6. Denial (?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Mohon maaf ya, kemarin benar-benar enggak sempat balesin komennya. Masih dalam masa recovery habis sakit.

Happy baca 💜
Sorry for typo
.
.
.








"Ikut mobil saya. Saya anterin pulang, Sha!"

Maisha masih bergeming, otaknya masih mencerna slide demi slide kejadian yang dia alami sore menjelang petang ini. Belum hilang rasa kaget akibat ulah kasar Rendra, sekarang dibuat sedikit terkejut dengan tindakan Pak Ezar yang sok perhatian.

Maisha belum merespons apapun. Isi kepalanya serasa melompong gara-gara kalut oleh pertengkaran kesekian kalinya dengan sang kekasih. Terkadang, Maisha merasa Rendra itu terlalu egois dan maunya selalu dipahami, tapi enggan memahami kemauan Maisha. Beberapa kali hal semacam ini terjadi dan selalu menganggu pikiran Maisha. Pernah sekali dia jabarkan rasa keberatan atas sikap kekanakan Rendra, kekasihnya itu mau mengerti dan minta maaf, tetapi tidak berselang lama sikap egois Rendra mencuat kembali. Maisha merasa lelah sekali. Namun, dia enggan berhenti, karena Maisha pikir, setiap hubungan pasti memiliki sepak terjalnya tersendiri. Dan, ini adalah jalan untuk membuktikan jika dia atau Rendra serius dengan hubungan yang sudah dijalani lebih dari dua tahun lamanya.

"Ayo!" Tanpa dinyana Pak Ezar mengulurkan tangan. Teguran lelaki itu menyadarkan Maisha dari keterpakuannya.
Ragu-ragu Maisha menyambut. Laki-laki berpostur tinggi di hadapannya melepas embusan napas panjang. "Saya bukan orang jahat, Sha, enggak ada niat buat nyulik kamu." Pengimbuhan yang mereaksi Maisha. Gadis itu bergerak, tangannya menerima uluran tangan Pak Ezar ketika hendak membantunya berdiri.

Maisha menghapus asal wajahnya yang sembap dengan tangan kosong. Polahnya menarik perhatian Pak Ezar, lelaki itu mengangsurkan sekotak tisu yang disimpan di dalam dasboard ke pangkuan Maisha.

"Kamu kenapa?" Pertanyaan basa-basi seperti ini kadang malah memicu deras tangis. Ketika sedang tidak baik-baik saja lantas ditanya 'kenapa?' benar saja, tanpa bisa dikomando airmata Maisha jatuh menderas kembali. Gadis itu menggeleng keras beberapa kali. Bibirnya bungkam, enggan bicara - atau lebih tepatnya tidak ada gunanya juga bercerita pada Pak Ezar. Memang laki-laki itu siapa? Hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan di kantor, tidak lebih. Membicarakan ranah pribadi sangat tidak elok bagi Maisha.

"Mau cari minum dulu, Sha?" Sejak tadi hanya Pak Ezar yang aktif berbicara, sementara Maisha masih sibuk meredam tangis yang terus ingin keluar. Tidak ada jawaban dan Pak Ezar menepikan mobilnya memasuki pelataran sebuah kafe.

Maisha menurut ketika dihela turun memasuki kafe bernuansa retro couzy yang ada di bilangan Jakarta Selatan. Duduk di pinggir dinding kaca besar, mata Maisha asyik dilabuhkan pada pemandangan semburat jingga di langit luar.

"Kamu mau minum apa?"

"Apa saja, Pak," sahut Maisha. "Cokelat hangat kalau ada." Imbuhnya merevisi. Pak Ezar mengangguk lantas menuju bar pemesanan.

Maisha menyeruput pelan coklat hangat yang masih sesekali kepulkan uap panas. Dia menghidu dalam-dalam aroma yang sanggup menghantarkan rasa tenang. Kandungan cokelat yang memiliki efek anti-depresan lumayan ampuh memperbaiki mood Maisha yang sempat berantakan. Ditambah lagi komponen feniletilamin pada cokelat dikenal dapat meningkatkan rasa senang di hati.

"Makasih, Pak." Rapal Maisha setelah cukup tenang.

"Jadi, kamu kenapa bisa sekacau tadi?" Pak Ezar menyeruput pelan americano pesanannya. Mata lelaki itu membidik Maisha ketika bertanya.

"Berantem sama pacar, Pak." Maisha ingin sekali menampar bibirnya sendiri yang lancang berbicara gamblang di depan Pak Ezar. Kenapa enggak bisa direm sedikit saja sih? Jaga imej gitu misalnya.

"Katanya pacaran enak, kok kamu nangis-nangis gitu? Diapain sama pacarmu?"
Strike number one. Mata Pak Ezar menatap selidik pada gadis di seberangnya. Maisha gelagapan, tidak tahu harus menjawab apa. Pasalnya kemarin dia sendiri yang mengejek Pak Ezar agar memikirkan untuk mencari pacar. Maisha sendiri uang bilang punya pacar itu enak, enggak kayak jomlo yang kemana-mana harus sendirian melulu.

"Biasalah Pak, namanya juga hubungan, pasti ada up dan down-nya." Alibi Maisha. Tetapi memang benar kan, kata-katanya? Setiap hubungan pasti ada naik-turunnya. Pasang surut dengan cobaannya masing-masing. Pak Ezar saja yang kolot, masa begini saja tidak paham? Dumal Maisha membatin.

"Makanya jangan pacaran, Sha. Kalau udah sakit hati, nangis-nangis." Strike number two!

Maisha mendelik tak suka dengan statement Pak Ezar barusan. Namanya lagi sakit hati ya wajar kan, kalau nangis-nangis? Apalagi bagi kaum perempuan. "Makasih banget Bapak sudah baik kasih tumpangan sama saya, tapi tolong, jangan bikin suasana hati saya memburuk lagi, deh, Pak." To the poin Maisha. Rasa hormatnya pada Pak Ezar masih dalam taraf normal, tapi enggak tahu kalau si Bapak satu di seberangnya itu sudah mulai kemana-mana obrolannya, mungkin Maisha bisa bertindak impulsif.

"Loh, memangnya saya ngapain, sih? Kan, saya cuma berpendapat, Maisha," sahut Pak Ezar santai. 

"Bapak menyudutkan saya." Tanggap Maisha mendebat.

"Enggak, saya cuma kasih nasihat, kalau pacaran lama enggak menjamin kamu bakal sama dia terus. Bisa jadi kamu atau dia cuma jagain jodoh orang, Sha."

Strike number three....

"Bapak bilang gitu karena pernah gagal, ya?" Tuding Maisha tepat sasaran.

Ezar terdiam. Lelaki itu tidak membantah atau mengiakan. Cukup lama sampai kopi dalam cangkirnya tandas, lantas Ezar membuka suara lagi.

"Saya memang pernah gagal. Makanya saya cuma mau kasih masukan, mencintai sesama manusia jangan pol-polan, Sha. Kalau udah ditinggal nanti banyakan sakit hatinya."

Strike number four .....

"Makasih, tapi pacar saya beda sama mantannya Bapak. Jadi tolong, jangan menggeneralisasi, Pak." Denial Maisha. Pak Ezar hanya manggut-manggut tanpa menyahut lagi. Memang benar, sih apa yang Pak Ezar bilang barusan. Namun, Maisha belum mau berpikir sejauh itu. Dia yakin kalau Rendra adalah laki-laki baik. Mungkin kekasihnya itu sama sedang tertelannya, makanya bertindak agak kasar seperti sore tadi. Maisha pasti akan memaafkannya nanti.

"Saya mau salat Magrib dulu, kamu mau ikut atau tunggu di sini?" Pak Ezar melirik arloji di tangan kirinya ketika berbicara. Maisha serta merta menggeleng.

"Lagi dapet, Pak. Saya tunggu di sini saja. Atau saya langsung pul-"

"Saya antar Sha, sabar, saya salat enggak sampai sepuluh menit." Potong Ezar cepat. Maisha mengangguk pelan. Diam-diam merapal terima kasih dalam hati, Pak Ezar sudah baik hari ini padanya. Tanpa dinyana perasaan Maisha menghangat menampani semua perlakuan atasannya itu hari ini. Mungkin si Ezar-Ezar itu mulai merasa bersalah karena sering memperlakukan Maisha kurang baik - ah-ralat- bukan kurang baik, tapi sangat tidak baik saat di kantor. Makanya sekarang Pak Ezar sok baik ingin menebus rasa bersalahnya.

Sesuai janji Ezar, usai Maghrib, mobilnya kembali membelah jalanan yang masih padat merayap untuk mengantar Maisha.. Hening merayapi keduanya. Ezar fokus pada roda kemudi, sementara Maisha asyik menekuri ponselnya. Mobil melewati jalanan arteri sekitar empat puluh menit sebelum akhirnya berbelok memasuki perumahan mewah yang bangunannya kebanyakan berlantai dua.

"Pak, kayaknya saya belum pernah cerita kalau saya tinggal di daerah sini, deh, Pak Ezar kok tahu...?" Maisha baru menyadari jika mobil berada di kawasan tak asing baginya. Matanya sibuk memindai pemandangan di yang dilewati. Ada yang mengganjal dalam hati. Serius, seingatnya Maisha tadi belum mengatakan jika dia tinggal di kawasan ini pada Pak Ezar. Bagaimana lelaki di sebelahnya itu bisa tahu?

Ezar mendadak gelagapan. Dia lupa jika Maisha belum memberi petunjuk apa pun tentang alamat rumahnya. Tetapi bisa-bisanya tangannya lancar memutar kemudi menuju alamat rumah gadis itu.

"Jadi bener ya, Pak Ezar diam-diam pernah ngikutin saya?" Airmuka Maisha menyirat ketakutan yang dibuat-buat.

"Bu-bukan begitu, Sha."

"Kok Bapak hapal jalan rumah saya?" Kali ini ekspresi Maisha mutlak menyirat kaget. "Bapak pernah ngikutin saya pulang pasti ya?" Cecarnya lagi.

Sementara Ezar? Kerongkongannya terasa seperti disumpal sampai sulit memproduksi kata-kata. Bodoh sekali, kenapa tadi tidak ada basa-basinya untuk sekadar bertanya di mana alamat rumah Maisha?


______

















15-03-24
1200


Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro