24. Konfrontasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Happy baca 💜
Sorry for typo 🍓

.
.
.







Maisha tidak bisa menyembunyikan rona merah yang tiba-tiba muncul di kedua tebing pipinya akibat pernyataan Pak Ezar barusan. Tidak, dia dan Pak E tidak jadian seperti cerita di novel-novel romance. Maisha mengiakan untuk mengenal dekat, tanpa ada hubungan bertitel pacaran. Lagipula dia rasa cukup sekali saja merasakan pacaran - yang lebih banyak meninggalkan perasaan kecewa setelah tahu seperti sang mantan sebenarnya.

Maisha juga diserang rasa waspada. Dia khawatir semua pernyataan Pak Ezar sebatas love boombing semata. Bukan tanpa alasan Maisha merasa harus waspada. Pengalaman pahit bersama Rendra cukup membuat Maisha mawas diri agar jangan sampai jatuh ke lubang sama kedua kalinya.

"Pak Ezar kenapa memilih saya?" Adalah pertanyaan Maisha. Masih belum percaya sepenuhnya, kenapa Pak Ezar yang notabene tipe cowo eligible menjatuhkan pilihan padanya.

"Saya sudah pernah bilang kayaknya, ya. Awalnya hanya sebatas menuruti keinginan mama serta menghormati permintaan eyang, tapi makin kesini saya menyadari kalau kamu berhasil bikin saya enggak bisa berhenti senyum, Sha."

Maisha mendesis. "Ish, memangnya saya badut, Pak!?"

"Tingkah kamu memang lucu ... di mata saya."

"Receh."

"Mending receh daripada kasar, kan?" Kalimat Pak Ezar mengandung sindiran halus. Tentu saja Maisha paham siapa yang dimaksud kasar oleh lelaki itu. Pasti mantan Maisha yang tidak tahu diri ; Narendra.

"Mau jalan jam berapa, Pak? Bentar lagi Maghrib loh." Peringat Maisha. Pasalnya hampir tiga puluh menit keduanya masih berdiam di dalam Palisade Pak Ezar.

"Sebentar, saya ada satu pertanyaan lagi dan kamu harus jawab jujur, Sha."

"Apa, Pak?"

"Kalau kamu sudah membuat keputusan untuk dekat saya, berarti progres kita selanjutnya adalah keseriusan, kan, Sha?"

Maisha terpaku sejenak. Pikirannya kembali diambang bimbang menjawab tanya Pak Ezar. Pasti lelaki itu akan bertanya seperti ini.

"Sha," tegur Pak Ezar. "Kalau gitu kita jalan sekarang, sambil kamu mikirin jawaban buat saya?" Pertanyaan Pak Ezar menyadarkan Maisha dari keterpakuan. Anggukannya mencuat mengaminkan kata-kata Pak Ezar.

"Pak, boleh, enggak kalau sementara ini, kita begini aja dulu. Enggak usah mikir serius atau hal lainnya, kan saya bilang mau kenal lebih dekat, bukan mau langsung ke jenjang serius."

"Buat apa dekat kalau enggak ada tujuan untuk serius, Sha. Buang-buang waktu. Tahun ini saya 32 tahun, sudah didesak orangtua buat segera menikah."

"Tapi nikah itu enggak bisa grasak-grusuk, kan, Pak. Katanya menikah itu ibadah terpanjang, ngejalaninnya seumur hidup, jadi harus benar-benar dipikirkan matang-matang."

"Saya setuju sama.pendapat kamu, Maisha. Tapi kamu juga harus tahu, saya memikirkan ini bukan sehari dua hari, atau baru kemarin, saya punya niat serius sejak pertama kali ketemu kamu." Pengakuan Pak Ezar sukses membuat Maisha disergap kaget - tapi sebisa mungkin berusaha menyembunyikan ekspresinya.

"Katanya sebatas nurutin permintaan Tante Dianti?" Maisha menatap penuh selidik.

"Iya, karena waktu itu kamu sudah punya pacar. Saya mau apa? Jadi orang ketiga gitu? Enggak banget, Sha." Alibi Pak Ezar lumayan masuk di benak Maisha. Iya, saat itu Maisha memang sedang bersama Rendra.

"Setelah saya tahu kalau pacar kamu bukan laki-laki baik, kasar dan kurang ajar, saya makin yakin kalau mau serius sama kamu." Jawaban Pak Ezar sejak tadi selalu lugas dan terdengar apa adanya. Diam-diam perasaan Maisha diruangi rasa haru tersendiri.

"Kalau gitu saya mau ralat jawaban saya tadi. Dua bulan kedepan saya mau kita dekat, serius juga, tapi endingnya kayak apa, saya maunya mengalir aja, must go on, Pak." Sumpah, Maisha tidak bisa menghindari jedag-jedug yang sejak tadi berisik sekali di dalam dadanya. Ada meletup-letup di dalam jantungnya, menimbulkan gelenyar aneh tapi menyenangkan.

"Sha, saya mau ajak ke rumah dulu mau, enggak?"

Maisha refleks menoleh sepintas. "Rumah?"

Pak Ezar yang sedang fokus pada setir kemudi mengangguk singkat. "Iya, ketemu Mama."

"Ke-Kenapa mendadak, Pak?"

"Soalnya saya sudah janji sama mama, akan ngajak kamu ke rumah kalau kamu sudah setuju untuk kita lebih dekat." Lelaki itu menoleh sekilas - sembari memamerkan senyum tipisnya pada Maisha.

Oh God! Kenapa Maisha baru menyadari senyum Pak Ezar yang hanya segaris itu tampak begitu memikat. Pantas saja banyak anak talent terjerat pesona si Pak Boss.

"Enggak usah ngelirik gitu Sha, kalau mau pandang aja sepuasnya." Skakmat! Rupanya diam-diam Pak Ezar memerhatikan polah Maisha. Untung saja mobil sampai di depan sebuah rumah berpagar tinggi, jadi fokus Pak Ezar teralihkan saat membunyikan klakson sebagai kode meminta tolong dibukakan pagar oleh satpam yang ada pos jaga.

Mobil Pak Ezar terparkir sempurna di carport rumah besar berlantai tiga.

"Turun yuk, Sha!" Titah Pak Ezar. Seperti biasa lelaki itu berlari kecil ke pintu samping, membantu membukakan untuk Maisha.

"Makasih, Pak." Maisha masih mengamati bangunan di depan matanya. Fasad bergaya Mediterania klasik. Besar rumah ini Maisha perkirakan hampir sama dengan kediaman kedua orangtuanya.

Pintu utama terbuka lebar ketika Pak Ezar dan Maisha berbarengan merapal salam. Belum ada jawaban tapi Pak Ezar mengajak Maisha melangkah masuk. Mendekati ruang tengah - yang juga difungsikan untuk bersantai dan menonton televisi, sayup-sayup Maisha mulai mendengar suara obrolan. Suara itu didominasi oleh laki-laki dan perempuan.

Rasa penasaran Maisha maupun Pak Ezar tercerahkan begitu memijak lantai ruang tengah. Di sofa three seater cokelat kayu, duduk sosok yang waktu itu pernah ditemui Maisha di kafe bersama Pak Ezar. Perempuan cantik itu mengenakan dress longgar putih setinggi lutut. Tepat di sisi perempuan itu duduk sosok laki-laki yang perawakannya mirip Pak Ezar. Hanya menilik dari raut mukanya
Maisha perkirakan usianya mungkin di bawah Pak Ezar.

"Zar ...." Dan, itu adalah suara Tante Dianti - mama Pak Ezar;  duduk di kursi yang ada di sebelah kiri sofa. Maisha amati wajah Tante Dianti menyirat sendu. "Maisha," lanjut mama Pak Ezar lantas beranjak menyambut Maisha. Barter pelukan singkat sebelum Tante Dianti menghela Maisha duduk di kursi seberangnya. Sementara Pak Ezar masih mematung di tempat ; berjejak seraya mengantongi tangannya pada saku celana tanpa berniat menyusul Maisha duduk.

"Zar, duduk dulu." Titah sang mama.

"Ada apa ini, Ma?" Tidak menggubris permintaan mamanya, Ezar justru balik melontarkan pertanyaan. Matanya membidik ke arah sepasang laki-laki dan perempuan yang duduk berdekatan di sofa. Dia - Rangga dan Eliza.

"Gue sama Eliza akan segera melangsungkan pernikahan. Gue harap lo udah benar-benar move-on ngelepas Eliza, Zar!" Kalimat tendensi itu mencuat dari mulut Rangga - adik tiri, Ezar.

Maisha akhirnya bisa menyimpulkan kenapa atmosfer ruang tengah yang seharusnya terasa hangat ini menjadi dingin dan tegang. Eliza - gadis yang disebut Rangga adalah mantan kekasih Pak Ezar. Itu artinya Eliza akan menikah adik mantan kekasihnya sendiri. Benar-benar hal di luar dugaan yang baru Maisha ketahui.

"Saya enggak peduli. Silakan kalian menikah, tapi tunggu setelah saya dan Rumaisha menikah duluan," sahut Ezar. Maisha terkesiap, ingin menginterupsi kata-kata Pak Ezar, tapi urung, dia memilih diam menjadi pendengar.

"Sudah, tenang kalian berdua." Tante Dianti menukas. Matanya bergantian  menatap pada Ezar dan Rangga  "Sesuai dengan tradisi keluarga kita, Ezar yang harus menikah lebih dulu, baru kamu bisa menyusulnya nanti, Ga."

"Enggak bisa begitu, Ma. Dengan atau tanpa izin Mama, aku sama Eliza tetap akan menikah secepatnya." Konfrontasi Rangga barusan menciptakan premis di benak Maisha ; jika hubungan kakak-beradik itu sedang tidak baik-baik, saja.

"Rangga!"

"Apa lagi, Ma? Selama ini Rangga selalu diam dan mengalah. Rangga enggak suka Mama menikah lagi, tapi apa Mama pernah dengerin Rangga? Yang anak tiri Mama itu siapa? Dia atau aku? Selama ini Mama enggak pernah dengerin apa pun mauku? Yang ada di pikiran Mama cuma Ezar dan Ezar terus-" Kata-kata Rangga terputus seiring mampirnya tangan Tante Dianti ke permukaan pipi putranya tersebut.

"Ma!"

"Jangan bentak, Mama, Ga!"

Suasana semakin tidak terkendali. Maisha bingung harus merespons apa. Tante Dianti berdiri menatap tajam putranya, sementara tatapan Rangga tak kalah bringas ke arah Ezar.

"See? Dari dulu Mama selalu belain Ezar, enggak pernah sekalipun Mama peduli sama Rangga!" Usai berkata-kata Rangga melesat pergi meninggalkan ruang tengah, langkahnya lebar-lebar disusul Tante Dianti yang ikut melesat keluar.

Hening beberapa saat. Ezar memejamkan mata sekilas. Kepalanya mendadak terasa penuh oleh semua konfrontasi Rangga barusan.

"Mas Ezar, kenapa kamu enggak biarin aku sama Rangga nikah duluan?" Setelah beberapa saat Eliza baru mengeluarkan kata-kata. Ezar menatap sinis perempuan yang kini berdiri tak jauh darinya.

"Saya enggak peduli, silakan kalian menikah kapan pun kalian mau. Tapi kalau sampai mama kenapa-napa saya enggak akan memaafkan kalian berdua." Seketika ingatan Ezar terpaku pada kelebat bayangan ketika mama Dianti terkena serangan jantung ringan beberapa waktu lalu, dan itu juga karena ulah Rangga dan Eliza.

"Sha, maaf kamu harus menyaksikan semua ini." Atensi Ezar teralih pada Maisha. Gadis itu memberi gelengan singkat.

"Saya pulang aja ya, Pak. Biar Pak Ezar bisa istirahat." Maisha beranjak dari kursi. Pamit ingin pulang tapi Ezar menahan langkahnya dengan memegang pergelangan tangan Maisha.

"Saya antar, Sha." Ezar menghela Maisha keluar rumah, tapi baru beberapa langkah, ayunan kakinya dan Maisha refleks terhenti oleh suara Eliza.

"Mas Ezar ... aku hamil."







_______








Psssst ....komen yang banyak, ya.
Calangeyo 💜





13-08-24
1440



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro