20. Hati Yang Hancur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tadz."

"Udah sampai, nih."

"Woi, woi."

Supri terus menepuk pipi Faris hingga terbangun, begitu cepat perjalanan pulang hari ini. Padahal dia merasa baru saja memejamkan mata, tahu-tahunya mobil mereka sudah di halaman rumah. Sebab mata yang teramat kantuk, Faris tertidur sangat nyenyak.

"Alhamdulillah," ucapnya seraya mengusap wajah.

Lagi, hari ini dia pulang tepat waktu. Mau tidak mau Faris harus mengurangi waktu kerjanya, menepati janji dengan kedua orang tua Alma pada pukul 14.00 dia harus berada di rumah. Tak masalah beberapa banyak tawaran ceramah ditolak, asalkan istrinya tidak pergi kelapayan lagi dengan orang lain.

"Makasih, Prik." Faris keluar dari mobil. Disusul Supri hendak membuang air kecil, dia menuju ke belakang rumah Faris diam-diam. Enggan numpang ke toilet di dalam rumah Faris, karena tidak mau bertemu dengan Alma. Entah, tiap kali melihat wajah wanita itu seperti melihat setan bagi Supri.

"Eh, mau ke mana Prik?" tanya Faris, mendengar langkah lari Supri.

"Ke belakang, biasalah. Mau ambil selang air cuci mobil," jawab Supri berbohong dan melanjutkan langkahnya pergi ke belakang rumah.

"Oh," balas Faris. Padahal mobilnya masih bersih dan kemarin baru selesai dicuci oleh Supri sendiri.

"Rajin sekali kamu," lirih Faris lalu masuk ke dalam rumah. Haus, dia menuju ke dapur mau minum.

Tiba-tiba langkah kakinya terhenti, setelah melihat Alma tergeletak tak sadarkan diri di lantai dengan darah yang terus mengalir di pergelangan tangannya.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Allahuma ajirni fi mushibati wa akhlif li khairan minha."

Faris langsung melepaskan sorban yang melingkar di lehernya, merobek sorban sehingga sorban tersebut terbagi menjadi dua lalu dia melilitkan sorban menutupi luka di pergelangan tangan istrinya.

"Alma, saya di sini," ucap Faris menahan bendungan air mata. Menggendong Alma, membawanya keluar rumah dan masuk ke dalam mobil.

Kebetulan Supri baru saja kembali dari buang air kecil terperanjat kaget melihat keadaan Alma yang mengenaskan. "Allahuakbar," ucapnya spontan.

"Prik, tolong. Cepat bawa kami ke rumah sakit terdekat."

"Ada apa? Apa yang terjadi?" Supri mulai panik.

"Tolong, Prik. Bawa kami secepatnya ke rumah sakit."

"Baiklah."

Supri bergegas masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesin mobil, lalu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Badan gemetar, Supri berusaha tenang dan fokus mengendarai. Begitupun dengan Faris, laki-laki itu terus berdoa dan memeluk sang istri yang tak berdaya dipangkuannya. Sesekali dia mencium lembut kening Alma, wanita itu tak menunjukkan reaksi apapun. Kulitnya mulai pucat dan terasa dingin, matanya masih tetutup rapat. Hati Faris benar-benar perih saat ini.

"Alma, maaf. Saya tidak tahu apa masalahmu dan apa yang sebenarnya terjadi padamu, saya suami yang jauh dari kata sempurna. Bahkan sekarang saya merasa gagal menjadi suami yang baik untukmu. Maaf, saya terlalu memaksakan hubungan ini. Jika yang kamu lakukan ini karenaku, kumohon buka matamu. Maka selanjutnya kita akan berpisah."

***

Syukur Alma dapat ditangani dengan cepat. Tenaga medis berhasil mengatasi pendarahan yang terjadi. Jika tidak, nyawanya bisa terancam karena kehilangan banyak darah. Syok membuat kesadaran Alma menurun dan belum juga siuman hingga saat ini.

Rasa syukur dan doa terus Faris panjatkan kepada Allah SWT untuk keselamatan dan kesehatan sang istri. Butiran air mata menjadi saksi betapa tulus dirinya mencintai Alma, sehingga matanya membengkak dan wajahnya pun sembab akibat terus menangisi keadaan istrinya itu. Faris tetap sabar dan ikhlas dengan apa yang terjadi pada istrinya, meski belum tahu penyebab Alma tega melakukan percobaan bunuh diri.

"Allahuma inni as-aluka nafsan bika muthma-innah, tu'minu biliqo-ika wa tardho bi qodoh-ika wataqna'u bi 'atho-ika," lafadznya dalam hati seraya mengelus-elus dada.

(Artinya : Ya Allah, aku memohon kepadaMu jiwa yang merasa tenang kepadaMu, yang yakin akan bertemu denganMu, yang ridho dengan ketetapanMu, dan yang merasa cukup dengan pemberianMu.)

Faris merasa sudah tenang, usai shalat Magrib dan bermunajat kepada Allah SWT. Sekarang dia akan kembali ke kamar penginapan istrinya yang sedang dirawat. Tiba di sana Faris membuka pintu, betapa terkejutnya dia melihat istrinya hendak terjun dari jendela ruang ini. Lagi dan lagi Alma melakukan percobaan bunuh diri yang kedua kalinya. Faris langsung berlari, menarik lengan Alma dan mendekap tubuh wanita itu yang gemetar ketakutan. Rencana Alma bunuh diri gagal lagi.

"Tenang, saya ada di sini," lirih Faris memeluk erat istrinya. Membuang napas legah, datang di waktu yang tepat. Hampir saja.

Setetes air mata jatuh di pipi Alma. Suara isak tangisnya semakin terdengar kuat, Alma menangis sejadi-jadinya. Alma semakin menenggelamkan wajahnya ke dada bidang suaminya, air matanya membasahi pakaian Faris.

"B.., buat apa aku hidup?" ucapnya tersedu-sedu.

"Biarin aku mati!" teriaknya.

"Aku mau mati, akum au mati, akum au mati."

"Astagfirullahaladzim, Alma. Istigfar," balas Faris tak kuasa menahan kesedihan, hatinya begitu sakit mendengar Alma mengatakan itu.

"Gak, pokoknya aku mau mati!"

"Bagaimana bisa aku hidup dengan keadaan hamil, sedangkan laki-laki brengsek itu tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya ini!"

Deg.

Kedua tangan yang mendekap erat Alma kini melemah, perlahan Faris melepaskan pelukannya. Dia meletakkan salah satu tangannya di dada yang terasa sesak disertai detak jantung yang berdetak lebih cepat, kaki Faris seakan mati rasa. Dia tak percaya dengan apa yang dikatakan istrinya barusan.

"Wallahi, apa yang kamu katakan ini Alma? Saya tidak mengerti," ucap Faris dengan nada suara lantang dan bergetar.

"AKU HAMIL, JADI MAU APA? MAU CERAIKAN AKU? SILAHKAN, AKU JUGA MAU MATI!" teriak Alma frustasi. Ia mencoba melarikan diri ke arah jendela ingin loncat dari ketinggian lantai 9 yang ditempati sekarang, tapi Faris mendekap tubuhnya lagi dengan cekatan.

"Istigfar, Alma. Meninggal bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah." Faris berusaha menjauhkan istrinya dari jendela tersebut. Namun, wanita itu terus memberontak dan memukulnya.

"LEPASIN!"

"GAK GUNA, LO JUGA PASTI MAU GUE MATI 'KAN?"

"Astagfirullahaladzim, saya tidak pernah berpikir seperti itu."

"LEPASIN AKU SEKARANG!"

"TOLONG!"

Tak ada lagi yang bisa ia lakukan, wanita itu terus memukulnya supaya dibebaskan dari dekapan. Faris menggendong Alma, lalu menidurkannya ke ranjang. Sebisa mungkin ia menahan Alma agar tak melarikan diri lagi. Faris memencet bel darurat yang tersedia di dekat ranjang, memanggil perawat.

"Lepasin," ucap Alma, ia mulai melemah.

"Istigfar," balas Faris berusaha kuat menahan perih hatinya yang hancur.

Tak lama sekitar lima menit beberapa perawat datang membawa peralatan medis, mereka tampak kebingungan.

"Dia terus memberontak karena ingin bunuh diri dengan cara lompat dari jendela itu, tolong bantu saya."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro