30. Penyejuk Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

            "Pemirsa, kebakaran mobil sedan di pinggir jalan kebun bunga nomor 12 cinde menghebohkan masyarakat. Pasalnya mobil tersebut belum diketahui siapa pemiliknya. Polisi akan menindak lanjuti kejadian ini. Berdasarkan pengamatan polisi tidak ada korban jiwa. Namun, ada unsur tindakan sengaja dalam kejadian terbakarnya mobil sedan tersebut. Belum diketahui motif dari pelaku, polisi akan menyelidiki kasus kriminal yang hampir membahayakan pengendara lain akibat ledakan dari mobil yang terbakar it--"

Supri menekan tombol off pada remot, mematikan televisi. Sorot matanya tertuju pada Faris yang sudah siuman, Supri mengambil segelas air putih untuk sahabatnya itu.

"Nih, minum dulu," ucap Supri duduk di samping ranjang tempat sahabatnya beristirahat.

Faris mengangkat setengah badannya, mengubah posisi menjadi duduk. Ia meraih segelas air putih yang diberikan Supri.

"Bismillah." Faris meneguk air minum sedikit demi sedikit sampai habis dan meletakkan gelas tersebut di atas bedsite cabinet.

"Syukron jazakallah khairan," ucap Faris.

"Ya, tad."

"Jadi bagaimana keadaanmu? Dokter bilang asam lambungmu naik," sambung Supri.

"Alhamdulillah, sekarang sepertinya sudah membaik. Tidak sakit lagi," balas Faris.

"Ada apa? Kenapa tiba-tiba kambuh dari sekian lama? Lo salah makan, ya?" tanya Supri, khawatir dengan sahabatnya itu. Dari sekian lama setelah asam lambung Faris pernah kambuh, Supri tahu Faris tidak pernah telat makan apalagi makan atau minum yang dapat memicu penyakit itu datang lagi.

"Asam lambung bisa terjadi di manapun dan kapanpun, sebenarnya dari semalam saya udah ngerasa gak enak ulu hati, tapi dengan minum obat sakitnya hilang. Eh, hari ini bener-bener apes saya, Prik. Mana lupa bawa obat pula," jelas Faris.

Supri menganggu-angguk. "Lain kali kalau sakit bilang dong, jangan diem-diem aje lu. Kalau mati pasti mati sendirian bener lu tad!" ketus Supri jengkel.

"Iya, iya."

"Ngomong-ngomong istri saya, tahu saya di sini?"

Supri terdiam, wajahnya yang menyebalkan kini berubah tanpa ekspresi. Tak tahu harus menjawab apa, Supri menghela napas berat. Tidak mungkin ia merahasiakan tentang keadaan Alma sekarang.

"Sebenarnya..." Supri masih ragu mengatakan itu, tak ada kecurigaan di wajah Faris. Laki-laki itu masih bisa tersenyum tenang.

"Alma mengalami kecelakaan," sambung Supri.

"Apa?"

"Kecelakaan?"

Mata Faris terbelalak, ia berharap Supri hanya berbohong mempermainkannya. Supri tak seharusnya membuat lelucon yang sama sekali tidak lucu, pikir Faris.

"Jangan bercanda, istri saya ada di rumah. Saya tidak suka dengan guyonan kamu!"

Supri tahu akan seperti ini. Tatapan tajam bagai mata elang seakan memberi peringatan, Faris tak menerima perkataan Supri.

"Jangan batu, tad."

"Gua gak seberani itu bercandain nyawa orang."

"Alma sekarang sedang di operasi sesar, ia ditabrak mobil ketika pulang belanja di mini market gak jauh dari rumah lu. Ia mengalami pendarahan, Dokter bilang..." Supri tak sanggup meneruskan perkataannya. Wajah Faris tampak tegang, badannya pun mulai gelisah. Supri jadi tak tega dengan sohibnya itu.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Faris sambil mengelus dada untuk tetap sabar dengan ujiannya.

"Sekarang Alma di mana?" tanyanya pada Supri.

"Di rumah sakit ini ruang OK lantai 3," jawab Supri.

Tanpa pikir panjang, Faris mencabut infus di tangan kanannya lalu pergi ke lantai 3 rumah sakit ini. Ia sangat khawatir, batinnya terus berdoa untuk keselamatan sang istri.

"Penolongku ialah Allah , tiada Tuhan melainkan Dia, kepadaNya juga aku berserah dan Dialah yang memelihara Arasy yang besar. [Arti Surah at taubah ;129]

Kini Faris sudah berada di depan ruang operasi. Ia tak bisa berbuat apa-apa, pintu ruang operasi terkunci. Faris akan menunggu sampai operasi selesai, berdiri di samping pintu sambil berdzikir menenangkan hatinya.

"Tad, sini."

Saking khusyu Faris baru menyadari Supri menyusulnya kemari, Supri meminta Faris duduk disampingnya. Namun, Faris menolak.

"Saya lebih nyaman berdiri, Prik."

"Oh, okelah," balas Supri, tak ingin memaksa Faris.

Keduanya tak bersuara lagi, terhanyut dalam pikiran masing-masing. Selang beberapa saat kemudian derap cepat langkah kaki memecahkan keheningan. Faris dan Supri spontan menoleh.

"Umi."

"Nak, bagaimana keadaan Alma?" tanya wanita paruh baya itu ngos-ngosan. Dari rumah sampai ke rumah sakit ini pikirannya tak tenang, setelah dikabarkan anaknya ditabrak mobil separuh jiwanya terasa hilang. Ia pergi duluan ke rumah sakit karena sang suami sedang pergi ke suatu acara di pesantren dan sekarang dalam perjalanan menuju ke sini.

Faris tertunduk dan membisu.

"Ya, Allah ya Gusti. Tolong anak dan cucu kami," teriaknya sambil menangis.

"InsyaAllah, Alma baik-baik saja," ujar Faris. Menghembuskan napas berat kesekian kalinya, ia tetap tenang meski jiwa sedang terombang-ambing. Namun, bukan dia sendiri yang merasakan itu. Hatinya begitu pilu melihat ibu martunya menangis histeris di hadapannya sendiri. Tidak bisa menerobos masuk ke ruang operasi, mereka harus menunggu hingga operasi selesai.

Setetes demi setetes keringat mengucur di pelipis Faris, sudah hampir satu jam menunggu. Dokter belum keluar dari ruang operasi. Disetiap detik Faris selalu berdoa untuk keselamatan Alma dan bayinya. Namun, apapun hasilnya nanti Faris akan mengikhlaskan. Derap langkah kaki terdengar cepat semakin dekat ke arah mereka, tampak ibu martua atau sosok wanita yang dipanggil umi itu mengenalnya.

"Assalamualaikum." Laki-laki yang baru datang itu adalah suaminya. Dengan napas terengah-engah dan wajah terlihat pucat. Mereka tahu laki-laki paruh baya yang mempunyai sapaan Buya kini sedang tidak baik-baik saja. Beliau sangat khawatir atas kecelakaan yang menimpa putri kesayangan, badannya sampai gemetar hebat.

"Waalaikumsalam," sahut mereka.

Faris meraih tangan Buya dan menciumnya, lalu membantu Buya ke kursi untuk duduk. "Kamu baik-baik saja Faris?" tanya Buya.

"Alhamdulillah," balas Faris tersenyum tipis.

Bohong jika Faris tampak baik-baik saja, wajahnya kentara. Buya tahu senyumannya itu palsu.

"Yassaralllahu lana."

(Semoga Allah memudahkanmu).

Buya menepuk-nepuk pelan dada Faris. "Allazina amanụ wa tatma 'innu qulubuhum bizikrillah, ala bizikrillahi tatma 'innul-qulub."

"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."

Faris mengangguk, setuju dengan Surah Ar-Ra'ad Ayat 28 yang dilafalkan oleh Buya beserta artinya. Ditatapnya mata sayu Buya, sosok guru dan orang tua bagi Faris. Dalam keadaan apapun Buya selalu menjadi penyejuk hati keluarga. Faris menggenggam tangan Buya, jemarinya terasa lebih kurus dan lentur. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Buya.

"Buya, sehat-sehat, ya," batin Faris.

Justru yang membuat Buya khawatir adalah istrinya, dari tadi tak pernah berhenti menangis. Itulah sebabnya Buya tak ingin mengajaknya bicara sekarang, Buya sengaja membiarkannya karena nanti malah semakin membuat istrinya bersedih. Buya merangkul sang istri, menenangkannya. Mereka saling menguatkan meski sama-sama rapuh.

Sontak mereka berdiri melihat pintu ruang operasi terbuka, seorang wanita berpakaian biru yang masih utuh keluar dari ruang operasi dan menghampiri mereka. Ekspresi wajahnya sulit diartikan.

"Keluarga pasien atas nama Almahyra mengalami kecelakaan, perutnya mengalami benturan keras sehingga beresiko pada janin. Kami tim Dokter rumah sakit ini telah berusaha semaksimal mungkin, saat ini keadaan nyonya Almahyra baik-baik saja, akan tetapi tidak dengan janinnya yang telah meninggal ketika kecelakaan terjadi."

Bersambung~

Lanjut gak ya? Yang baca banyak yg vote dan koment dikit, kalian ghaib kah? '-'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro