25. Inciden

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy baca 💜
Sorry for typo 🍓
.
.
.


"Mas Ezar... aku hamil."

Pengakuan Eliza barusan tidak begitu mengejutkan bagi Ezar. Dia tahu bagaimana gaya berpacaran Eliza dan Rangga selama ini. Tidak ada respons lain kecuali rapalan istighfar yang mencuat dalam hati. Mengingat sosok Eliza yang dulu saat bersamanya, bagaimana Ezar benar-benar menjaga dan memperlakukannya sangat sopan, sungguh sangat disayangkan gadis itu membuang jauh norma dan etika hanya untuk kesenangan sesaat.

"Sha, kita salat Maghrib dulu di masjid dekat sini, ya. Baru setelah itu saya antar pulang." Preambul Ezar isyaratkan Maisha untuk meneruskan langkah.

"Mas Ezar setidakpeduli ini kamu sama aku? Aku hamil keponakan kamu, Mas, anaknya Rangga, enggak ada simpati sedikit aja dari kamu?" Eliza kalut. Teriakannya kembali menghentikan langkah Ezar dan Maisha.

Ezar membalik badan, menatap Eliza sekilas. "Setiap perbuatan selalu menuai konsekuensi, dan itu risiko atas perbuatan kamu, tidak ada sangkut pautnya dengan saya." Kalimatnya lugas tanpa basa-basi. "Ayo, Sha!" Titahnya kemudian benar-benar menghilang dari ruang tengah, meninggalkan Eliza di sana bersama tangisnya yang pecah.

Mobil yang dikemudikan Ezar melaju dengan kecepatan sedang. Sejak memasuki kendaraan baik Maisha mau pun Ezar belum mengeluarkan sepatah kata pun. Maisha acapkali melirik Ezar yang beberapa kali menguarkan embusan napas panjang.
Dia khawatir lelaki di belakang kemudi itu pikirannya kalut mendengar berita mengejutkan tentang Eliza. Lebih tidak terduga lagi oleh Maisha ternyata mantannya Pak Ezar menjalin hubungan dengan adik bossnya itu sendiri. Mau heran tapi itu kenyataan.

"Pak Ezar enggak pa-pa?" Maisha memecah hening duluan.

Pak Ezar menggeleng singkat. "Salat dulu ya, Sha." Kendaraannya berbelok memasuki masjid yang masih berada di komplek perumahan.

Keduanya berpisah di pelataran masjid. Pak Ezar berjalan ke sisi kiri tempat wudu laki-laki, sementara Maisha ke sebelah kanan. Sepanjang langkah Maisha masih terpikirkan oleh kejadian yang baru saja dia alami. Sebuah konfrontasi keluarga yang harusnya tidak disaksikan orang luar. Pasti Pak Ezar merasa sungkan padanya, pantas sejak tadi lelaki itu memilih diam, padahal biasanya ada saja yang dibahas saat bersama Maisha. Menjadi pendengar yang baik untuk Pak Boss, tidak ada salahnya, kan? Hitung-hitung balas budi karena selama ini Pak Ezar juga sering menolongnya.

Tiga puluh menit kemudian keduanya bertemu kembali di parkiran. Maisha lebih dulu sampai di sana, disusul Pak Ezar. Maisha perhatikan Pak Ezar terlihat lebih segar usai wajahnya tersapu air wudu. Lelaki itu menanggalkan dasi dan jasnya, menyisakan kemeja slim fit berwarna biru muda yang lengannya digulung sebatas siku. Rambutnya yang legam sedikit basah oleh air - agak berantakan tapi justru menjadi daya tarik tersendiri.

"Sha," panggil Pak Ezar. Maisha menoleh sigap.

"Iya, Pak?"

"Capek, enggak?"

Maisha menggeleng. "Kenapa memangnya, Pak?"

"Temani saya ngopi, mau? Atau kalau kamu capek saya-"

"Iya, saya mau kok, Pak." Potong Maisha cepat. Dia pikir mungkin Pak Ezar butuh seseorang untuk mendengarkan unek-uneknya setelah insiden konfrontasi tadi. Mendengar jawaban Maisha, Pak Ezar terekam merogoh ponselnya di saku celana. Lelaki itu sibuk bertelepon dengan seseorang.

"Yuk, Sha! Tadi saya sudah telpon Om Ghani, pamitin kamu pulang terlambat karena saya ajak ngopi dulu." Penjelasan Pak Ezar membuat Maisha terharu. Bukan ingin membandingkan, tapi dulu sama Rendra setiap kali jalan after office, jangankan izin ke orangtua Maisha. Dia bahkan tidak ditanya sedang capek atau tidak. Belum lagi drama Rendra yang selalu menolak mengantar Maisha sampai depan rumah.

"Makasih, Pak Ezar udah izin sama papa." Maisha tersentuh oleh tindakan Pak Ezar. Bukti bahwa lelaki itu benar-benar menghargai dan menghormati orangtuanya.

Kafe bernuansa fancy, Maisha dan Pak Ezar duduk bersekat meja. Maisha sigap menawarkan dia yang memesan minuman. Pak Ezar menyambut tawarannya dengan menyebutkan jenis kopi yang diinginkan. Maisha segera menuju bar pemesanan. Satu americano untuk Pak Ezar dan satu vanilla latte untuk Maisha sendiri, sebagai pendamping minuman Maisha memesan satu french fries dan satu tiramisu. Maisha belum tahu Pak Ezar suka camilan atau tidak, jadi order seporsi untuk sharing lebih baik daripada pesan dobel tapi nanti tidak habis.

Tidak berselang lama waiters mengantarkan pesanan ke meja Maisha dan Pak Ezar.

"Minum, Pak!" Maisha sigap menyodorkan iced Coffe tepat ke depan Pak Ezar. Lelaki itu merapal terima kasih lantas menyeruput pelan minumannya.

"Maaf ya, Sha, kamu harus menyaksikan kejadian kurang mengenakkan tadi." Airmuka Pak Ezar menyirat sungkan ketika berbicara. Maisha mengibas tangan.

"Enggak pa-pa banget lagi, Pak. Semua orang pasti pernah berada di titik enggak enaknya. Lagian skor kita sama kok, Bapak belum lupa, kan, saya juga sempat mengalami kekerasan fisik sama verbal sama mantan saya, dan saat itu kalau bisa dijabarkan malunya benar-benar enggak tertolong lagi. Tapi saya berusaha cuek dan terima keadaan, mengakui kalau pilihan saya salah. Dan saya baru tahu, kalau Tante Dianti itu bukan ibu kandungnya Bapak, maaf-"

"Enggak pa-pa, Sha. Sudah sewajarnya kamu berhak tahu seperti apa hubungan saya dan mama. Saya memang enggak terlahir dari rahim beliau, tapi bagi saya mama Dianti sama seperti almarhum mama saya, keduanya sama-sama baik, perhatian dan memiliki kasih sayang yang besar untuk anak-anaknya."

"Salut banget sama Bapak, di era banyaknya permusuhan anak kandung versus ibu tiri, Pak Ezar bisa berpikir sebijak itu." Perasaan Maisha dikepung haru sekaligus sendu.

"Karena seorang ibu atau istri adalah Rabbaitul Ba'it, ratunya rumah tangga, dan rumah tanpa kehadiran  seorang ibu rasanya akan suram. Sudah menjadi tanggung jawab seorang anak untuk berbakti sama orangtua terutama ibunya. Saya sudah pernah merasakan pedihnya kehilangan ibu, menjalani hari-hari suram tanpa kasih sayang mama, maka saya enggak mau kejadian itu terulang kembali, Maisha." Mata Maisha berlapis kaca akibat tutur kata Pak Ezar. See ... ternyata laki-laki baik itu benar ada, tidak sekadar singgah dalam cerita dongeng. Di tengah gempuran marriage is scary, rasanya tidak ada yang perlu ditakutkan jika mendapatkan laki-laki baik dan tepat seperti Pak Ezar.

Kalimat lelaki yang duduk di seberangnya berhasil membuat Maisha terdiam oleh rasa haru. Masih meresapi semua kata-kata bijak Pak Ezar. Dan, Maisha percaya kalau semua yang dilontarkan Pak Ezar bukan sebatas di bibir, dari sorot matanya terlihat jelas ketulusan itu.

"Sha, saya boleh tanya satu hal?" Di tengah gemingnya Maisha, Pak Ezar kembali berkata-kata.

"Iya, Pak?"

"Kalau kita lagi di luar kantor, bisa, enggak kamu jangan panggil saya dengan sebutan Pak atau Bapak? Saya jadi ngerasa tua banget, Maisha." Tawa renyahnya mencuat usai berkata-kata. Maisha tertular tawa itu, sepasang rahangnya melengkung ; membentuk senyum lebar.

"Jadi saya harus panggil apa? Udah terbiasa panggil pake sebutan Pak."

Pak Ezar menggeleng-geleng samar. "Di kantor sih oke, di luar jam kerja, kayaknya harus mulai ada panggilan lain, Maisha."

"Apa, ya?"

"Hmm, Mas, maybe?"

Maisha tergelak. "Jawa banget, Pak, harus banget dipanggil Mas?"

"Lha, saya memang keturunan Jawa, Maisha, papa asli Surabaya, apanya yang salah kalau dipanggil Mas?"

Maisha manggut-manggut. "Enggak salah kok, Pak. Cuma rada aneh aja." Tidak mudah, kan, mengubah satu kebiasaan menjadi kebiasaan baru. Begitu juga untuk penyebutan panggilan.

"Coba Sha." Pinta Pak Ezar.

Maisha mengernyit bingung. "Coba apa?"

"Panggil Mas."

Maisha menggigit bibirnya sendiri akibat didera gemas dan grogi bersamaan. Masih ragu kala bibirnya ingin menyebut panggilan baru seperti yang diminta Pak Ezar.

"Come on, Maisha?"

"M-Mas."

"Kurang lengkap."

Mata Maisha memejam saat bibirnya merapal panggilan baru untuk Pak Ezar. "Mas Ezar," ucapnya sangat cepat. Mungkin saat ini kedua pipi Maisha sudah berubah menjadi semerah kepiting rebus. Entah, kenapa malu sendiri menyebut Pak Ezar dengan panggilan 'Mas'

Atmosfer tegang dan kurang enak setelah insiden konfrontasi yang sempat memancar di wajah Pak Ezar sekarang ekspresi lelaki itu berubah menjadi lebih santai. Pak Ezar bahkan tergelak beberapa kali oleh polah atau celetukan Maisha yang dianggapnya lucu.

Dering jeritan ponsel dari saku celana Pak Ezar mendistrak obrolannya dengan Maisha. Gegas Pak Ezar menerima telepon dari seberang. Maisha mengamati rona lelaki yang fokus berbicara di telepon itu. Pak Ezar merapal istighfar dilanjut dengan istirja; 'innalilahi wa innalilahi raji'un'
membuat Maisha diserang rasa penasaran bercampur kaget.

"Kenapa Pak? Eh, Mas?" Maisha amati wajah Pak Ezar berubah pias.

"Mama yang telepon, Sha...." Nada bicara lelaki itu melayu.

"Tante Dianti kenapa?" Respons Maisha ikut cemas.

"Rangga kecelakaan, sekarang di rumah sakit."

_____















Sedih banget, dapat kabar dari teman, kalau ebook novel kachan banyak dijual kang bajakan. Mau marah pun percuma, mereka kang bajak pada enggak punya hati. Kachan cuma mau pesan satu hal sama kalian, jangan pernah beli bajakan kalau memang menghargai penulis. 😌

Daripada beli di kang bajak, mau yang sama-sama harganya murce beli di kachan aja sini. 100k dapat 6 judul cerita. Kurang murce gimana coba?

Btw. Novel EPIPHANY sisa 1 ekor. Sale ya, dari 90k jadi 60k aja. Gercep yang mau, sila japri ke sini : 081216677590




























15-08-24
1400

Tabik
Chan 💜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro