5. Bad Relationship (?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Marhaban Ya Ramadhan Mubarak
Mohon maaf lahir dan batin semuanya, ya. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1445 H



Happy baca 💜
Sorry for typo
.
.
.


Maisha kembali menyatroni kubikelnya dibarengi dengan tatapan penuh selidik oleh para rekannya. Terutama duo senior geng gibah yang akrab dengan Maisha: Mbak Meta dan Mas Rizal. Sorot tajam bak lesatan pedang terpancar dari mata Mbak Meta dan Mas Rizal. Pandangan kedua orang itu bergantian membidik mata Maisha lantas tertuju pada benda yang sedang ditenteng juniornya di kedua tangan. Benda dalam paper bag yang kemudian diletakkan Maisha ke atas meja kubikel - tangan gadis itu lantas sibuk mengeluarkan dua tas pemberian Pak Ezar - ah, ralat, maksudnya pemberian Pak Elbayu dengan senyum semringah di depan duo seniornya.

"Bagus ya, Mbak? Happy banget aku kalau nemenin Pak E meeting trus dikasih gift gini." Maisha menenteng dua tas - mengangkatnya ke udara, sengaja ingin pamer pada Mbak Meta. Seniornya mendelik disertai decih bibir.

"Wah, sejak kapan Lo jadi ani-ani-nya Pak E, Sha?" Mulut tanpa filternya Mbak Meta mulai beraksi. Awal-awal dulu Maisha memang agak culture shock dengan kerandoman anak-anak divisi analyst, tapi lambat laun dia tahu kalau semua ucapan ceplas-ceplos mereka konteksnya hanya untuk candaan.

Maisha menyeringai sinis. "Idih, najis, Mbak. Ditawari aja aku ogah. Apaan, kanebo kering kayak gitu, mana bisa nyenengin sugar baby. Yang ada bakal cepet mati itu yang jadi sugar babynya karena tekanan batin." Maisha  menyahut asal. Mbak Meta dan Mas Rizal tertawa-tawa menampani statementnya. Namun, ekspresi Mbak Meta segera berubah saat fokusnya kembali pada tas yang dipamerkan sang junior.

"Itu Lo bawa apaan, Njir? Tiga tahun gue jadi kacung di sini belum pernah tuh, sekali pun dikasih gift atau hadiah sama Pak E." Pertanyaan bernada protes melompat dari bibir Mbak Meta. Ibu satu anak itu berdiri melipir ke meja Maisha. "Buat gue satu, ya." Tangannya ingin menarik salah satu tas dari meja Maisha.

"Jangan. Kalau mau minta sendiri ke Pak E, Mbak." Dihadang Maisha dengan kedua tangannya.

"Katanya najis, tapi barang yang dikasih Lo ambil juga, muna' Lo, Sha." Cercaan Mbak Meta ditanggapi Maisha dengan derai tawa. Dia mengibas tangan ke udara. Bodo amat dengan penyebutan Mbak Meta barusan. Dia yakin Mbak Senior yang masih cantik di usia menjelang empat puluhan itu hanya bercanda.

"Rezeki masa aku tolak, Mbak?" Alibi Maisha.

"Halaah gaya Lo, Sha. Tadi aja ngomel terus pas diminta nemenin Pak E. Besok-besok biar gue aja yang berangkat, siapa tahu ntar dapat tablet baru gue." Mas Rizal yang duduk anteng di kubikelnya menimpali.

Maisha sudah duduk anteng di kursinya. Tangannya sibuk menekan tanda power pada komputer. Sembari menunggu komputernya panas, gadis itu kembali bereaksi melongok di antara sekat meja kubikel.

"Aku bawa sesuatu dong buat kalian. Jangan ngambek ih," ujar Maisha agak pelan. Takut yang lain ikut mencuri dengar.

Mbak Meta segera tanggap. "Apaan, Sha?" Tanyanya tak sabar. Maisha menggerakkan bibirnya yang ditutupi sebelah tangan membuat pola kata-kata 'gosip Pak E'

Mbak Meta menyeret kursi beroda-nya mendekat ke meja Maisha. Sementara Mas Rizal beranjak dari duduk, pura-pura ingin meminjam pulpen, padahal ingin menodong gosip yang Maisha janjikan. Dasar budak korporat.

"Apaan?" Todong Mbak Meta.

"Pak E kenapa? Mau naik jabatan? Apa mau diganti?" Tebak Mas Rizal antusias.

Duo seniornya bertanya dengan mimik wajah tak sabar. Maisha tahu, duo seniornya itu sejak lama memang mengidamkan pimpinan baru. Bosan katanya ketemu Pak E yang suka memasang wajah ketus.

Maisha menggeleng. Tangannya sibuk mencomot keripik kentang dari drawer sebelum menjawab rasa penasaran para senior.

"Bukan. Tapi ini lebih mencengangkan." Pancing Maisha sembari mengunyah keripik satu persatu dalam genggaman. "Pak E, yang kita tahu selama ini jomlo abadi, yang kata Mbak Meta ada indikasi enggak normal. Ternyata baru putus loh, ditinggal gitu aja sama cewenya." Gosip mulai ditebar. Maisha menunggu reaksi duo seniornya yang terlihat biasa saja.

"Astaga, Sha! Gue kira apa, basi Lo, ah!" Mbak Meta menjambak gemas rambut panjang Maisha sebagai protes. "Kalau itu juga satu Lazarus udah tahu keles. Kirain berita apaan, Pak E mau diganti kek sama yang cakepan kek Nicolas Saputra, gosip basi Lo bawa ke sini, Maisha." Omel Mbak Meta.

Mas Rizal ikutan berdecak. Sia-sia lima menit berdiri menunggu jawaban Maisha yang ternyata semua orang juga sudah tahu lebih dulu dari pada Maisha.

"Hah? Serius Mbak, Mas? Kok aku baru tahu sih?" Maisha kaget sendiri.

"Lo anak baru, masih nanya lagi." Mbak Meta dan Mas Rizal menoyor Maisha bersamaan. Gadis itu meringis sembari terkikik pelan.

"Ya maaf, aku kira belum ada yang tahu."

"Ah, telat Lo, Sha." Mbak Meta kembali ke mejanya.

"Lain kali bawa berita yang akurat, Sha." Mas Rizal menyusul balik ke kubikelnya.

Menyisakan Maisha yang tertawa menekap mulut atas informasi basinya barusan.

"Pantesan ya, Mbak, dia kayak dendam banget kalau lihat orang pacaran. Korban patah hati." Maisha masih menyambung obrolan. Kali ini tangannya sibuk membuka draft pekerjaan yang harus diselesaikan sore ini.

"Nah, itu Lo tahu akhirnya kan. Itulah alasannya dia enggak suka kalau ada stafnya yang pacaran di lingkup kantor. Apalagi kalau sesama anak Lazarus." Mbak Meta menanggapi.

"Tapi Mbak, emang pernah ada kasus sesama anak Lazarus pacaran terus suruh putus gitu?" Maisha makin penasaran.

"Belum ada sih, paling dapat tatapan ketusnya Pak E kalau ketahuan berduaan di lingkup kantor."

Obrolan menjadi hening sendiri ketika masing-masing larut dan fokus dalam menyelesaikan tugas hari ini. Mbak Meta meninggalkan kubikel duluan - buru-buru bingin menjemput putranya pulang les. Mas Rizal menyusul setelahnya. Sementara Maisha masih bertahan sekitar 10 menit sebelum menyusul beranjak dari ruang kerjanya.

Maisha melangkah gontai menuju pelataran lobi sore ini. Jam bubar ngantor artinya waktu untuk bersemuka dengan Rendra. Sebenarnya ada rasa malas dan sedikit dongkol mengingat perdebatan Maisha dengan pacarnya kemarin sore. Rendra masih sama seperti biasanya, kukuh pada pendiriannya, belum ingin berkomitmen yang lebih serius dalam hubungan mereka. Belum berani mengambil keputusan besar dalam langkah hidupnya. Itu yang Maisha tangkap dari sikapnya.

Maisha melewati lorong ingin menuju lift di sayap kiri, di saat bersamaan matanya menangkap bayangan Pak Ezar sedang berada di ruang live. Dinding yang terbuat dari kaca bening tembus pandang sontak memudahkan siapa saja menyaksikan aktivitas di dalam ruangan live. Beberapa talent berdandan ala model profesional ketika mempromosikan produk Lazarus.

Pantes betah di ruang live, mantengin yang bening-bening. Batin Maisha sembari melangkah melewati ruangan live.

___

"Gimana Ndra, kamu udah mikirin omonganku kemarin?" Todong Maisha tanpa basa-basi ketika sudah di dalam mobil Rendra.

Rendra melepas seat-belt-nya disertai decakan pelan. "Kita baru ketemu loh, Sha, kamu udah nodong aku kayak gitu." Protesnya pada Maisha.

Maisha mengurut pangkal hidungnya dengan mata terpejam. Lelah sekali menghadapi sikap kekanakan Rendra yang semacam ini, tapi dia sayang dan cinta pada laki-laki itu.

"Ya terus aku harus apa, Ndra? Sekarang atau besok situasinya bakal sama. Kamu nunggu apa sih? Karir kamu belum oke, aku enggak pa-pa kok, kita bisa jalanin sama-sama nanti. Grow up sama-sama. Aku juga enggak pernah nuntut macam-macam kan, sama kamu, Ndra." Maisha rasa unek-uneknya baru seujung kuku di antara tumpukan unek-unek tentang Rendra.

Mobil Rendra masih terparkir di depan kantor Lazarus. Sengaja berhenti di sana saat Maisha menyatakan ingin bicara serius.

"Ya kamu yang sabar dong, Sha. Aku juga lagi usaha buat karir aku. Kasih aku waktu gitu, dua atau tiga tahun lagi."

Maisha terperanjat. "Apa?" Tanyanya tak percaya. "Kamu minta waktu dua atau tiga tahun lagi? Yang jelas aku udah jadi istri orang kalau kamu masih kayak gini, Ndra!" Muntab Maisha.

Rendra membuang napasnya kasar. Laki-laki itu menggeleng pelan seraya merapal maaf. "Sha, maaf. Bukan begitu, sekarang aku harus fokus sama kerjaan aku dulu."

"Kamu aja enggak pernah bilang sama aku, kamu kerja di mana? Kantor kamu di mana?" Cecar Maisha disertai nada bicara yang sedikit meninggi.

Rendra meraih tangan Maisha, merangkumnya dalam genggaman. "Bukan enggak mau bilang, tapi nanti aja kalau aku udah punya jabatan yang bagus, baru aku mau cerita ke kamu, Yang. Sudah ya, kamu jangan marah-marah terus, Sha. Enggak capek tiap ketemu kita berantem terus?" Berbeda dengan Maisha, nada bicara Rendra dibuat selembut mungkin saat bicara. Maisha luluh, anggukannya mencuat pada Rendra.

"Aku juga enggak mau kita berantem Ndra, tapi kamu kasih kepastian sama aku. Kapan mau datang ketemu papa, mama, terutama eyang kakung."

"Iya, oke, nanti kita atur waktu buat ketemu mereka, ya. Tapi ketemuan saja dulu, kan?" Putus Rendra akhirnya. Maisha tersenyum, senang permintaannya tidak diabaikan.

"Udah enggak marah, kan?" Tanya Rendra lagi seraya tangannya mengusap lembut pipi Maisha. Yang ditanya menggeleng. "Kalau gitu gimana kerjaan kamu hari ini? Lancar?"

"Lumayan, hari ini enggak terlalu berat di kantor, aku tadi sempat diminta nemenin meeting Pak Ezar." Maisha bercerita dengan lancar.

Raut Rendra seketika memancar antusias. "Oh iya? Meeting apa? Lagi ada program baru apa di Lazarus?" Tanyanya penuh gebu.

Maisha melirik kekasihnya sekilas. "Kenapa kamu antusias banget nanyain programnya Lazarus? Rahasia perusahaan, Yang, mana boleh aku beberkan."

Rendra tertawa renyah. "Ya enggak papa, senang aja kalau kerjaan kamu juga lancar, Yang," sahutnya meyakinkan Maisha. "Oh iya Sha, yang bulan lalu kita omongin. Kamu masih ingat, kan?" Rendra lantas mengubah topik obrolan.

Maisha sedikit memutar tubuh menghadap kekasihnya. "Apa ya? Lupa aku, Yang." Mencoba mengingat obrolannya dengan Rendra sebulan lalu.

Rendra membuka dasbor dan mengambil brosur di sana. "Ini, aku udah nyusun itinerary buat ke Labuhan Bajo bareng komunitas diving, Yang. Selain nyelam, aku sama anak-anak diving rencananya bakal berkunjung ke Pink Beach, Pulau Padar sama Pulau Kanawa. Jadi kan, Yang, kamu mau minjemin tabungan kamu buat tambahin ongkos aku ke sana? Aku janji habis gajian, pasti langsung aku balikin."

Maisha merespons datar semua ucapan Rendra. Pertama dia masih mencerna ucapan kekasihnya itu. Kedua, Maisha mendadak kembali sebal dengan Rendra. Maksudnya, di saat seperti ini kenapa tidak fokus kerja dan menabung saja, daripada harus buang-buang uang untuk liburan bersama komunitasnya itu?

"Ndraa, apa liburan kamu enggak bisa ditunda?"

Airmuka Rendra berubah. "Kenapa tanya begitu, Sha? Aku udah kasih tahu kamu dari jauh hari loh soal ini."

"Enggak gitu, apa enggak sebaiknya mulai sekarang kamu kurangi frekuensi liburannya, biar bisa nabung dan cepet ngelamar aku, Ndra?"

Decakan Rendra mencuat lagi. "Sha, kalau enggak mau minjemin nggak papa, tapi kamu jangan sok ngatur hidup aku. Udahlah Sha, aku mau sendiri dulu, capek ngadepin kamu kayak gini terus dari kemarin."

Maisha diusir? Sadar diri, segera melesat keluar dari Mini Cooper milik Rendra. Begitu Maisha turun, mobil langsung melesat kencang melewatinya. Maisha yang kaget kakinya gemetar, refleks berjongkong. Sama sekali tidak menyangka Rendra akan sekasar ini padanya. Butuh beberapa menit sebelum akhirnya Maisha kembali menangis gara-gara sikap Rendra.

"Maisha, belum pulang kamu, ngapain di situ sendirian? Taksi online kamu enggak datang? Ikut mobil saya. Saya antarkan pulang."

Belum hilang rasa kaget oleh sikap Rendra. Maisha kembali dibuat kaget oleh suara tak asing yang menyambangi sepasang telinganya. Laki-laki itu berjejak tak jauh darinya seraya mengantongi kedua tangan di saku celana. Dia ... Pak Ezar.


_______














Maaf ya baru bisa lanjut. Kachan habis sakit.

Komen yang banyak, ya.








11-03-24
1790

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro