-siapa, tapi gue enggak suka ya kalau Lo sampai macem-macem. Gini-gini gue sayang sama Lo, udah gue anggap adek sendiri." Pernyataan Mbak Meta membuat Maisha terharu. Refleknya memeluk seniornya itu dari samping. "Apalagi itu mulutnya anak-anak talent kek sampah semua, pengin gue simpel nih pakai gulungan hvs. Pakai segala ngomongin katanya Lo kegenitan sengaja dekat-dekat sama si Pak E." Mbak Meta melanjutkan omelannya.

"Ah, thanks Mbak Met. Lo sepeduli itu sama gue. Udah sih, jangan emosi, nanti kerutan di dahi nambah. Biarin aja mereka mau bilang apa sesukanya."

"Paan sih, Sha, lebay lo."

"Gue juga sayang kali sama Lo, Mbak."

"Tapi Lo beneran bukan ani-aninya Pak E, kan? Gue yakin salah satu anak talent sengaja nyebarin gosip yang enggak-enggak tentang lo, Sha. Curiga gue, di antara mereka ada yang naksir berat sama Pak E tapi enggak ditanggapi."

Kalimat terakhir Mbak Meta cukup menarik atensi Maisha. Jadi, benar gosip bahwa anak-anak talent mengagumi Pak Ezar bukan isapan jempol semata.
Maisha menampar pelan lengan Mbak Meta. "Ih, enggak lah, salah kalau Mbak Meta nebaknya gitu. Gue bukan ani-aninya Pak E, kok, tapi ...." Maisha sengaja menggantung ucapan, membuat Mbak Meta gemas.

"Tapi apaan? Jangan macem-macem lo, Sha." Selidik Mbak Meta menatap intimidasi Maisha.

"Tapi gue calon bininya, Mbak." Terucap juga kalimat itu dari bibir Maisha. Batinnya sibuk mengamatinya munafik. Tadi saja sok-sokan tidak peduli dan enggan menerima, tapi sekarang malah mengakuinya di depan orang lain. Dasar Maisha. Usai mengatakannya di depan Mbak Meta, Maisha gegas meraih laptopnya dan beranjak dari ruang analyst, meninggalkan Mbak Meta yang masih mengangah disertai wajah penasaran.

"Sha, sumpah ya, lo utang banyak cerita sama gue. Maishaaa!" Lengking suara Mbak Meta menyambangi telinga Maisha yang sudah berhasil keluar dari ruangan sang senior. Sengaja menggantung pengakuan, Maisha pikir nanti saja akan cerita semuanya pada Mbak Meta kalau kerjaan mereka sudah longgar.

___

"Maisha, data yang saya minta sudah ada?" Begitu sampai di mejanya Pak Ezar sudah lebih dulu stay di sana.

"Sudah, Pak. Ini, tinggal saya kirim ke email Bapak."

"Enggak usah Sha, buka lewat laptop kamu saja."

Maisha menurut, duduk di kursinya dan mulai menyalakan laptop. Tangannya sibuk mengklik tetikus begitu laptop menyala sempurna.

"Mana, Sha?" Tanpa rasa canggung Pak Ezar berdiri di belakang Maisha, tangannya mengambil alih tetikus sembari matanya fokus menatap layar komputer jinjing di hadapannya. Tindakan lelaki itu sukses membuat Maisha membeku sejenak. Jantungnya seketika berpacu super cepat, berada di jarak super dekat begini dengan Pak Ezar.

"P-Pak, biar saya berdiri, Bapak silakan duduk."

"Enggak usah, Sha, saya cuma sebentar."

"Enggak enak dilihat yang lain, nanti jadi gosip."

"Saya enggak peduli sama gosip murahan." Fokusnya masih berada di layar, sibuk mengamati tabel data terbaru Lazarus. "Swastamita menempati trending kedua bulan ini ya, Sha." Komentar Pak E cepat sekali berganti topik. Maisha ikut mengamati layar laptop, benar, produk lokal gubahan Tsabita menempati posisi teratas kedua bulan ini di Lazarus.

"Wah, iya Pak. Memang bagus sih, udah gitu desainnya enggak pasaran, tapi harga merakyat."

"Jangan lupa Sha, bentar lagi after office saya tunggu di parkiran." Pak Ezar menegakkan tubuh, saat bersamaan Maisha melepas embusan napas lega. Tidak ada yang tahu akibat polah Pak E, jantungnya berdetak abnormal tadi.

"Iya, Pak."

"Jangan lupa juga, kita masih punya pembahasan pribadi."

"Iyaa Pak."

"Data yang tadi ini kamu siapin buat bahan meeting Jumat besok, Sha."

"Iya, Pak, siap."

"Saya balik ruangan Sha, jangan kangen."

"Iya enggak -" Maisha mendelik sembari menekap mulut dengan salah satu tangannya,  bisa-bisanya Pak Ezar melontarkan kalimat receh macam itu. Sejak kapan lelaki itu jadi suka menggodanya? Maisha masih bergeming, sementara tawa renyah Pak E masih terdengar meski orangnya telah menjauh dari kubikel Maisha.

Maisha bersiap memberesi segala printilan pekerjaan hari ini. Laptop telah dimatikan, berkas untuk meeting Jumat besok tinggal diprint nanti. Matanya melirik sekilas jam yang melingkar di pergelangan tangan, pukul 16.30 sore. Sesuai janjinya Maisha akan menemani Pak Ezar mencari kado lahiran untuk owner Swastamita ; Tsabita.

Ketukan heels Maisha menyambangi lantai lobi. Belum sempat menjangkau area luar, tangannya digeret seseorang. Suara cemprengnya tidak asing bagi Maisha. Dia - Mbak Meta.

"Lo punya utang sama gue, Sha. Jangan coba-coba kabur, yak!" Peringat Mbak Meta.

"Astaga, Mbak, gue buru-buru, besok aja ceritanya."

"Kagak!"

"Gue ditungguin, Mbak."

Tatapan Mbak Meta berubah penuh selidik. "Siapa?"

Maisha mengatupkan kedua bibirnya.

"Pak E?" Tebakan Mbak Meta diaminkan Maisha. "Wah, parah Lo, Sha. Bisa-bisanya nyembunyiin hal besar dari gue."

Maisha tertawa pelan. "Janji deh, besok gue ceritain semuanya."

"Janji-janji mulu, udah kek de-pe-er aja lo, Sha."

"Serius Mbak, besok gue ceritain. Sekarang mau pergi ada keperluan urgent." Ditunggu Pak Boss di parkiran termasuk hal urgent, kan? Maisha tidak bohong, kok.

"Mau kencan lo ya, sama Pak E?"

Telunjuk Maisha refleks terparkir di depan bibir, isyarat pada Mbak Meta agar jangan berisik. Banyak lalu lalang karyawan Lazarus, Maisha tidak mau gosip tentang dirinya dan Pak E makin berkembang pesat.

"Ya udah sono lo, Sha. Awas aja besok ingkar janji."

"Iyaa Mbak Met, dadaaah." Maisha meneruskan langkah, pun Mbak Meta. Keduanya berpisah di depan lobi.

Maisha menjangkau parkiran, matanya menekuri sosok berpunggung tegap yang duduk menyandar di sisi Palisade hitam sembari melipat kedua tangan di depan dada.

"Kok lama, Sha?" Maisha baru mendekat saat bersamaan Pak Ezar melontarkan tanya yang lebih terdengar seperti sebuah protes.

"Tadi ketemu Mbak Meta di lobi, Pak. Ngobrol sebentar."

Pak Ezar manggut-manggut, lantas isyaratkan Maisha masuk dibarengi gerakan tangannya yang sigap membukakan pintu mobil. Maisha sedikit speechless. Dua tahun bersama Rendra saja tidak pernah diperlakukan sehormat ini.

"Makasih, Pak." Maisha langsung memasang seat belt dengan cepat. Khawatir kalau lengah akan didahului tindakan Pak Ezar. Bisa-bisanya hatinya terkacaukan lagi oleh polah lelaki itu.

Mesin mobil memang sudah menyala, dingin embusan AC sejuk menerpa wajah Maisha. Namun, mobil belum bergerak seinci pun. Pak Ezar berdeham singkat sebelum mengeluarkan kata-kata.

"Sebelum pergi, saya mau dengar jawaban kamu, Maisha." Matanya berfokus pada Maisha ketika bicara.

"Soal apa ini, Pak?"

Tawa renyah Pak Ezar menggema. "Sha, baru tadi pagi dibahas kamu udah lupa?"

Maisha jadi salah tingkah sendiri. "Maksudnya yang di kantin, Pak?" Yang ditanya memberi anggukan.

"Saya harus jawab apa?" Pasrah Maisha.

"Iya, atau enggak?"

"Memangnya jawaban saya berpengaruh buat Pak Ezar?"

Anggukan Pak Ezar. "Jelas, Maisha. Kalau kamu jawab iya, saya harus segera mengatur planning, mikirin konsep pernikahan seperti apa yang kamu impikan, saya mau mewujudkannya."

Maisha mengerling tanpa mengalihkan tatapan dari kaca mobil di depannya. Khawatir kalau matanya bertemu dengan manik legam milik Pak Ezar, dia bisa kesulitan bicara.

"Kalau saya jawab enggak?"

"Sama saja, saya harus mikirin alasan yang meyakinkan pada eyang kakung dan mama."

"Memangnya apa yang bikin Pak Ezar seyakin itu? Bapak enggak takut dikatain down grade sama anak-anak Lazarus? Masa Boss dapatnya karyawan biasa?" Sengaja memancing, Maisha ingin tahu jawaban Pak Ezar. Yang ditanya malah tergelak renyah.

"Selama itu enggak merugikan, saya benar-benar enggak peduli sama pendapat atau penilaian buruk manusia, Rumaisha."

Maisha memberanikan diri menatap balik sepasang netra Pak Ezar. Menyelam ke dalam tatapan lelaki itu, Maisha tidak menemukan hal janggal selain pancaran tulus.

"Kasih saya waktu, Pak." Pinta Maisha akhirnya. "Biarkan saya mengenal Pak Ezar lebih dulu."

"Kita udah kenal, Sha." Kelakar Pak Ezar.

"Pak, saya serius."

"Saya lebih dari serius."

"Maksudnya -"

"Iya, saya paham maksud kamu, Maisha. Berapa lama? Satu bulan? Dua bulan?"

Maisha mengangguk samar-samar. "Dua bulan," jawabnya mantap.

"Oke, saya setuju." Tangan Pak Ezar terulur, Maisha ragu-ragu, tapi tak urung menyambut uluran tangan lelaki itu. "Jadi, apa ini hari jadian kita, Sha?"

Maisha mendelik, tangannya refleks terlepas dari genggaman Pak Ezar.

"Enggak ada jadi-jadian, Pak. Saya enggak mau pacaran." Protes Maisha tegas. Yang diprotes kembali meledakkan tawa renyahnya.



_______















Guys, lagi ada event menulis, di Agustus ini, bertemakan 'Mantan'
Kira-kira Kachan ikutan atau enggak, ya?
Saat ini belum ada mood mau ikut, siapa tahu habis baca komentar kalian kachan tergerak mau ikutan. Apalagi ini yang ngadain event penerbit yang biasanya kachan ikutan event.

Cerita-cerita sebelumnya yang kachan ikutkan event di sana ada: My Sweetest Aisyah, Ephemeral dan Stuck With You.

Voting deh.

Ikut ?

Enggak usah?











09-08-24
1700




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro